Cinta ditolak, dharma weci bergerak. Dharma weci adalah ilmu yang dikuasai oleh I Gde Basur. Weci dalam kamus Jawa Kuna berarti neraka. Sedangkan Dharma punya banyak terjemahan, salah satunya kewajiban.
Salah satu kata Dharma yang berarti kewajiban adalah swadharma. Swa sendiri, dharma kewajiban. Jika orang Bali berkata swadharma, artinya itulah kewajiban yang harus ia lakukan.
Kewajiban sendiri haruslah didasari oleh ilmu [guna] dan kualitas diri [gina]. Dharma weci berarti dharma neraka atau dharma api karena neraka selalu dihubungkan dengan api. Menurut shastranya, api inilah yang diolah untuk menjadi sesuatu. Dari manakah api ini berasal? Menurut teks Adi Parwa, tiap manusia punya sumber api di dalam perutnya.
Sayangnya jika membaca geguritan Basur karya Ki Dalang Tangsub, kita tidak akan menemukan cara-cara mengeluarkan api dari dalam perut. Tapi kita akan mendapatkan keterangan tentang cara Gede Basur berubah wujud.
Agar bisa berubah wujud Basur harus mempertimbangkan ruang dan waktu. Ruang yang dianggap sacral untuk berubah wujud adalah kuburan. Pada bagian mana dari kuburan, juga tidak disebutkan. Karena kuburan mempunyai beberapa bagian seperti pemuhunan [tempat membakar], gegumuk, Prajapati, batas kuburan, dan seterusnya.
Masing-masing bagian kuburan itu dijaga oleh sosok yang berbeda. Contohnya dalam lontar Kala Tattwa, di batas kuburan konon dijaga oleh Kala yang berwujud Durga.
Waktu yang dipilih adalah sandikala. Sandi berarti pertemuan, kala berarti waktu. Pertemuan waktu yang dimaksud adalah pertemuan antara siang dan malam, terang dan gelap. Pada saat pertemuan seperti itu, wajah manusia terlihat samar-samar.
Orang Bali sangat awas pada kesamaran, terutama berkaitan dengan hal-hal mistik. Oleh sebab itu, tetua-tetua Bali menyarankan agar tidak kemana-mana saat wajah mulai samar-samar.
Ruang dan waktu yang tepat tidak cukup bagi Basur untuk berubah wujud. Syarat lainnya adalah cara dan perlengkapan yang tepat. Beberapa bahan-bahan yang harus disiapkan ialah: canang, sanggah cucuk, burat wangi, ayam biing brahma, dan kain daluang yang sudah bergambar Durga.
Setelah semua siap, barulah pengolahan dimulai. Berdiri dengan satu kaki alias nengkleng, rambut terurai, jari telunjuk menuding, dan lidah menjulur sampai ke dada. Mantra dirapal terbalik. Berubahlah wajah Basur memerah, matanya melotot. Ajian yang digelar Basur bernama Pangiwa Bajra Kalika.
Ni Sokasti yang menjadi sasaran ilmu Gede Basur tiba-tiba sakit, badannya terasa panas dan ditusuk-tusuk. Saat itulah muncul Kaki Balian hendak menolong Ni Sokasti. Ada beberapa ajian yang digunakan oleh Kaki Balian: Sarwa Sandi Bajrangkara, Sang Hyang Kul Putih, Panawar Kasiapa, Dadukun Sakti, Panulak Gering, Pangraksa Jiwa, Aji Rimrim, Jagat Boga, Pamungkem Liak, Siwa Gandhu, Mpu Bahula, Mpu Pradah, Panundung Desti, Hyang Siwa Sumedang, Mpu Mina, Dasa Bayu, Dharma Usadha, Panulak Wisia Mrana, Tri Aksara, Panca Aksara.
Itulah daftar ajian yang digunakan Kaki Balian, akhirnya Ni Sokasti berhasil ditolong. Gede Basur menyerah kalah kepada Kaki Balian lalu pulang ke rumahnya. Sebelum pulang, ia sempat menyerang seorang Balian jadi-jadian. Balian jadi-jadian itu hanya mementingkan uang tanpa peduli kesembuhan pasiennya. Pada akhirnya, Balian itu dikalahkan dan muntah-muntah.
Ni Garu menyukai I Tigaron, tapi cintanya ditolak. Tidak hanya ditolak, ia juga dihina. Berbekal perasaan terhina, Garu pergi ke kuburan dan tidur di sana. Sambil tidur, ia berharap segera mati. Jika tidak dianugerahkan kematian ia memohon untuk diberikan kesaktian.
Bhatari Durga yang maha pemurah, tidak mungkin membiarkan abdinya merasa kesulitan. Maka Ni Garu dianugerahkan Pangliakan. Caranya dengan merajah lidah Ni Garu, nama rajahannya adalah Aras Ijo. Saya tidak tahu, bagaimana bentuk rerajahan itu. Tidak mungkin rajahan sesakral itu, bentuknya mirip Doraemon. Pastilah seram.
Setelah dirajah, tubuh Ni Garu menyala hitam pekat membumbung sampai ke langit. Setiap sendi tubuhnya mengeluarkan api lima warna. Dengan anugerah Durga, Ni Garu jadi sakti. Dia memiliki 108 jenis pengiring. Ada beberapa ilmu mistik anugerah Durga kepada Ni Garu. Nama-namanya ialah: I Garuda Putih, Campur Tala, I Anggrek, I Kebo Wangsul, I Cambra Berag, I Gringsing, I Bintang Sumambang, I Sudhamala, Pudak Sategal, I Sampir, I Waringin Sungsang, Waringin Pitu, Blego Dawa, Jaka Tuwa, I Pering, I Ratna Pajajaran, I Sampian Emas, I Kebo Komala Sakti, I Misa Wedana, I Liak Gundul, I Jaran Guyang, Lenda-lendi, I Wedus, Weksirsa. 108 pengiring lahir dari empat ilmu yakni I Jaya Satru, I Enggo, Nyoman Numit, dan I Ketut Belog. Masing-masing dari keempat ilmu tadi, memiliki 27 anggota lainnya.
Ajian berubah rupa dan daftar ilmu lainnya dalam geguritan Basur bisa kita temukan pada lontar-lontar yang khusus bicara tentang ilmu ini. Daftar nama ilmu yang disediakan oleh geguritan Basur, bisa kita manfaatkan untuk melacak sumber-sumber lontar yang menjelaskan ilmu-ilmu itu dengan lebih spesifik. Jika daftar ilmu tadi berhasil kita kumpulkan, kita akan menemukan kekayaan Bali yang lain.
Basur sebagai karya shastra puisi, diikat oleh aturan-aturan agar memenuhi estetika. Keindahan adalah modal penting sebuah karya bagi pengarang pada jamannya. Selain keindahan, karya shastra umumnya berisi ajaran-ajaran etik. Di dalam geguritan Basur, kita dapat menemukan nasihat-nasihat kehidupan.
[….] eda emed mlajah sastra, sai sai plajahin, anggon manyuluhin raga, ala ayune katepuk, ring sekala lan niskala, nging eda banggi, wireh ngelah kawisesan [….]
[jangan bosan belajar sastra, sering-sering pelajari, untuk cermin diri, baik buruk terlihat, di alam nyata dan samar, tapi jangan jahil, sebab punya kemampuan]
Jangan bosan belajar shastra, sebab shastra menjanjikan kenikmatan yang lain dari pada kenikmatan makan, kenikmatan sandang, dan kenikmatan seksual. Ketiganya adalah jenis-jenis kenikmatan yang dicapai dalam hidup, istilah shastranya Tri Bhoga. Bhoga adalah makanan, upabhoga adalah sandang, paribhoga adalah hubungan seksual.
Bagi orang yang telah menikmati ketiganya disebut Wisata [free, bebas]. Jadi salah satu cara mencapai Wisata adalah dengan menikmati segala hal yang disediakan di dunia. Keindahan alam, kenikmatan makanan, kegairahan seksual, juga kekayaan material.
Orang-orang yang menikmati itulah yang disebut ‘sampai’. Begitulah karya shastra Bali memang bekerja dengan cara berbeda, selain estetik dan etik, dia juga mistik. Tidak melulu tentang spiritual, tapi juga material.