“721000 sexual crimes were committed against women last year alone. Sexual violation can happen to anyone, anywhere...”
Kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak menjadi lead HUSH, film karya kolaborasi Djenar Maesa Ayu dengan Kan Lume, sutradara asal Singapura. Isu yang cukup relevan hingga hari ini. Apalagi melihat maraknya kasus kekerasan seksual yang menjadikan perempuan sebagai korban.
Perempuan dan seksualitas sebenarnya bukan hal baru dalam kekaryaan Djenar. Hal yang kerap dianggap tabu untuk diperbincangkan dalam konteks budaya timur Indonesia tersebut justru menjadi isu sentral dalam setiap karyanya, baik lewat buku maupun film telurannya. Mereka Bilang Saya Monyet (2008), SAIA (2009), dan Nay (2015) adalah tiga film sebelumnya yang mengangkat tema senada dengan gaya berbeda.
Film keempat Djenar ini menjadi salah satu film yang diputar pada perhelatan festival film tahunan Bali International Film Festival (BALINALE 2017) di Cinemax Lippo Mall Kuta. Festival ini satu di antara festival film berskala internasional di Bali yang menghadirkan film-film kontroversial dan berkaitan dengan isu terkini.
Dengan konsep mokumenter, sebuah garapan fiksi yang dikemas seolah nyata dengan gaya documenter, Djenar dan Lume menghadirkan sosok Cinta Ramlan. Cinta yang berperan sebagai seorang penyanyi asal Bali yang berkarier di ibu kota, sebagai tokoh yang mewakili isu feminis dalam tataran seksualitas yang menjadi bahasaanya.
Dalam film ini diceritakan bagaimana Cinta mencari penyegaran dari segala kesemerawutan Jakarta, dengan bertolak ke Gili, Nusa Tenggara Barat hingga akhirnya kembali ke rumahnya di Bali. Tidak langsung merujuk pada konteks awal, yakni kasus kekerasan seksualitas perempuan yang menjadi pembuka dan footage di beberapa bagian film tersebut.
Namun, di film ini, juga ingin menggambarkan bagaimana pandangan mengenai seks itu sendiri yang belum setara pada dua gender, perempuan dan laki-laki.
Di mana laki-laki dengan daya dan imaji seksualitasnya adalah sesuatu yang wajar bahkan menjadi hal yang superior, sementara sebaliknya jika perempuan berada posisi tersebut mendapatkan label negatif. Sementara bagi Cinta yang ingin merdeka dengan tubuhnya dan tidak segan-segan mengungkapkan kesukaannya pada seks. Di mana seks menjadi kebutuhan baik perempuan dan laki-laki.
“Di Indonesia itu, kalau laki-laki berhubungan seks dengan banyak orang, dinilai maskulin, mereka bangga. Tapi kalau perempuan yang begitu, perempuan itu, kami, dianggap pelacur. Ini nggak adil,” ujar Cinta dalam salah satu tuturannya di film Hush dalam bahasa Inggris.
Sesungguhnya ini sebuah tuturan menarik untuk dibahas dengan latar belakang Cinta yang notabene seorang public figure seolah berani “menelanjangi dirinya” dengan pengalaman yang ia tuturkan dalam film ini. “Hushhhh”, kata yang kerap dijadikan peringatan untuk tidak membicarakan hal-hal yang dianggap tabu ini, secara tidak langung juga mengingatkan publik untuk berbicara, mendobrak dan meluruskan konstruksi yang salah ini.
Isu yang Melebar
Hanya saja ada jarak antara lead di awal dan apa yang ingin disampaikan Cinta dalam perjalanannya ini sehingga membuat isu yang diangkat justru melebar. Benang merah antara kasus kekerasan seksual yang diangkat di awal atau pembuka film ini justru hadir hampir di penghujung film ini. Saat Cinta akhirnya menuturkan pengalaman bagaimana ia mendapati kekerasan seksual tersebut di usianya yang masih anak-anak.
Sesungguhnya jarak yang dihadirkan bisa jadi sebagai pengantar, menambah pemahaman dan perspektif lainnya akan isu ini sendiri. Namun, sebaliknya, justru tidak ada hal baru yang kemudian lahir dari sana.
Apalagi dihadirkan dengan dengan gaya dokumenter lama, yakni wawancara face-to-face, dalam durasi yang tidak pendek, yakni 90 menit, penonton tidak lebih dari sekadar mendengarkan curhat seorang Cinta Ramlan selama di Gili dan Bali. Akan lebih menarik jika Djenar dan Lume mampu mengeksplorasi cara pengemasan film itu sendiri.
Terlebih pada era milenial hari ini dan berbagai perkembangan gaya dokumenter dalam medium film, menampilkan gagasan dengan penuturan gaya lama seperti itu tidak akan membedakan dengan sekadar membaca sebuah artikel atau justru dengan film-film Djenar sebelumnya.
Ide dan pesan yang ingin disampaikan sejatinya adalah hal yang sangat menarik dan tidak bisa dikatakan tidak penting untuk membuka pikiran publik hingga hari ini. Namun kembali yang menjadi tantangan bagi film maker adalah bagaimana mengemas ide terebut agar pesan dapat tersampaikan dan menggugah orang untuk gelisah setelah menontonnya. [b]