Oleh Mikke Susanto
Sejumlah material museum etnologi di dunia menyuguhkan material yang didapat dari Kolonialisme dan Imperialisme. Museum seperti melegitimasi “hobi” para penguasa. Sebuah tindak lanjut tentang semangat penaklukan dan ekspansi. Sejumlah material museum adalah barang pampasan perang. Sekali lagi seperti sebuah tindak lajut: mobilisasi citra sebuah bangsa dan ekspresi “sang liyan” ke lingkup sebuah bangsa berbeda, yang mencaploknya.
Kebiasaan mengoleksi dengan cara semacam ini telah berlangsung sejak abad ke-16 atau sering disebut dengan Abad Penemuan (The Age of Discovery). Bahkan rekan saya setelah dari museum Louvre pernah berujar, “Wah, banyak barang jarahan yang kita tonton, tak semua adalah milik Paris”.
Museum etnologi umumnya terdiri dari material atau artefak dari negara-negara ketiga–sepertinya saat ini lebih banyak dikatakan negara baru, meskipun tak sebenar-benarnya baru–seperti Afrika dan Oceania. Secara positif, penyataan ini mengadung sebuah arti bahwa museum (etnologi) berfungsi untuk mengontribusi unit nasionalisme atau grup-grup budaya yang berbeda untuk dipresetasikan pada khalayak yang berbeda pula.
Etnologi sendiri dipercaya sebagai sebuah ilmu tentang bangsa dan budaya. Mereka mempelajari unsur-unsur dan masalah-masalah kebudayaan suku bangsa dan masyarakatnya secara komprehensif. Tujuannya untuk mendapatkan pengertian mengenai sejarah dan proses evolusi serta sebaran budaya umat manusia di muka bumi. Terutama dalam dunia ilmiah di Eropa Kontinental (Skandinavia, Belanda, Jerman, Austria).
Namun di tahun 1930 timbul perpecahan di kalangan para ahli etnologi. Beberapa tokoh baru, terutama dari Inggris berpendirian agar ilmu etnologi jangan mempelajari kebudayaan di dunia hanya untuk mempelajari sejarah evolusi dan sebaran budayanya, melainkan seharusnya mempelajari kebudayaan di dunia secara komparatif untuk merumuskan generalisasi tentang masalah kebudayaan serta mengembangkan kaidah-kaidah tentang kehidupan masyarakat dan kebudayaan umat masyarakat.
Tokoh seperti Radcliffe-Brown mengembangkan gagasan mengenai tujuan ilmu bangsa-bangsa baru ini. Mereka menyebut ilmu bangsa-bangsa yang lama dengan istilah etnologi, sedang ilmu bangsa-bangsa baru disebut ilmu antropologi sosial. Dalam kajian sejarah, mereka menyebutnya sejarah etnis atau etnohistori. Menurut pengertian sekarang, etnohistoris merupakan studi tentang suku-suku bangsa non-Eropa. Konsep semacam ini secara sistemis mulai berkembang pada 1940an, ketika para ahli antropologi Amerika Serikat mempelajari penduduk asli (Indian) di dunia baru itu.
Maka, kini berkelindan pengertian bahwa sesuatu yang etnografis adalah sesuatu yang archaic, yang mencerminkan kemasgulan berpikir dan menghasilkan budaya yang bersifat magis tanpa rasio.
Postmodern membuka mata banyak orang, termasuk Heri Dono untuk membongkar semua itu. Heri Dono kali ini ingin “menyela”. Ia ingin memberi peluang baru, setidaknya pada dirinya sendiri sebagai orang yang menonton dirinya sendiri. Bukan orang lain yang menonton kita.
***
Heri Dono telah menyaksikan sejumlah museum besar di banyak negara. Kali ini ia ingin mempermainkan peran museum yang selama ini juga turut mengganggu pikirannya. Heri Dono ingin mengonstruk ulang peran museum dan mungkin juga etnologi itu sendiri. Setidaknya Heri Dono sedang menawarkan sebuah ruang berpikir mengenai “museum sebagai subject matter, bukan sebagai media”.
Heri Dono sendiri mengungkapkan bahwa karya-karya yang tersaji dalam pameran ini menunjukkan proses penciptaan karya seni yang beragam dan plural dalam wacana yang memiliki nilai-nilai filosofi lokal sebagai referensi atau daftar pustaka yang paling sering tidak sama dengan konsep-konsep seni Modern, yang memiliki kesejarahan dan benang merah dengan dimulainya Renaissance di Eropa sampai sekarang.
Artinya Heri Dono ingin meninjau ulang cara pemaknaan objek maupun siklus berpikir tentang pengalaman seseorang. Ia ingin mendekonstruksi perihal cara padang terhadap objek (atau figur) tentang Timur yang telah lama dikenalnya. Inilah telaah dan makna ‘Post’ dalam judul pameran ini.
Terdapat banyak kontradiksi dalam upaya mendefinisikan kata Post disini. Sebagai contoh dalam wacana Post-modernisme. Upaya apapun dalam mendefinisikannya, menghasilkan dan mengundang munculnya masalah-masalah, pula sama artinya dengan mendefinisikan yang bukan Pascamodernisme-kontradiksi logis menurut Dick Hebdige dalam Hiding In the Light. Menyangkut terminologi, khususnya makna awalan post dalam istilah ini memberi banyak makna, ‘kelanjutan dari’, ’reaksi terhadap’, ‘kritik terhadap’, ‘revolusi menentang’, ‘dekonstruksi dari’, ‘perpecahan dengan’, ‘keterputusan dari’, atau ‘persimpangan dengan’ modernisme?
Bagi sebagian besar pemikir, makna istilah ini kemudian bergantung pada khasanah apa yang akan dipakai. Sebagai contoh Charles Jencks, seorang pemikir dan arsitek, mendefinisikan sebagai “ekletikisme atau adhosisme radikal”, dan Jean Francois Lyotard, pemikir dari Prancis memaknai dengan “bagian dari modern” dengan mengungkapkan bahwa dalam posisinya Pascamodernisme menyajikan dengan menolak pesona bentuk-bentuk yang indah, dan cenderung mencari bentuk-bentuk penyajian baru serta tidak untuk menikmatinya tetapi untuk membangkitkan perasaan ketidakmungkinan penyajian tersebut.
Dari metafora yang diambil saja, Heri Dono menegaskan bahwa ‘benda-benda’–saya sebut ‘benda’ karena telah teronggok sebagai objek–semacam primata, Gandhi, kera, kraton sebagai sesuatu yang amat berharga. Inilah yang sering dicap “Timur”, dilabeli sebagai sesuatu “lokal” oleh para pengamat Barat. Namun dalam pikiran Heri Dono, semua itu bukan sekadar sebentuk objek yang pasif, yang hanya ditonton dan dimaknai sebagai sesuatu ‘yang lain’. Ia juga secara khusus selama ini misalnya menawarkan wayang dengan beragam karakteristiknya sebagai bentuk ekspresi seni alternatif dunia.
***
Semua hal di atas ini muncul dilatari oleh kebiasaan dan cara berpikir Heri Dono yang khas. Perupa ini telah mendayagunakan dengan sadar unsur-unsur visual secara bermakna. Bahkan menurut Hendro Wiyanto, teknik bayang-bayang yang dipetik dalam khasanah tradisi wayang untuk menyatakan ekspresinya yang radikal menyangkut tema-tema seni yang kontekstual. Pada karya Museum Ethnography (2001) yang dipamerkan di sini tidak bisa hanya dianggap sebagai sebentuk karya seni rupa semata.
Karya ini menggambarkan sebuah instalasi pertunjukan wayang kulit dalam kaleng kerupuk. Di dalam kaleng terdapat beberapa tokoh wayang beserta objek-objek lainnya. Sedangkan pada bagian dinding luar atas kaleng tertempel simbol kerajaan (lambang Keraton Yogyakarta). Dalam perspektif kebudayaan, karya ini mengemban tugas yang tak kalah penting: yaitu diangkatnya motif-motif dan bahan-bahan yang dipakai dalam lingkup sosial menjadi sebuah benda seni. Jelas sekali bahwa cara semacam ini telah menjadi perkara penting dan daya tarik tersendiri.
Julie Ewington sendiri dalam tulisannya memaknai hal demikian sebagai sebuah terobosan yang khas di dalam perkembangan seni rupa Asia Tenggara. Ia menyebut pengambilan motif dan bahan semacam ini sebagai bagian dari “seni indigenous” yang merupakan contoh keberhasilan para perupa kontemporer dalam menerobos seni dunia.
Secara khusus karya Museum Etnografi ini seperti ingin mengangkat persoalan yang kini dianggap sebagai sesuatu yang archaic, kuno ataupun hal yang terasa klasik: Keraton atau Kerajaan. Di dalam perspektif Barat konsep “Kerajaan” menjadi bahan bicara dan wacana atas pergolakan ideologi masa kini. Heri Dono mengemukakan isu ini sebagai temuan yang meyakinkan publik bahwa “kerajaan adalah ruang perebutan ideologis di masa lalu Indonesia”, sehingga turut mempengaruhi sejarah lokal sebagai tanah jajahan.
Tanah yang dikotak-kotak karena perspektif Barat. Tanah yang didindingi seonggok kaleng. Kaleng kerupuk. Seperti camilan pengisi waktu luang. Secara sengaja ia mencipta ulang wacana ini sebagai material pemikiran. Ia mengartikulasi konsep pemikiran ideologi masa lalu dan konsep tanah jajahan (Orientalisme) sebagai material museum etnografi masa kini. Ia menawarkan kontradiksi-kontradiksi sembari mengingatkan, menggumuli kembali dan mungkin juga menyusun kembali wacana tersebut menjadi bahan ingatan dan memori terus-menerus.
Secara sengaja ia membuat perspektif yang mungkin biasa disebut “gado-gado”. Karena begitulah Heri Dono. Selalu berupaya menciptakan peluang berpikir yang lain. Dalam pameran ini ia menciptakan peluang baru bagi museum etnografi. Ia mencari bentuk-bentuk penyajian baru: tidak untuk menikmatinya, tetapi untuk membangkitkan perasaan ketidakmungkinan penyajian tersebut. inilah museum baru Heri Dono. [b]
Sources :
Hendro Wiyanto, Heri Dono, Jakarta: NADI Gallery, 2004.
Ivan Karp & Steven D. Lavine, Exhibiting Culture, The Poetics and Politic of Museum Display, Washington: Smithsonian Institution, 1991.
Julie Ewington, “Five Elements, An Abbreviated Account of Installation art in South East Asia”, Art and Asia Pacific, January 1995.
Title: Post-Ethnology Museum
Artist: Heri Dono
Curator: Mikke Susanto
Genre: Painting and Installation
Period: December 13th, 2008 – January 13th, 2009
Opening: December 13th, 2008 at 07.00 PM
Daily Opening: 9 AM – 10 PM
Place at: Gaya Art Space Jalan Raya Sayan, Ubud
Ph. 0361 979252 / 979253
Tulisan ini dikirim oleh Gaya Art Space dan diedit seperlunya agar lebih nyaman dibaca di media online.