• Beranda
  • Pemasangan Iklan
  • Kontak
  • Bagi Beritamu!
  • Tentang Kami
Wednesday, June 18, 2025
  • Login
BaleBengong.id
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip
No Result
View All Result
BaleBengong
No Result
View All Result
Home Berita Utama

Iklim Berubah, Cabai pun Benyah

Anton Muhajir by Anton Muhajir
16 July 2014
in Berita Utama, Kabar Baru, Lingkungan
0 0
0

cabe-rusak01

Hujan seharusnya menjadi berkah bagi petani.

Tapi tidak bagi I Wayan Asih, petani di Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Karangasem. Hujan yang terlalu banyak justru merusak sekitar cabai di 10 are lahan miliknya.

“Biasanya Juli begini sudah tidak ada hujan. Tapi sekarang masih sering turun sehingga merusak cabai saya,” katanya.

Akhir bulan lalu, Asih menunjukkan kerusakan cabai di lahannya yang berada di kaki Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali. Cabai berumur sekitar dua minggu itu dipenuhi bintik-bintik putih. Rusak arah atau benyah dalam bahasa Bali. Asih mengaku tak tahu nama hamanya tapi, menurutnya, hama itu membuat cabai lebih lambat tumbuh.

“Biji cabai pada umur panen juga lebih kecil,” katanya.

Asih menunjukkan cabai di lahan miliknya yang lain. Di lahan seluas 5 are itu, cabai sudah masuk musim panen. Warnanya sudah merah. Ukuran juga sudah sebesar jari kelingking orang dewasa. “Seharusnya bisa lebih besar. Ini cabainya kerdil,” tambahnya.

I Kadek Suparta, petani lain di Desa Rendang juga menuturkan hal serupa. Menurut Suparta rusaknya cabai di lahan mereka terjadi akibat perubahan cuaca saat ini. Karena hujan masih sering turun, padahal sudah masuk musim kemarau, maka cabai miliknya pun rusak.

Suparta, seperti juga Asih, menanam cabai sebagai selingan bagi tanaman utama mereka, padi. Dengan air yang terus mengalir sepanjang tahun dari sumber-sumber air dan sungai-sungai di wilayah tersebut, petani di Desa Rendang bisa menanam sepanjang tahun.

Umumnya, pola tanam mereka adalah padi, padi, dan cabai atau jagung.

Komoditas padi biasanya ditanam dua kali dalam satu tahun, sedangkan cabai atau jagung biasanya bergantian satu kali dalam setahun. Kedua komoditas ini biasa ditanam pada musim kemarau k

Karena cabai dianggap lebih menguntungkan, petani lebih banyak menanam cabai. Dalam sekali panen, ketika cabai sudah berumur 2,5 – 3 bulan, petani akan mendapatkan Rp 25 juta pendapatan kotor. Setelah dikurangi biaya bibit dan perawatan sekitar Rp 8 juta, mereka mendapatkan Rp 17 juta.

“Karena cabai rusak akibat cuaca, mungkin sekarang hanya dapat Rp 10 juta. Tidak sampai rugi sih tapi pendapatan jadi jauh menurun,” kata Asih.

Selain karena perubahan cuaca, Asih menduga, kerusakan cabainya saat ini juga karena bibit baru yang dia gunakan. Bibit tersebut dia peroleh dari salah satu pedagang bibit pertanian yang mengatakan bahwa hasil panen akan lebih banyak. “Setelah saya beli ternyata hasilnya malah jelek. Pedagangnya juga tak pernah ke sini lagi,” tambahnya.

Seperti sebagian besar petani di Indonesia, Asih dan Suparta, memang amat tergantung pada bibit dari perusahaan pertanian baik skala nasional ataupun internasional. Mereka mengaku tidak bisa membuat bibit sendiri karena tidak tahu teknologinya.

Kini Suparta sedang mencoba cara baru, menanam bibit tersebut di polibag dan berharap agar cabainya lebih tahan terhadap perubahan cuaca.

cabe-rusak02

Kondisi yang dialami Asih dan Suparta tersebut sudah diprediksikan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan JICA. Adi Ripaldi dari BMKG Mataram yang pernah meneliti tentang dampak perubahan iklim terhadap pertanian mengatakan, Karangasem memang termasuk wilayah paling rentan terhadap perubahan iklim.

Mengutip data BMKG dan JICA, alumni S2 Sains Atmosfir Institut Teknologi Bandung ini mengatakan wilayah di Bali yang paling rentan terhadap perubahan iklim adalah seluruh wilayah Kabupaten Karangasem serta sebagian wilayah Tabanan dan Bangli.

“Kabupaten Karangasem memiliki tingkat kerentanan paling tinggi karena daerah tesebut memiliki tingkat eksposur tinggi namun kapasitas adaptasinya rendah,” kata Adi.

Tingkat eksposur secara sederhana adalah tingkat kesesuaian cuaca setempat terhadap perubahan iklim. Makin tinggi angkanya berarti makin rentan. Adapun kapsitas adaptasi adalah kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Daerah dengan tingkat kerentanan rendah meliputi Kabupaten Badung, Kota Denpasar, dan Kabupaten Jembrana. Mereka memiliki tingkat adaptasi tinggi dan tingkat sensitivitas rendah.

Menurut Adi, meskipun tingkat eksposur di Karangasem termasuk tinggi dibandingkan Denpasar dan Gianyar, namun petani di kabupaten ini justru tidak siap menghadapi dampak perubahan iklim terhadap pertanian.

Agar petani mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim, menurut Adi, perlu ada sekolah lapangan pertanian khusus tentang perubahan iklim dan pertanian. Sekolah lapang seperti ini sudah dilaksanakan di beberapa lokasi seperti Indramayu, Jawa Barat dan Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Sekolah lapang perubahan iklim ini bertujuan agar petani lebih memahami iklim setempat, ekosistem, serta cara tanam agar komoditas lebih tahan terhadap perubahan cuaca.

“Jika petani tidak belajar beradaptasi terhadap perubahan iklim, maka sumber pangan kita akan terancam,” ujar Adi. [b]

Tags: KarangasemPertanianPerubahan Iklim
Liputan Mendalam BaleBengong.ID
Anton Muhajir

Anton Muhajir

Jurnalis lepas, blogger, editor, dan nyambi tukang kompor. Menulis lepas di media arus utama ataupun media komunitas sambil sesekali terlibat dalam literasi media dan gerakan hak-hak digital.

Related Posts

The Waves Upon a Trance

The Waves Upon a Trance

7 June 2025
Kegigihan Hampir 40 Tahun dalam Mempertahankan Kerajinan Lontar 

Kegigihan Hampir 40 Tahun dalam Mempertahankan Kerajinan Lontar 

14 November 2024

Merespon Perubahan Iklim dengan Film dan Karya Seni Cukil

13 July 2024
ERK, VOB, dan Musisi lain Bergabung Suarakan Krisis Iklim Lewat Musik

ERK, VOB, dan Musisi lain Bergabung Suarakan Krisis Iklim Lewat Musik

7 July 2024
Perubahan Iklim di Bali, Anak Muda dan Tokoh Agama Melakukan Apa?

Perubahan Iklim di Bali, Anak Muda dan Tokoh Agama Melakukan Apa?

18 November 2023
Napak Tilas Konflik Tanah Desa Adat Bugbug

Napak Tilas Konflik Tanah Desa Adat Bugbug

23 October 2023
Next Post
Ancaman Krisis Air dan Banjir di Bali

Ancaman Krisis Air dan Banjir di Bali

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Temukan Kami

Kelas Literasi BaleBengong
Melali Melali Melali
Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu? Seberapa Aman Perilaku Digitalmu?

Kabar Terbaru

Rata-Rata Sekolah Dasar Negeri di Bali Memiliki Ruang Kelas Rusak

Rata-Rata Sekolah Dasar Negeri di Bali Memiliki Ruang Kelas Rusak

18 June 2025
Perjalanan Penyanyi Bali Legendaris Dealot

Perjalanan Penyanyi Bali Legendaris Dealot

17 June 2025
Pariwisata Bergeliat, Konflik Tanah pun Menguat

Pariwisata Bergeliat, Konflik Tanah pun Menguat

16 June 2025
Tiga Film di Balinale Soroti Isu Sosial

Tiga Film di Balinale Soroti Isu Sosial

15 June 2025
BaleBengong

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia

Informasi Tambahan

  • Iklan
  • Peringatan
  • Kontributor
  • Bagi Beritamu!
  • Tanya Jawab
  • Panduan Logo

Temukan Kami

Welcome Back!

Sign In with Facebook
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Liputan Mendalam
  • Berita Utama
  • Opini
  • Travel
  • Lingkungan
  • Sosok
  • Budaya
  • Sosial
  • Teknologi
  • Gaya Hidup
  • Arsip

© 2024 BaleBengong Media Warga Berbagi Cerita. Web hosted by BOC Indonesia