Austronesia pernah menjadi bahasa terbesar di dunia.
Populasi penutur rumpun sekitar 1.200 bahasa ini mendiami kawasan lebih dari setengah bola dunia, dari Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, serta dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan.
Inilah rumpun bahasa dengan sebaran terluas sebelum kolonisasi barat menjangkau berbagai bagian dunia. Persebarannya di kawasan kepulauan yang maha luas merupakan fenomena besar dalam sejarah kemanusiaan.
Penutur Austronesia muncul ca. 7000-6000 BP di Taiwan untuk kemudian ca. 5000 BP menyebar ke berbagai bagian dunia, membawa budaya khas Neolitik yang dicirikan oleh kehidupan menetap dengan kegiatan bertani, beternak, dan lain-lain.
Penutur Austronesia tergolong Ras Monggolid Selatan dengan tampilan fisik sangat beragam oleh faktor-faktor genetika, lingkungan, dan budaya. Kemampuan beradaptasi di berbagai lingkungan mendorong perkembangannya dalam ruang dan waktu.
Pada masa sekarang populasi Austronesia mencapai lebih dari 380 juta. Variabilitas geografi hunian dan interaksi luar yang sangat tinggi menjadikan budayanya pun sangat beragam. Sebaran dalam kawasan kepulauan yang maha luas, kemampuan adaptasi lingkungan, serta tampilan fisik dan budaya yang sangat beragam, menjadikan studi Austronesia selalu menarik perhatian para akademisi dan peneliti dari berbagai bagian dunia.
Di Indonesia, penutur Austronesia hadir sejak sekitar 4000 tahun lalu seiring kedatangannya dari Taiwan melalui Filipina. Kemampuan mengadaptasikan diri terhadap lingkungan kepulauan memungkinkannya terus berkembang hingga menurunkan keragaman etnisitas bangsa Indonesia sekarang.
Indonesia pun memegang kunci dalam pemahaman Austronesia. Wilayahnya sangat luas dan terletak di tengah kawasan sebaran. Penghuninya melingkupi >60 % dari seluruh penutur Austronesia. Keberadaan penutur non-Austronesia di wilayah timur menambah daya tarik studi untuk mengetahui interaksi dua ras yang berbeda dalam ruang dan waktu.
Topik tentang Austronesia dibahas mendalam selama simposium internasional Diaspora Austronesia pada 18-23 Juli 2016 di Nusa Dua, Bali.
Sekitar 200 peserta mengikuti simposium dengan 45 orang di antaranya para pakar dari luar negeri terdiri dari para ahli terkait Austronesia dari berbagai disiplin ilmu meliputi arkeologi, antropologi, sejarah, geologi, geokronologi, palinologi, paleoiklim, paleogeografi, paleoantropologi, paleomusikologi, linguistik, dan genetika.
Peserta simposium berasal dari 19 negara yakni China, Jepang, Taiwan, Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, Timor Leste, Australia, New Zealand, Prancis, Jerman, Inggris, Belanda, Swiss, Irlandia, Amerika Serikat, dan Indonesia.
Menurut Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Drs. I Made Geria, M.Si., simposium internasional ini bukan semata perhelatan ilmiah, tetapi juga upaya pelibatan publik karena materi-materi yang dibahas dalam pertemuan kali ini merupakan akar-akar kultur yang masih hidup di sisi masyarakat.
“Di Pusat Penelitian (Puslit) kami tidak hanya mengangkat nilai menjadi pemaknaan, tetapi juga menjadikannya model,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM), Harry Widianto, menegaskan bahwa PCBM senantiasa mendukung upaya Puslit, khususnya dalam hal ini penelitian Austronesia, melalui pelestarian dan pemanfaatan hasil penelitian tersebut. Misalnya dengan penyelenggaraan seminar, pameran, serta pendirian museum di situs-situs hasil penelitian, seperti Gua Harimau, Situs Gilimanuk, dan lain-lain.
Salah satu peneliti senior, Prof. Harry Truman Simanjuntak, menyatakan bahwa tujuan simposium yang mengundang pakar-pakar berbagai negara ini tak lain sebentuk upaya pengembangan ilmu pengetahuan, mengangkat nilai-nilai luhur kebangsaan (kemaritiman, gotong royong, keberagaman), merajut serta membangun hubungan yang baik dengan pakar berbagai negara, khususnya yang tertarik pada Austronesia, serta membangun solidaritas antara sesama penutur Austronesia.
Simposium ini diharapkan dapat memberikan kontribusi penting tidak saja bagi kemajuan ilmu pengetahuan, melainkan juga untuk meningkatkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai luhur budaya Nusantara dalam membangun peradaban berkeindonesiaan.
Selain kegiatan simposium, rangkaian acara lain adalah fieldtrip ke Museum Subak dan Situs Jatiluwih di Tabanan yang merupakan tradisi berlanjut Austronesia, Situs Gilimanuk serta Museum Gilimanuk, yang merupakan situs nekropolis penting.
Peserta simposium juga mengunjungi pameran “Kita, Austronesia” dan “Gambar Cadas Prasejarah di Indonesia” di Bentara Budaya Bali.
Pameran ini menghadirkan materi berupa artefak-artefak hasil penelitian, replika, poster dan gambar-gambar lukisan dinding Cadas Prasejarah. [b]