Saya tergelitik dengan dokumentasi kehidupan Bali pada tahun 1920-1930an.
Masyarakatnya pada saat itu sebagian besar masih murni agraris. Kehidupan yang mereka miliki sangat menarik perhatian para petualang dunia baru. Setelah promosi wisata yang gencar dilakukan oleh Belanda, masyarakat Bali diperkenalkan dengan industri baru, industri pariwisata.
Hasilnya, saat ini, dunia masyarakat Bali era 1920-1930an menjadi konsep utopia.
Budaya Bali yang semula adalah bagian dalam keseharian kehidupan bermasyarakat, mungkin sekarang banyak yang hanya dijadikan salah satu pertunjukan bagi wisatawan (istilah kerennya adalah komodifikasi budaya). Apakah masih bisa disebut berbudaya Bali? Apakah masih memiliki identitas Bali yang sama seperti dahulu kala? Manakala identitas awal, kebiasaan-kebiasaan lawas tergantikan dengan pola pikir dan kebiasaan baru, dapatkah disebut suatu masyarakat itu sedang mengalami kirisis identitas?
Yang saya pahami, apakah itu norma, budaya, adat kebiasaan, agama, dan segala macam pakem-pakem yang ditujukan untuk menata kehidupan bermasyarakat, tidak akan pernah statis, atau stagnan berhenti di satu titik, kecuali suatu masyarakat itu sangat terisolasi. Asimilasi, akulturisasi, dan bentuk-bentuk penyesuaian lainnya akan selalu terjadi. Selama proses tersebut berlangsung pastinya akan ada friksi-friksi dalam kehidupan bermasyarakat.
Yang menjadi bahan pemikiran adalah, sejauh mana suatu masyarakat yang dahulunya sangat memegang erat budayanya, bisa beradaptasi dan melewati fase-fase krisis identitas sebelum terbentuknya identitas baru yang lebih adaptif ketika yang dihadapi adalah gempuran kapitalis dan komersialisasi? Kecenderungan dari budaya baru yang ada, tidak lagi mendekatkan diri dengan alam sebagai tujuannya, sedangkan untuk mengikuti pola modern pun nampaknya masih cukup jauh dari jangkauan, menilik kondisi pola pikir masyarakat pada umumnya apalagi infrasturkturnya.
Bukan berarti pula bahwa menjadi modern seperti negara maju adalah hal utama dalam pembangunan, tapi yang terpenting adalah masyarakat suatu daerah tertentu cukup dinyamankan dan terpenuhi kehidupannya oleh tatanan atau sistem yang berlaku. Bila memang sistem masyarakat agraris yang cocok bagi suatu daerah tertentu, maka teknologi yang mengikutinya harus teknologi yang mendukung kehidupan agraris itu sendiri dan industri yang terkait adalah industri agrikultur.
Menurut saya, inilah definisi modern sesungguhnya, bahwa ada keselarasan antara tool (alat) dan skill (keterampilan).
Bali hanya contoh kecil dari suatu fenomena global tentang krisis identitas. Saya sangat setuju dengan pariwisata yang menekankan kedekatan dengan alam. Eco wisata sudah seharusnya menjadi tolok ukur dalam membangun industri pariwisata di belahan dunia manapun.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa yang ada dalam benak pikiran Anda ketika melihat suku primitif di suatu daearah tertentu? Banyak dari Anda mungkin akan serta merta membidikkan kamera ke arah mereka. Layaknya wisatawan yang pergi ke kebun binatang, takjub akan keindahan Zebra yang eksotis, objek tontonan yang dianggap harus selalu bisa menunjukkan keindahannya.
Masyarakat yang terlabelisasi sebagai masyarakat “terbelakang” (bukan arti dari kata primitif), ketika melihat demonstrasi adanya dunia luar, hampir bisa dipastikan tergelitik untuk melihat, merasakan kehidupan di luar sana, ke luar dari keadaan “keterbelakangan”.
Masyarakat tradisional Bali, sama sekali tidak patut dilabeli “terbelakang”, label ini muncul karena pemikiran yang sifatnya Euro centric. Interaksi dengan wisatawan pun bukan hal yang dapat ditanggapi sepele, karena konsep yang sama sekali asing bagi kehidupan masyarakat tertentu belum tentu cocok untuk diterapkan di lingkungannya. Ketika Anda “memaksakan” penggunaan komputer yang belum saatnya bagi para petani di daerah agraris, akan terjadi kekacauan.
Tool (alat) dan skill (keterampilan) yang tidak sepadan tidak akan membawa masyarakat manapun ke suatu tujuan tertentu yang lebih baik. Yang ada hanya kebingungan. Timing yang tepat dan kemampuan mengidentifikasi potensi masalah merupakan satu-satunya penangkal.
Solusi instan yang bisa ditawarkan adalah, ketika Anda berkunjung ke suatu tempat, Andalah yang seharusnya beradaptasi dengan adat dan kebiasaan setempat, bukan sebaliknya. Layaknya bertamu di rumah orang, Anda harus menghormati aturan dan kebiasaan pemilik rumah. Dengan demikian, Anda tidak mencemari tuan rumah Anda dengan masalah baru yang tidak seharusnya ada.
Eco wisata adalah jenis wisata yang dapat menangkal terjadinya krisis identitas dari suatu objek wisata karena memberikan pendidikan yang memadai bagi para wisatawan untuk dapat menhargai, juga melindungi kemurnian budaya setempat, terutama lingkungan alam sekitarnya.
Oleh sebab itu, bagi daerah-daerah lain yang hendak memasukan pariwisata sebagai salah satu industri andalannya, sebaiknya mulai menerapkan konsep eco wisata. [b]
jawabnya: .. ke haribaan investor asing. Karena industri pariwisata = kapitalisme. Untuk share anda bisa baca tulisan saya pada 27-11-1012.
Kita semua sadar akan kondisi saat ini sungguh sangat jauh berbeda dengan 70 tahun lalu, mungkin jawabannya sangat sederhana beda zaman beda kebutuhan. Semoga kedepannya pariwisata terus membawa berkah bukan musibah.