Pada Senin, 31 Mei, Denpasar kedatangan tamu spesial dari Yogyakarta. Seorang musisi yang dikelilingi mitos terutama kalangan para pegiat kesenian kontemporer di Denpasar. Termasuk musik dan teater, karena dia aktif berkegiatan di kedua bidang tersebut.
Peran Yennu Ariendra dalam teater adalah pengisi latar musik dalam sebuah pementasan. Ia tergabung dalam sebuah kelompok teater di Yogyakarta bernama Teater Garasi, tergabung juga dalam sebuah band bernama Melancholic Bitch, dan projek duo bernama Raja Kirik, dan banyak lagi.
Pada 31 Mei kemarin ada diskusi kecil-kecilan yang membicarakan atau menceritakan proses kreatif Yennu selama ini. Pengalaman saya sendiri mengetahui Yennu dari ketidak sengajaan saya menyaksikan pementasan berjudul “Menara Ingatan” beberapa tahun lalu.
Walaupun saya hanya dapat menyaksikan lewat Youtube tapi sampai saat ini pementasan itu sangat membekas dalam pikiran. Menjadi sebuah pertanyaan besar apa yang melatar belakanginya mencipatakan sebuah karya yang saya rasa memiliki sifat begitu pribadi bagi Mas Yennu.
Dengan pementasan berdurasi 1 jam lebih 6 menit, saya seperti menyaksikan sebuah pagelaran musik yang panjang dengan diberi tempelan aktor yang memperagakan lewat bahasa tubuhnya. Narasi-narasi itu menjadi sebuah pertanyaan bagi saya, ini maksudnya bagaimana dan apa?
Tapi sebagai penonton yang baik saya sepertinya tidak harus mengetahui jawaban itu secepat kilat. Kemarin pada diskusi yang diberi judul “A-Z Sampai Tuntas” yang diadakan oleh Sumber Jaya Makmur bertempat di Diztro Darurat, Mas Yennu menceritakan banyak proses kreatifnya selama berkecimpung dalam musik.
Diskusi ini juga dimeriahkan oleh dua moderator yaitu Kasymin salah satu anggota dari grup musik Gabber Modus Operandi dan Bayu Krisna (Beka) salah satu anggota dari band Rollfast. Ada juga Raka Ibrahim adalah jurnalis sekaligus kritikus yang intens bicara menyoal musik.
Mas Yennu juga menceritakan sedikit tentang projek pribadinya Menara Ingatan. Dia menceritakan tentang kejenuhannya selama berkesenian, kemudian ada akal ingin menyudahinya dan memilih untuk bertani di kampungnya di Banyuwangi.
Sampai pada akhirnya Mas Yennu malah menemukan ide baru ketika berada di kampungnya, bahwa dia mengatakan ada semacam identitas yang ditanam dalam tubuhnya dari berlarut-larut lamanya.
Entah itu dari bapak, kakek, dan moyangnya sekaligus. Kemudian Mas Yennu mencoba mencari sekaligus mendekati identitas yang dia pikir tersebut. Sampai akhirnya Mas Yennu mendapati bahwa ada luka besar yang dialami oleh keluarga Mas Yennu, pada tahun 1968 kakek beliau ditangkap dan dihilangkan oleh tempelan isu-isu Orde Baru.
Akhirnya luka itu mengendap menjadi sejarah yang dirawat apik oleh keturunannya sehingga menjadi identitas Mas Yennu sendiri, bahwa dia memiliki DNA itu dalam tubuhnya. Yang akhirnya perlahan harus didekati lewat jalur mengulik ulang bagaimana sejarah panjang Mas Yennu dengan keadaan sosial, lingkungan, politik, dan budayanya.
Ternyata latar belakang itu yang membuat Mas Yennu akhirnya tergerak dan semacam menemukan titik gairah lagi dalam berkarya. Ia mengumpulkan banyak data yang berkaitan dengan isu-isu itu di tempat kelahirannya. Data-data itu dia kumpulkan dari cerita-cerita orang, literasi bahkan bentuk kesenian daerahnya sekalipun yang dia percayai memiliki kaitan dengan identitas dirinya. Data yang dikumpulkan mengendap dalam dirinya, kemudian dijadikanlah pentas “Menara Ingatan”.
Menariknya adalah bagaimana proses Mas Yennu percaya dan disipli memilah data untuk didekontruksi ulang menjadi sebuah narasi satu-kesatuan. Sebab saya sangat meyakini dalam proses pencarian data itu tidak mungkin bisa menemukannya dengan terstruktur. Ada ulang-alik wacana yang jika dipikirkan alurnya seperti maju mundur bahkan tumpang tindih.
Kemudian data-data itu dia ubah menjadi sebuah musik yang awalnya sangat kental akan tradisi jika dibaca dari bentukan lirik dan alunan utama musik di tiap repertoarnya. Dikemas ulang menjadi sedikit berbeda dengan sentuhan alat musik elektronik dan techno.
Yang menjadikan pentas ini kemudian menjadi sangat menarik disaksikan. Mas Yennu mengatakan bahwa identitas dirinya sangat dia yakini memiliki hubungan dengan identitas-identitas orang di sekitarnya.
Dia percaya bahwa tiap diri memiliki lukanya masing-masing walaupun bentuknya berbeda pula. Memiliki sejarah kekerasannya sendiri dan memiliki DNAnya sendiri, yang kemudian dipecahbelahkan karena komunikasi bahasa pada tiap orang-orang.
Akhirnya Mas Yennu meyakini hanya tubuh satu-satunya komunikasi bahasa yang bisa menjembatani dan menghubungkan satu sama lain menjadi sebuah memori kolektif bersama. Saya mengamini itu setelah mendengar Mas Yennu mengatakan hal tersebut.
Saya langsung terlempar ke masa pertama kali menyaksikan Menara Ingatan. Bagaimana saya seolah dipaksa mengerti oleh tubuh-tubuh aktornya di atas panggung. Bagaimana tubuh itu seolah membahasakan lirik, musik ,dan narasi yang Mas Yennu bangun.
Kemudian tubuh-tubuh itu seperti memancarkan sebuah arti yang hanya antara aktor dan penonton itu sendiri yang mengerti. Puncaknya adalah ketika di tengah pementasan Mas Yennu menempatkan satu repertoar yang berisi alunan musik dangdut yang diremix ala-ala house musik.
Tanpa disadari oleh penonton temasuk saya seperti merasa hanyut oleh suasana itu, tubuh seolah sepakat memiliki bahasanya sendiri ketika mendengar musik. Akhirnya ini mungkin yang dikatakan Mas Yennu sebagai memori kolektif bersama.
Pembukaan diskusi menjadi sangat hangat oleh cerita latar belakang proses kreatif dari Mas Yennu. Riset berkelanjutan ke dalam projek-projek selanjutnya termasuk yang melatarbelakangi karya-karyanya di Raja Kirik.
Itu sangat terasa ketika saya juga mencoba riset ala-ala mencari tau tentang Mas Yennu di Raja Kirik. Sangat terasa bagaimana itu adalah identitas yang begitu dekat oleh Mas Yennu. Saya hanya bisa merasakan dan mencari celah adakah hal serupa dalam identitas saya dengan yang Mas Yennu abadikan dari identitas dirinya lewat karya.
Kemudian diskusi berlanjut ke arah pembicaraan ekosistem musik yang hari ini. Bahwa ekosistem itu memang harus dibangun dengan sadar bersamaan dengan melesatnya kelahiran karya di sekitar ruang lingkup itu.
Misal jika menggunakan Denpasar sebagai objeknya, maka ekosistem permusikan Denpasar itu memang harus dimulai dari sekarang. Membaca musik bisa sampai sejauh mana dan memasuki ruang-ruang berbentuk apa saja? Memiliki orang-orang yang memang harus siap terjun di luar kekaryaan musik, semisal tentang pembentukan pasar, jurnalis musik, bahkan hingga kelangsungan hidup musisi dan team.
Mas Yennu mengatakan bahwa seniman musisi itu tidak boleh dibebani oleh pikiran biaya dan lain sebagainya. Menghambat musisi menciptakan sesuatu. Musisi biarlah bekarya. Maka orang-orang yang di belakangnya ini yang harus siap menjadi penimba air bagi musisinya, mencarikan dana, mengurus pengemasan karya hingga membaca pasar karya tersebut. Bahkan harus menyiapkan pengarsipan karya tersebut baik itu lewat tulisan dan lain sebagainya.
Maka ekosistem itu menjadi penting dalam sebuah skena untuk menyelaraskan membludaknya karya yang keluar. Bagaimana mengelola dan mengatur itu semua agar menemukan ruang dan pendengarnya masing-masing.
Sedangkan jika dibaca ulang, Denpasar mengalami masalah ekosistem yang memang cukup rentan. Ada beberapa kelompok musik yang memilih keluar dari Denpasar untuk membuka ruang kemungkinan mencari ekosistem yang baik.
Dalam artian keluar bukan merasa mengasingkan diri dan tidak menganggap Denpasar sebagai sebuah domisilinya, tapi karena faktor utama tadi. Tidak ada ekosistem yang siap untuk membantu para musisi dalam bidang keberlangsungan kekaryaan.
Yang menjadi masalah adalah tiap grup musik atau band merasa memiliki jalannya masing-masing, seolah satu dengan lainnya tidak memiliki kepentingan apapun. Termasuk menutup diri terhadap lintas disiplin lainnya. Mungkin itu yang kemudian menghambat kesadaran para pegiat musik menyadari pentingnya sebuah ekosistem dalam berproses kreatif. Mas Yennu juga mengatakan bahwa identitas dan ekosistem adalah hal terpenting dalam sebuah kekaryaan sebagai rujukan untuk menemukan dan membuat pasar musiknya sendiri.
Sebagai penutup kapan Denpasar akan memulai hal tersebut? Jika memang sudah kenapa tidak terdengar dan sampai kepada para pegiat musik yang lebih luas. Mungkin terlalu naif mengatakan mari kita bangun bersama ekosistem dan pasar musik Denpasar yang apik, berbudi luhur, dan adi luhung. Mungkin sederhananya kapan para pegiat kesenian antar lintas disiplin mulai sadar dan membuka diri untuk membuat ruang-ruang diskusi yang lebih intens?