SIAPA KITA? INDONESIA!
Kata-kata itu seperti imunisasi yang paling “marem” dan ampuh di dalam hidup Men Coblong. Tak ada kata sesakti dan seindah itu bahkan para penyair pun kalah sakti.
Kata-kata menjadi “Indonesia” seperti hawa sejuk yang ditabur dan ditemukan para “pecinta” yang mabuk dan “rindu” tentang pentingnya merawat “kebangsaan”, pentingnya menjaga “Indonesia”, dan pentingnya menjaga hati dan pikiran. Juga pentingnya mengelola beragam huruf-huruf dan kata-kata agar tidak “merusak” ataupun membuat “patah hati” dan muncul virus-virus “curiga” berlebihan yang merusak tatanan dan “table manner” kemanusiaan.
Men Coblong sudah agak lama merasa ada “sesuatu” yang selalu mengganjal perasaannya. Saat ini sulit merasakan kedamaian sesungguhnya.
“Maksudmu apa? Damai itu datangnya dari diri sendiri!” Jawab sahabat Men Coblong ketus. Menurut sahabatnya itu, untuk saat ini dengan kondisi cuaca dan perasaan penuh anomali, hal yang harus dijaga adalah “mulut”.
“Aku tidak mau berbagi apa pun saat ini. Takut menyinggung perasaan,” papar sahabat Men Coblong serius.
Apa yang diurai sahabatnya itu memang benar juga. Saat ini orang-orang mudah sekali merasa “curiga”. Hal yang membuat Men Coblong makin melilit seperti diserang sembelit adalah orang-orang saat ini mudah sekali tersinggung. Tersinggungnya serius lagi.
Bahkan dengan tetangga pun tega menyeretnya ke “ranah hukum” semua dianggap hal yang berbau “melecehkan”, “menghina”. Ya, Hyang Jagat — Penguasa dan Penjaga seluruh kehidupan ini. Apakah sesungguhnya yang terjadi di negeri ini?
“Aku memilih diam! Aku memilih menyimpan “amarah” dengan meditasi dari pada membeberkan masalahku pada tetangga, atau membuat status di media sosial. Bagaimana kalau nasibku seperti Meilana? Jujur kondisi ini sesungguhnya membuatku khawatir, takut. Tetapi apa yang aku bisa lakukan? Menjadi pemeluk agama yang minoritas, aku harus banyak menahan diri.”
Sahabat Men Coblong berbisik. Matanya yang bulat melirik kanan-kiri. Dahinya berkerut. Terlihat paparan “luka” meleleh dari raut wajah cantiknya. Kulitnya yang putih dengan matanya yang sipit terlihat kontras dengan bulu matanya yang panjang dan melengkung. Dengan alis tebalnya yang terlalu rapi. Men Coblong terdiam sambil membayangkan kembali wajah sahabatnya secara detail. Rasa takut dan rasa tidak nyaman rasanya hanya itu yang bisa ditebar para “petinggi” di negeri ini.
“Kita mau minta tolong pada siapa? Mengadu ke mana? Lihat saja! Para koruptor juga bisa dengan pilinan kata-katanya tetap bisa melaju dengan gagah berani mewakili rakyat? Apa yang kita dapat dari orang-orang seperti ini?” Bisik suara sahabatnya lagi pelan-pelan, sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Men Coblong dan berkata: aku takut dihajar dengan pasal merusak nama baik.
Men Coblong tersenyum kecut!
Teringat beberapa teman dan beberapa sahabat Men Coblong sejak merebak kasus Ahok, berubah menjadi teman dan sahabat yang tidak menarik lagi. Banyak teman-sahabat saat ini merasa dirinya lebih religius, lebih beradab, lebih paham menjadi manusia yang diinginkan bumi ini. Merasa paling benar, paling suci, paling tahu membaca dosa-dosa orang lain. Beberapa teman semasa SMP-SMA juga terasa menjelma “orang lain”. Orang-orang yang tidak pernah tumbuh di masa lalu Men Coblong.
Ke mana mereka pergi? Di mana mereka mendapatkan “pencerahan” sehingga berubah jadi mahluk asing?
Begitulah cuaca kehidupan di negeri ini. Dan di tengah “luka” Men Coblong minimal masih memiliki harapan.
Semua karut-marut psikis “menjadi” Indonesia terasa lahir kembali sebagai sebuah bangsa — disatukan kembali dengan olahraga Asian Games. Setelah menggelar 465 nomor pertandingan 40 cabang olahraga selama lebih dari dua pekan, diikuti lebih dari 11.000 atlet, hampir 6.000 ofisial, dan 11.000 pekerja media dari 45 negara, Asian Games selesai, hari ini.
Bagi kita acara ini mendulang harapan dengan timbulnya perilaku sejuk dan membawa hawa baru berupa kesejukan. Hujan di tengah kemarau panjang.
Menjelang penutupan Asian Games 2018, posisi Indonesia kian mantap di peringkat keempat perolehan medali. Di atas Indonesia, bercokol tiga raksasa olahraga Asia: Cina, Jepang, dan Korea Selatan. Secara peringkat, ini pencapaian terbaik tim Merah Putih sejak 44 tahun silam.
Dengan perolehan 31 medali emas, 24 perak, dan 43 perunggu, Indonesia sulit digoyang Iran, yang baru meraih 19 medali emas. Sedangkan untuk menggeser Korea Selatan di peringkat ketiga, Indonesia memerlukan tambahan tujuh medali emas. Itu pun tidak mudah.
Namun, peristiwa ini membawa hati dan pikiran Men Coblong dengan penuh harapan. Menjadi Indonesia itu adalah kebutuhan penting. Wahai para politisi, berhentilah membawa-bawa nama rakyat. Jika ingin membawa nama rakyat, jadilah wakil rakyat yang beradab. [b]