Oleh Anton Muhajir
Memperingati Hari AIDS Sedunia (HAS) hari ini, beberapa aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) penanggulangan AIDS di Bali menyerukan agar Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) tidak terus dijadikan objek. Mereka ingin agar ODHA lebih dilibatkan dalam penanggulangan AIDS di Bali.
Ikatan Korban Napza (IKON) Bali, komunitas injecting drug user (IDU) di Bali lewat pernyataan sikapnya meminta agar pemerintah, LSM, maupun lembaga penanggulangan AIDS lainnya menghentikan segala program yang menjadikan orang yang terinfeksi HIV sebagai objek. “Upaya melibatkan ODHA saat ini hanya bersifat formalitas. ODHA diundang rapat tapi hanya untuk menyatakan setuju dengan program yang akan dilakukan pemerintah maupun LSM,” kata I Gusti Ngurah Wahyunda, Koordinator IKON Bali.
Wahyu, mantan IDU yang juga aktivis Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) tersebut memberi contoh penyusunan Peraturan Daerah (Perda) tentang HIV dan AIDS. “ODHA hanya diajak untuk tanda tangan untuk setuju tapi tidak dilibatkan ketika penyusunan,” katanya.
Demikian pula dalam penanggulangan AIDS oleh LSM. Wahyu mengatakan bahwa ODHA hanya semata menjadi angka dalam program penanggulangan AIDS. “Makanya tiap kali pertemuan koordinasi antara LSM, KPA (Komisi Penanggulangan AIDS), dan lembaga donor, mereka hanya menanyakan soal pertambahan angka. Parahnya lagi LSM-LSM itu terlihat sangat bangga dengan penambahan jumlah klien,” ujar Wahyu.
“Eksploitasi ODHA bukan hanya dilakukan oleh KPA tapi LSM juga,” tambahnya.
Yusuf Rey Noldy, Petugas Pendamping di Yayasan Hatihati mengatakan hal tak jauh berbeda. Menurut Noldy, pemberdayaan ODHA oleh LSM di Bali belum jelas arahnya. Dia mencontohkan adanya pendampingan lewat Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) yang sampai saat ini lebih bersifat untuk membagi perasaan ODHA sebagai orang yang patut dikasihani.
“Kami hanya datang, duduk, lalu nangis bersama setelah saling berbagi perasaan. Yang lebih penting kan setelah itu lalu apa,” kata Noldy.
“Sampai saat ini KDS-KDS yang ada hanya menekankan pada jumlah ODHA. Jadi yang datang adalah orang yang akan mengakui statusnya sebagai ODHA sehingga satu sama lain bisa meringankan beban,” tambahnya.
Noldy menambahkan, sampai saat ini sebagian orang memang menganggap terinfeksi HIV seperti bencana. Karena itu mereka langsung merasa perlu teman untuk berbagi, salah satunya lewat KDS. “Akibatnya sering kali KDS hanya jadi tempat untuk kami menangis bersama. Padahal akan lebih baik kalau ada sesuatu yang bisa kami kerjakan selain hanya meratapi nasib,” katanya.
Noldy, yang juga anggota KDS Addict + mengatakan pemberdayaan ODHA sebaiknya bersifat berjenjang sehingga pada satu titik, ODHA juga akan bisa mengambil keputusan sendiri yang terbaik untuknya. “Silakan lihat. ODHA yang berdaya itu justru lebih banyak ODHA yang sudah keluar dari LSM. Sebab ketika di LSM, mereka masih merasa tidak bisa memberdayakan diri. Mereka merasa dibatasi,” kata Noldy.
Luh Putu Ikha Widari, Koordinator Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Bali pun mengatakan hal yang sama. “Sengaja atau tidak, LSM di Bali banyak yang membuat ODHA ketergantungan pada mereka,” kata Ike.
Ike memberikan contoh dalam hal mengakses layanan kesehatan. Selama ini, tambahnya, banyak LSM yang sampai mengantarkan ODHA sampai ke tempat layanan bahkan untuk ambil obat. “Kalau pertama kali sih boleh saja. Tapi kalau seterusnya ya membuat ODHA jadi tergantung,” katanya.
“Menurutku, LSM masih melihat penanggulangan AIDS sebagai proyek. Jadi mereka takut kalau ODHA akan benar-benar berdaya dan tidak butuh LSM lagi,” tambah Ike yang pernah bekerja di LSM Bali Plus.
Menurut Ike, pemberdayaan ODHA sebaiknya cukup dengan memberikan informasi dasar pada ODHA. Misalnya tentang hak asasi manusia ataupun standar kesehatan umum. “Kalau ODHA sudah tahu, maka mereka akan menentukan sendiri apa yang terbaik untuknya,” kata Ike.
Hal inilah yang sekarang dilakukan Ike melalui IPPI Bali yang beranggotakan 20 ODHA dan Orang yang hidup dengan ODHA (ODHA) di Bali, Lombok, dan Kupang. “Kami sering berdiskusi tentang hak dasar ODHA bersama kawan-kawan LBH sehingga kami jadi lebih sadar tentang hak sebagai manusia maupun ODHA,” tambahnya.
Hatara Sugito, Manajer Program Yayasan Bali Plus, tak sependapat dengan Wahyu, Noldy, maupun Ike. Menurut Hatara, Bali Plus sudah melakukan pemberdayaan secara berjenjang terhadap ODHA. “Kami memulai dari masalah kesehatan. Misalnya terapi dan tanggungjawab mereka sebagai ODHA. Kalau mereka sudah tahu maka mereka bisa memilih sendiri,” katanya.
Setelah persoalan kesehatan teratasi, maka selanjutnya ODHA diberikan pemberdayaan di bidang ekonomi. “Kami menjembatani ODHA agar bisa mandiri secara ekonomi,” katanya.
Hatara memberikan contoh bagaimana Bali Plus menjembatani Warcan +, KDS di kalangan waria, untuk belajar bekerja di salon. “Itu cara kami untuk memberdayakan mereka dari sisi kemampuan kerja,” katanya. Selain Warcan Plus, Bali Plus juga menjadi organisasi payung bagi delapan KDS lain di Bali. [b]