Dia kerap menyampaikan pendapat dengan diplomatis.
Saya beberapa kali bersua Ketua Pengurus Harian Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat I Ketut Wiana ini dalam sejumlah diskusi berbeda-beda. Dia mampu memadukan kitab suci dan konteks.
Menurut saya, dia penulis dan pemateri soal agama yang moderat.
Karena itu, saya tergugah untuk bertemu sesaat setelah ada sejumlah berita terutama media online yang mengutip komentarnya soal rencana reklamasi Teluk Benoa. Dalam artikel itu, dia menyebut reklamasi sangat tepat karena malah menyelamatkan Bali. Saat itu di berita-berita disebut juga PHDI pusat setuju rencana ini.
Selain itu, ada tulisan dari seorang pewarta BaleBengong yang mempertanyakan kenapa Wiana seperti itu. Padahal di buku-buku dan makalahnya konteks lingkungan kerap hadir sebagai sebuah filosofi.
Pertemuan ini saya sampaikan ke Wiana sekaligus untuk memberikan tempat bersuara agar kita tahu lebih banyak. Karena itu saya menyajikan dalam bentuk tanya jawab saja untuk mengurangi interpretasi.
Saya menemui Wiana di rumahnya Senin kemarin. Berikut obrolan kami.
Bapak pro reklamasi Teluk Benoa?
Tidak bisa begitu, pro kebjakannya. Sangat bijak siapa pun yang terlibat Teluk Benoa rusak kan, benin mangkin (dibenahin sekarang). Reklamasi artinya dipulihkan kembali, reclaim. Nambah bangunan 300 hektar, dibangun art center, museum, gedung pameran kesenian, dan dibangun diaroma Weda Mahabrata Ramayana. Ketentuan UNDP setiap pembangunan tak boleh melanggar HAM, lingkungan, dan ciri khas budaya.
Tiang melihat apanya yang salah? Ada 12 pulau, kalau pasang tidak terlihat. Idealnya air berputar di pulau itu.
Dampak tenaga kerja 200 ribu seketika, imigrasi. Jawabannya itu setelah 15 tahun baru muncul. Tahun pertama mungkin 5.000. Ini harus dikaji oleh ahli, jangan ada imigrasi, urbanisasi. Harusnya yang mengkaji perguruan tinggi.
Bapak dalam proyek reklamasi ini sebagai apa?
Sebagai pemakalah, penganalisis bidang kebijakan. Konsultan, diundang sebagai pembicara. Yang undang Kementerian Lingkungan ada beberapa kali.
Sebagai narasumber, apa penjelasan Bapak?
Setuju tapi dampaknya harus dianalisis. Baru kebijakan dan teknis katanya sudah jalan, misal air pasang.
Penolakan yang ada kan karena dampak lingkungan?
Kalau betul ditutup 700 hektar begitu. Tapi ini ndak ada seperti itu. Yang saya bahas naskah tertulis dari Gubernur dan investor. Kalau diurug saya tak setuju. Ini kan tak diurug.
Pulaunya kan diurug?
Tidak diurug, itu dimunculkan (memperlihatkan gambar proposal TWBI). Bukan diurug. Itu saya sedih sekali.
Kan perlu pasir untuk ngurug?
Ini kajian teknis, kalau sedimentasi dinaikkan urugan tak cukup karena ada pemanasan global, air meningkat. Pada 2009 pernah ada (konferensi) climate change, 40 tahun lagi kaki pulau Bali akan hilang karena pemanasan global. Kalau pasang tertutup.
Sekarang dimunculkan lagi pulau itu, sedimen tak cukup untuk ngurug, perlu pasir di Lombok. Bukan diurug sembarangan, 700 hektar diurug kan ndak. Hanya yang tak bisa dimunculkan kan diurug. Dikembalikan dia.
Campuhan sekarang kotor, sekarang dibersihkan, dari segi lingkungan inilah lebih baik. Saya punya tanah leluhur 2,5 hektar (Wiana menyebut pernah tinggal di Bualu, Nusa Dua) dulu nyari yuyu sekarang tak bisa karena nyat. Apa salahnya diurug kan untuk diperbaiki. Tak sembarang diurug.
Bukan pulau baru?
Sudah ada 12 pulau di sana tapi kabur. Foto udara. Saya dari kecil di sana. Pulau pudut 28 hektar sekarang sisa 1 hektar. Kalau diurug untuk mengembalikan apa salah itu? Tolong jangan dipelesetkan, bukan pulau baru. Tapi kabur ini, ada itu pulau, model di Candidasa. Bukan diurug buat pulau baru, ndak, keliru itu.
Sudah dijanjikan sesuatu oleh investor?
Investor tak pernah. Proyek ini menjanjikan alam akan baik.
Dari segi materi?
Sing maan tiang, pang ten pelih nyen. Maan pis 3 juta oleh menteri (saat jadi pemateri). Ten ade. Ne bau tanah nu ngalih amplop? Keponakan keto. Mungkin karma saya, dari dulu saya selalu bela begini. Dulu kan tak boleh ngae rumah metingkat tahun 70an, tak ada seperti itu dalam ajaran Hindu. Dulu art center diobok saya bela. Underpass, kalau ada ajaran melarang mesulub, dije?
Sebagai apa di PHDI?
Pengurus Ketua Harian PHDI Pusat.
Bagaimana posisi PHDI?
Ingin dijaga campuhan, kesuciannya. Nambah mangrove lebih bagus lagi. Hutan, laut, gunung sekarang kotor diperbaiki kita harus berterima kasih. Yang dibahas masalah campuhan saja, menegakkan bhisama itu. Kalau dibiarkan itu kualat menurut saya.
Diperbaiki tanpa investasi?
Silakan dikaji yang mana tepatnya. Usul saya 28 halaman, di samping dibangun art center, museum, gedung pameran, bangunlah diorama. Misalnya Weda turun ada ceritanya.
Mendorong pemerintah yang perbaiki?
Setiap kebijakan pemerintah yang mengerjakan pasti perusahaan apalagi di atas 100 juta kan ditenderkan. Kalau sudah jadi, ditenderkan. Kalau sudah jadi, pemerintah yang jawab- tim Amdal bukan TWBI. Nusa Dua kan, waktu itu saya sempat metahan tahun 72 karena tanah saya diambil 1 hektar 30 are, saya pertahankan untuk ganti tanah, ndak juga. Nusa Dua kan hampir tiap tahun hampir setor 1 triliun ke pusat ini kurang tepat. Kaji ini jangan apriori.
Keputusan PHDI?
Ada Tim 9 para pendeta. Secara informal, ade ngomong, nak kel benin sing bang? Tapi de satuang to. Tapi ini baru sikap saya pribadi. Saya sarankan jangan melibatkan diri dalam proyek karena ini bukan lembaga bisnis. Tapi apapun proyek dilakukan pemerintah atau swasta jangan merusak campuhan, hutan, gunung. Kalau larang reklamasi itulah yang akan menghancurkan Teluk Benoa. Bahkan lebih cepat 40 tahun, itu kakinya. Itu daerah saya.
Bapak masuk dalam Tim TWBI?
Bukan. Saya bukan tim. Dulu parisada dihubungi tim Amdal di Jakarta, saya jawab sebaiknya jangan dulu pakai PHDI. Ditunjuk pakar, saya maju sebagai pakar menganalisis. Hasil analisis saya menjadi 65 halaman. Wajib hukum sebagai pengurus mensosialisasikan campuhan suci, sekarang rusak. Kalau tak diperbaiki dosa dong.
Siap berdiskusi dengan yang kontra?
Siap. Saya siap kebijakan. Tapi teknisnya ahli planologi, ahli pariwisata. Debat dulu, renungkan. Debat bukan bertengkar. Ada 3 cara berdebat, Sastra Wada, Budi Wada, Prema Wada. Sastra, naskah pak Gubernur, mungkin investor yang beri tapi yang dikasi Kementrian dari tim Amdal. Itu yang dikaji. Setelah analisa, nirwicara, renungkan lagi. Baru keputusan. Tak ada permusuhan di antara kita. [b]