Ia masih ingat jelas, awal didiagnosis skizofrenia ketika 2014. “Seingat saya teriak-teriak, tapi saya sadar.” Mendapati anaknya berteriak tiba-tiba, orangtua Made mengajaknya berobat ke balian (non medis). Di Balian sering diajak melukat. Pernah diajak ke tiga balian. “Nggak ngerti saya waktu di balian, bahasa halus soalnya dipake.”
Saking seringnya ke balian, Made meminta agar berhenti diajak ke balian. Merasa bosan karena tidak ada pemulihan apapun. “Masak di balian, punggung saya ditepuk-tepuk, terus kalau berobat disuruh buka baju, kakinya ditusuk pakai seperti pensil gitu. Gak mau lagi saya diajak ke balian”
Penolakannya akhirnya dikabulkan orangtuanya. Ditambah dengan rujukan dari kepala lingkungan tempat ia tinggal untuk berobat ke Rumah Sakit Wangaya. “Tau mungkin dia (kaling) saya perlu berobat, makanya dikasi tau ke Rumah Sakit Wangaya.” Lalu Made memulai pengobatan medis di Rumah Sakit Wangaya. Di tengah proses pengobatan di RS Wangaya, Made dirujuk ke dokter Rai. Selama berobat di RS Wangaya, pembiayaan pengobatan menggunakan tanggungan dari JKBM. Selama berobat di RS Wangaya, Made mendapatkan dua jenis pil yang harus diminum setiap hari. Ia merasa sejak mendapatkan pengobatan rutin, kondisi dirinya menjadi lebih baik.
Namun, setelah JKBM tidak berlaku, Made tidak mampu membeli obat dan hanya melanjutkan pengobatannya di Puskesmas. “Ada pihak puskesmas yang datang ke rumah.” Selama mendapatkan home service dari puskesmas, Made biasanya disuntik dan mendapatkan obat saja. Hingga dirujuk untuk bergabung di Rumah Berdaya oleh Dokter Rai.
Tahun 2017 Made ke Rumah Berdaya, berselang rutin selama tiga bulan, ia memutuskan untuk pasif datang ke Rumah Berdaya. Persoalannya setiap ke Rumah Berdaya ia harus selalu diantar orangtua. Kesulitan antar jemput ini membuat Made pasif. Dua tahun setelah jarang ke Rumah Berdaya, Made rutin setiap bulan berobat ke puskesmas dekat tempat tinggalnya.
Made Wartini hingga saat ini akhirnya memilih untuk berobat ke puskesmas setiap satu bulan sekali. Kendalanya pun masih sama. Setiap berobat ia harus diantar oleh orangtuanya. Di umurnya yang akan menginjak 28 tahun, Made masih merasa enggan untuk keluar sendiri. “Males kalo sendiri, ngga berani. Nanti saya lupa jalan pulang ke rumah.”
Melali, Bekerja dan Keinginan Kuliah
Memiliki ingatan yang tak begitu bagus mengingat jalan, bukan berarti Made membatasi keinginannya untuk merelaksasikan diri. Meski tetap diantar, Made suka bermain ke pantai. Namun, ia masih ingat betul tahun 2010, Made pernah bekerja di beberapa tempat kawasan Denpasar. Tanpa ia sadari, selama 3 tahun bekerja Made sering pindah-pindah tempat kerja. Ia seringkali merasa lelah dan pusing, sehingga belum genap bekerja setahun Made memilih untuk pindah bekerja. Hingga ia memilih untuk mengerjakan pekerjaan rumah saja. “Saya merasa ga kuat bekerja lama-lama dan bosan.” Di rumah Made lebih sering beres-beres rumah dan membuat canang.
Made lulus SMK pada 2010. Sejak mendapatkan rujukan Dokter Rai untuk bergabung di Rumah Berdaya, ia mendapatkan kegiatan baru. “Diajarin bikin dupa, menggiling koran untuk dibuat sejenis bokor.” Ketika Rumah Berdaya masih beralamat di Jalan Hayam Wuruk, Made rutin datang selama tiga bulan.
Sebagai orang yang lebih memilih untuk diam di rumah, kadangkala Made merasa iri dengan teman sebayanya. “Saya ingin kuliah dan bekerja sebenarnya, tapi karena pengaruh obat yang bikin ngantuk, jadi lebih banyak tidur aja.”
Sesekali, ia pernah menyampaikan kepada orangtuanya tentang keinginannya untuk bekerja. “Bapak cuma bilang, cari aja di HP infonya.”
Orangtua Made sehari-hari menjadi buruh bangunan dan tukang cat. Biasanya bekerja di sekitar Tukad Badung. “Soalnya di sana kan banyak ada lahan, sawah berubah jadi beton.” Made Wartini menyelipkan harapannya agar ia bersama keluarga bisa sehat. Ia juga mengharapkan teman-teman sesame ODS agar tidak lelah minum obat.
Saya lahir t1992. Saya mulai sakit tahun 2014. Saya diajak ke balian dan saya berobat ke Rumah Sakit Wangaya. Saya tinggal di Renon, Denpasar. Di rumah saya bersih-bersih, mebanten, bikin canang untuk di rumah. Saya tidak bekerja. Saya ingin bekerja tapi tidak kuat kerja. Pekerjaan ibu saya tukang cat, pekerjaan bapak saya buruh bangunan.
Saya sekarang berobat ke Puskesmas, disuntik dan diberi obat. Obatnya 2 macam. Sorenya saya sering nonton tv, saya diantar ibu atau bapak saat berobat. Biasanya di Puskesmas saya cek tensi, di Rumah Sakit Wangaya saya diperiksa Dokter Rai.
Saya sempat ke Rumah Berdaya (RB) di Jalan Hayam Wuruk, Tanjung Bungkak, dan Jalan Raya Sesetan, Pegok, Denpasar. Saat di RB Hayam Wuruk, saya diantar jam 08.30, dan dijemput pulang jam 13.00. Di sana saya membuat jahitan kristik, membungkus dupa, menggulung koran. Siang jam 12 saya makan, kadang, ada murid kuliah yang datang ke RB. Kadang saya merasa kepala saya pusing. Semoga saya selalu sehat dan keluarga saya sehat. Semoga rejeki saya dan keluarga makin membaik.
——————
Pas sakit saya tanya Kepala Lingkungan (Kaling), bisa di Rumah Sakit Wangaya, minta rujukan ke Puskesmas Sanur. Kaling beri rujukan warga tidak mampu. Ketemu dokter, diperiksa, dibilang jangan terlambat minum obat. Katanya stres, depresi.
Wartini pernah tidak nyambung, bingung, pernah ngamuk-ngamuk, tanaman dipotong. Tidak merasakan sakit. Lalu keluar rumah. Pernah ngamuk banting pintu, ngomong jelek-jelek, harus empat orang yang pegang mengendalikannya.
Pernah kartu JKBM tidak berlaku lalu mogok obatnya. Lagi kumat. Ke Kaling lagi dusuruh buat KIS/JKN. Bingung lagi, ngamuk, tidak mau ke Rumah Sakit Wangaya.
Pernah ke balian satu tahunan, di Renon dan Angantaka sambil berobat medis. Lalu Dokter Rai ke sini, pada tahun 2017. Setelah suntik, dua hari banyak tidur. Sekarang dia 28 tahun.
Saya tidak mengerti bagaimana latar belakang depresi. Dulu pernah kerja, berhenti, katanya sakit karena duduk terus melinting rokok. Kerja lain lagi. Kerja di butik, jual baju. Dia mengeluh, teman kerjanya tidak senang, banyak alasan. Berantem dengan temannya.
Made
Di Balian dada saya didorong, ditekan, saya teriak tolong-tolong. Ada juga balian membakar kaki saya sampai luka, berung, kembung. Bobor 11 dupa, kebus. Tidak mau ke balian. Lebih senang di rumah.
Ibu
Saya kira untuk mengusir penyakit. Ajak ke dokter. Sekarang saya berpikir, kenapa orang hidup dibakar. Memang pendiam dari dulu, tidak suka keluar. Ibu ajak jalan-jalan ke Lapangan Renon, di PKB lihat pameran.
Made Wartini dalam #KamiBersuaraKamiMendengar. Kampanye bersama Rumah Berdaya, Citradaya Nita (PPMN) dan pewarta warga ini mengajak mengenali gangguan skizofrenia, proses pemulihan, dan mendorong akses layanan psikososial bagi perempuan sebagai penyintas atau pendamping.