Kehidupan masyarakat Bali berubah, karena itu hukum adat juga harus menyesuaikan.
Sekitar 50 orang dari pemerintah, pemuka adat, aktivis perempuan, dan LSM mendeklarasikan komitmen penegakan hukum adat Bali yang adil dan setara untuk perempuan dan anak di Tabanan, Juni lalu. Mereka mengkampanyekan gerakan penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan pada perempuan dan anak atas dasar tafsir agama dan adat.
Komitmen ini disuarakan melalui Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara (KIAS) Bali. KIAS merupakan jaringan nasional masyarakat yang bertujuan menghapus praktik diskriminasi dan kekerasan pada perempuan yang didasarkan atas tafsir agama dan budaya.
Deklarasi KIAS ini berisi komitmen menciptakan kedamaian di warga dan masyarakat atas prinsip kesetaraan dan penghormatan atas keyakinan. Kedua, mengkampanyekan gerakan penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan perempuan atas tafsir agama dan adat.
“Kami menuntut pemerintah memberikan perlindungan pada perempuan dan anak serta masyarakat dari bentuk dan diskriminasi atas kekerasan seperti dijamin dalam UUD,” ucap Ardiaska, Ketua Aliansi We Can, gerakan antikekerasan pada perempuan dan anak.
Pemerintah juga diharap melakukan tindakan tegas pada pelaku kekerasan dan diskriminasi khususnya pada perempuan dan anak atas nama agama dan budaya yang terdistorsi. “Pemerintah harus mencabut peraturan di tingkat nasional dan daerah yang mensahkan diskriminasi atas nama budaya dan agama,” tambah Ardiaska.
Gerakan ini adalah hasil Konsultasi Nasional di Bali pada akhir 2010 lalu. Pada pertemuan yang dihadiri 33 lembaga se-Indonesia mereka menyepakati gerakan ini akan dideklrasikan di 17 provinsi tahun ini. Gerakan ini dikoordinir Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK) di tingkat nasional.
Patiwangi
Untuk daerah Bali, KIAS menerbitkan buku saku berjudul Payung Adat untuk Perempuan Bali. Buku ini mengulas secara singkat praktik diskriminasi yang terjadi dan penjelasan mengenai konsep perkawinan, pernikahan, dan hak anak di Bali. Selain itu menyosialisasikan putusan Majelis Utama Desa Pekraman pada 2010 yang dinilai membawa perubahan prinsip hukum adat yang menegakkan hak-hak perempuan di Bali. Selain itu ada tujuh buku saku lain versi hukum Islam.
Ketua LBH APIK Bali Ni Nengah Budawati mengatakan pemerintah Bali lalai menganggarkan sosialisasi hasil Pasamuhan Agung III Majels Utama Desa Pekraman (MUDP) itu, yang dinilai sebagai sejarah penting upaya hukum adat berubah untuk penegakan hak perempuan dan anak secara adat. “Kami sudah mendesak DPRD menganggarkan sosialisasi putusan majelis adat ini agar kasus kekerasan atas nama adat dan agama berkurang,” ujar Budawati.
Padahal di hasil MUDP yang beranggotakan 1480 desa pekraman di Bali itu, menyepakati sejumlah hasil-hasil yang dinilai bisa mengurangi kekerasan dalam struktur masayarakat Bali. Misalnya pelarangan upacara Patiwangi, sebuah upacara mahal untuk menanggalkan kasta bagi perempuan yang menikah dengan laki-laki tak berkasta. Jika pasangan ini bercerai, perempuan yang sudah menanggalkan kasta kerap tak diterima lagi oleh keluarganya. Dulu, perkawinan jenis ini dilarang keras bahkan ada yang dibuang ke Nusa Penida. Pada tahun 1951, DPRD Bali sudah memtuskan jenis hukuman adat seperti ini tak diperbolehkan.
Selain itu MUDP juga mengakui adanya status pernikahan Pada Gelahang, situasi di mana suami istri punya hak yang sama atas hak dan kewajiban adat, hak asuh anak, dan pembagian warisan. Jenis perkawinan yang dianggap darurat, sebagai jalan keluar agar kedua belah pihak memiliki hak yang sama. Biasanya jika laki atau perempuan adalah anak tunggal di keluarganya masing-masing. Perjanjian Pada Gelahang biasanya tertulis dengan kesepakatan bersama.
Sistem patriarki dalam perkawinan biasa dalam kebiasaan Bali mewajibkan istri ikut keluarga suami termasuk penyembahan leluhur dan hak asuh anak. “Kami sudah mendampingi beberapa kasus perebutan hak asuh anak ketika pasangan hendak bercerai, dan perempuan dinilai pengadilan tak berhak mendapat hak asuh,” kata Budawati.
Adat menyesuaikan
Salah seorang pengurus MUDP Bali, I Ketut Sudantra mengatakan kehidupan kemasyarakatan di Bali berubah, karena itu hukum adat juga harus menyesuaikan. “Pilihan perkawinan Nyentana dan Pada Gelahang bisa jadi solusi putusnya generasi di keluarga itu. Salah satu penyebabnya sukses program KB, dua anak cukup,” kata dosen Hukum spesialis adat di Universitas Udayana ini.
Dulu, menurutnya banyak anak di keluarga Hindu Bali memudahkan pembagian tanggung jawab sosial dan adat. Di lembaga konsultasi hukum adat yang dikelolanya, sedikitnya ada 30 orang yang berkonsultasi untuk menikah dengan status Pada Gelahang.
Selain itu, Ia meyakini, perubahan hukum adat harus terjadi untuk menyelamatkan tradisi dan generasi Hindu di Bali. “Di lain pihak, konflik adat semakin berkurang karena semakin banyak yang tidak peduli dengan adat,” katanya.
Di tiap desa, bahkan banjar memiliki kebiasaan yang berbeda soal perkawinan dan keluarga. Karena itu menurutnya panduan MUDP sangat penting untuk mengurangi tindakan diskriminatif dan intimidasi. Misalnya di Klungkung dan Buleleng tidak mengenal Nyentana tapi ada praktik Pada Gelahang.
“Ini berat, prinsipnya harus kesepakatan kedua belah pihak. Konsep ini lambat laun bisa menjadi universal di Bali,” kata Sudantra.
Menarik sekali, saya cukup tertarik dengan topik ini. Terutama sistem pernikahan dimana umumnya perempuan yg ikut suami. Hal ini selain tidak adil bagi perempuan, juga seringkali memberatkan orang tua yg tidak memiliki anak laki-laki karena untuk mencari “sentana” sangat sulit. Paman saya bahkan ada yg sampai punya 4 anak perempuan demi mencari anak laki-laki dan secara tidak langsung ada kemungkinan dalam keluarga seperti itu anak perempuan menjadi kurang “bernilai”.
peranan kaum perempuan dalam pelaksanaan adat di Bali sangatlah besar.jadi,sdh waktunya hukum adat Bali saat ini harus mulai ‘sedikit’ dibenahi agar lebih memperhatikan hak-hak kaum perempuannya.Semoga dan hal ini harus terealisasi.Bila selama ini perempuan Bali begitu banyak menjalankan kewajibannya pada adat demi kebaikan keluarganya,maka hak-haknya pun juga harus diberikan agar tercapai keadilan dan kedamaian dlm menjalankan kehidupan ini.semoga !
menarik sekali….hidup perempuan Indonesia…
saya ingin belajar lebih jauh tentang kerterlibatan hukum nasional dengan hukum adat terutama di pernikahan. jika kewajiban rumah tangga saya rasa sudah berimbang dimana yg laki” di sawah yg perempuan di dapur (ibaratnya). tp di pernikahan di Bali terutama di Hindu tidak di atur secara jelas pembagian adil ke kedua belah pihak, apapun yg terjadi setelah pernikahan atau pasca perceraian (nguliang), maka purusa (pihak keluarga utama, biasanya yg laki”) mendapat hak lebih dari yg perempuan termasuk harta pendapatan setelah pernikahan, misal yg perempuan berpenghasilan, membeli tanah, maka termasuk harta keluarga (dan kembali purusa yg lebih), lalu anak, karena menggunakan sistem merajan, maka anak ikut purusa, sedangkan sang wanita yg susah payah mengandung dan melahirkan dengan mengorbankan nyawa, argumennya dapat dibantah karena statusnya hanya predana.
saya orang Bali, laki” lahir di Bali, besar di Bali, skrng menjadi mantan “Hindu Bali” setelah mendengar peraturan per-adat-an yg mengatasnamakan/menggunakan dasar agama spt itu. Misal seorang pria yg tidak bekerja, hanya berjudi, minum”an keras, tp karena status nya adalah purusa, maka dy diutamakan. Bukankah itu tidak adil bagi sang wanita? Sy selalu mengikuti hukum HAM internasional dimana seorang anak ketika dy menginjak dewasa berhak menentukan ikut dengan pihak siapa saja atau bahkan keluar dari kedua belah pihak (mandiri), jd disini tidak ada gunanya menentukan bahwa purusa mendapat hak lebih jika pada akhirnya sang anak memutuskan hidup mandiri (tdk ikut ibunya jg), dan kedua pihak bapak ibunya tidak dpt melarang karena itu hak asasi sang anak dari lahir. Jd bukankah ini hukum adat seharusnya mengikuti hukum nasional tentang hak asuh sang anak ketika belum mampu mandiri, karena sudah jelas sang purusa tidak bs memenuhi kebutuhan keluarga hanya mampu memenuhi kebutuhan sendiri (tidak bekerja dan hanya berfoya”). Mungkin saudara” disini bs menjelaskan kronologis kelayakan seorang purusa dalam hak materi dan hak asuh pasca perceraian?