Hujan seharusnya menjadi berkah bagi petani.
Tapi tidak bagi I Wayan Asih, petani di Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Karangasem. Hujan yang terlalu banyak justru merusak sekitar cabai di 10 are lahan miliknya.
“Biasanya Juli begini sudah tidak ada hujan. Tapi sekarang masih sering turun sehingga merusak cabai saya,” katanya.
Akhir bulan lalu, Asih menunjukkan kerusakan cabai di lahannya yang berada di kaki Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali. Cabai berumur sekitar dua minggu itu dipenuhi bintik-bintik putih. Rusak arah atau benyah dalam bahasa Bali. Asih mengaku tak tahu nama hamanya tapi, menurutnya, hama itu membuat cabai lebih lambat tumbuh.
“Biji cabai pada umur panen juga lebih kecil,” katanya.
Asih menunjukkan cabai di lahan miliknya yang lain. Di lahan seluas 5 are itu, cabai sudah masuk musim panen. Warnanya sudah merah. Ukuran juga sudah sebesar jari kelingking orang dewasa. “Seharusnya bisa lebih besar. Ini cabainya kerdil,” tambahnya.
I Kadek Suparta, petani lain di Desa Rendang juga menuturkan hal serupa. Menurut Suparta rusaknya cabai di lahan mereka terjadi akibat perubahan cuaca saat ini. Karena hujan masih sering turun, padahal sudah masuk musim kemarau, maka cabai miliknya pun rusak.
Suparta, seperti juga Asih, menanam cabai sebagai selingan bagi tanaman utama mereka, padi. Dengan air yang terus mengalir sepanjang tahun dari sumber-sumber air dan sungai-sungai di wilayah tersebut, petani di Desa Rendang bisa menanam sepanjang tahun.
Umumnya, pola tanam mereka adalah padi, padi, dan cabai atau jagung.
Komoditas padi biasanya ditanam dua kali dalam satu tahun, sedangkan cabai atau jagung biasanya bergantian satu kali dalam setahun. Kedua komoditas ini biasa ditanam pada musim kemarau k
Karena cabai dianggap lebih menguntungkan, petani lebih banyak menanam cabai. Dalam sekali panen, ketika cabai sudah berumur 2,5 – 3 bulan, petani akan mendapatkan Rp 25 juta pendapatan kotor. Setelah dikurangi biaya bibit dan perawatan sekitar Rp 8 juta, mereka mendapatkan Rp 17 juta.
“Karena cabai rusak akibat cuaca, mungkin sekarang hanya dapat Rp 10 juta. Tidak sampai rugi sih tapi pendapatan jadi jauh menurun,” kata Asih.
Selain karena perubahan cuaca, Asih menduga, kerusakan cabainya saat ini juga karena bibit baru yang dia gunakan. Bibit tersebut dia peroleh dari salah satu pedagang bibit pertanian yang mengatakan bahwa hasil panen akan lebih banyak. “Setelah saya beli ternyata hasilnya malah jelek. Pedagangnya juga tak pernah ke sini lagi,” tambahnya.
Seperti sebagian besar petani di Indonesia, Asih dan Suparta, memang amat tergantung pada bibit dari perusahaan pertanian baik skala nasional ataupun internasional. Mereka mengaku tidak bisa membuat bibit sendiri karena tidak tahu teknologinya.
Kini Suparta sedang mencoba cara baru, menanam bibit tersebut di polibag dan berharap agar cabainya lebih tahan terhadap perubahan cuaca.
Kondisi yang dialami Asih dan Suparta tersebut sudah diprediksikan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan JICA. Adi Ripaldi dari BMKG Mataram yang pernah meneliti tentang dampak perubahan iklim terhadap pertanian mengatakan, Karangasem memang termasuk wilayah paling rentan terhadap perubahan iklim.
Mengutip data BMKG dan JICA, alumni S2 Sains Atmosfir Institut Teknologi Bandung ini mengatakan wilayah di Bali yang paling rentan terhadap perubahan iklim adalah seluruh wilayah Kabupaten Karangasem serta sebagian wilayah Tabanan dan Bangli.
“Kabupaten Karangasem memiliki tingkat kerentanan paling tinggi karena daerah tesebut memiliki tingkat eksposur tinggi namun kapasitas adaptasinya rendah,” kata Adi.
Tingkat eksposur secara sederhana adalah tingkat kesesuaian cuaca setempat terhadap perubahan iklim. Makin tinggi angkanya berarti makin rentan. Adapun kapsitas adaptasi adalah kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Daerah dengan tingkat kerentanan rendah meliputi Kabupaten Badung, Kota Denpasar, dan Kabupaten Jembrana. Mereka memiliki tingkat adaptasi tinggi dan tingkat sensitivitas rendah.
Menurut Adi, meskipun tingkat eksposur di Karangasem termasuk tinggi dibandingkan Denpasar dan Gianyar, namun petani di kabupaten ini justru tidak siap menghadapi dampak perubahan iklim terhadap pertanian.
Agar petani mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim, menurut Adi, perlu ada sekolah lapangan pertanian khusus tentang perubahan iklim dan pertanian. Sekolah lapang seperti ini sudah dilaksanakan di beberapa lokasi seperti Indramayu, Jawa Barat dan Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Sekolah lapang perubahan iklim ini bertujuan agar petani lebih memahami iklim setempat, ekosistem, serta cara tanam agar komoditas lebih tahan terhadap perubahan cuaca.
“Jika petani tidak belajar beradaptasi terhadap perubahan iklim, maka sumber pangan kita akan terancam,” ujar Adi. [b]