Teks Anton Muhajir, Foto IGN Pramesemara
The 9th International Congress on AIDS in Asia and the Pasific (ICAAP 9) di Bali pada 9-13 Agustus ini dianggap belum mengakomodir kepentingan klien methadone. Tak ada satupun sesi khusus membahas tentang terapi untuk injecting drug user (IDU) yang tak sedikit di antaranya pasien terapi antiretroviral (ARV).
Dika dari Jaringan Methadone Indonesia mengatakan belum ada dukungan khusus dari ICAAP terhadap klien program rumatan methadone. Dika merupakan klien program rumatan methadone di Puskesmas Kecamatan Senen Jakarta. Mantan IDU ini mengikuti terapi tersebut sejak awal 2004. Saat ini dosis methadonenya 195 mg dari dosis 200 mg ketika pertama kali ikut.
Terapi methadone merupakan salah satu upaya dalam program harm reduction. Terapi ini biasa diikuti IDU yang ingin mengganti kebiasaannya menggunakan heroin dengan jarum suntik ke terapi oral agar tidak tertular HIV. Selain itu, terapi methadone juga bagian dari upaya IDU untuk menghilangkan kecanduannya pada heroin.
Meski sangat berhubungan dengan IDU maupun HIV/AIDS namun isu methadone belum dibahas sama sekali dalam ICAAP kali ini. “Memang banyak komunitas IDU maupun orang dengan HIV/AIDS, namun isu methadone kurang diperhatikan. Buktinya belum ada sesi khusus yang membahas masalah methadone,” ujar laki-laki ini.
Padahal menurut Dika, klien methadone di tingkat regional juga menghadapi masalah yang juga kompleks. Di Indonesia misalnya, Dika menyebutkan contoh kebijakan yang belum mendukung kepentingan klien terapi methadone.
Di Jakarta, lanjutnya, peraturan di tiap Puskesmas yang memberikan layanan terapi methadone berbeda-beda. Akibatnya harga antara satu Puskesmas dengan Puskesmas lain pun berbeda. Di satu Puskesmas harganya Rp 5000 per dosis. Tapi di tempat lain bisa Rp 7000.
Peraturan lain yang menghambat klien methadone, tambah Dika, adalah aturan tentang take home dose atau dosis dibawa pulang. Sebagian tempat layanan ada yang melarang klien untuk membawa pulang dosis methadone di atas 3 mg. “Ini menyusahkan bagi klien yang ingin keluar kota,” ujarnya.
Yeni, Yeni, klien methadone di Program Rumatan Methadone Sanglah Bali, membenarkan pernyataan Dika tentang belum adanya perhatian pada persoalan methadone dalam ICAAP kali ini. Padahal, menurut Yeni, klien methadone juga menghadapi masalah kesehatan terkait dengan HIV/AIDS. Hal ini terjadi terutama pada klien methadone yang juga ikut terapi ARV.
Sebagian klien methadone yang juga ikut terapi ARV, kata Yeni, menghadapi komplikasi obat. Dua obat ini seperti berlawanan ketika diminum bersama. “Tapi kenapa hal semacam ini juga tidak mendapat perhatian di ICAAP,” tanya Yeni.
Selain itu, lanjutnya, harga methadone juga masih termasuk mahal untuk sebagian klien. Menurut Yeni ada klien methadone yang sampai putus karena tidak kuat bayar. “Padahal dia sudah pakai kartu miskin namun tetap tidak bisa mendapat methadone gratis,” tambahnya.
Yeni dan Dika mengatakan terapi methadone seharusnya gratis seperti halnya di Myanmar. “Methadone dapat bantuan dari mana-mana,” ujar Yeni.
Menurut Yeni dan Dika belum diangkatnya isu methadone dalam ICAAP ini terjadi salah satunya karena belum adanya jaringan yang kuat di antara sesama klien methadone. Jaringan klien methadone di Indonesia sendiri, kata Dika, memang tidak sekuat di negara lain seperti Amerika Serikat. Di negara ini sudah ada National Alliance for Medication Assisted Recovery (NAMA) yang aktif mengadvokasi kepentingan klien methadone. Namun di Indonesia, jaringan klien methadone justru belum terbentuk.
Yeni, yang kini minum methadone 85 mg dari pertama kali 190 ml, klien methadone di Bali memang tidak memiliki jaringan yang kuat. Dua jaringan klien methadone di Bali yaitu Ikatan Klien Methadone (IKLIM) dan Methadone Plus, jaringan klien methadone yang juga positif HIV, selama ini mati suri.
“Jangankan program untuk mengadvokasi sesama klien methadone, untuk kumpul pun susah banget,” kata Yeni.
“Kalau diajak berkumpul, para klien methadone mikirnya pragmatis banget. Kalau diundang kegiatan mereka hanya mikir dapat duit atau tidak. Kalau tidak ada uang transpornya, maka mereka tidak akan ikut kegiatan tersebut,” tambahnya. [b]