Perasaan saya miris ketika mengunjungi seorang anak dari ibu positif HIV yang dirawat di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar.
Bocah delapan bulan itu tampak lemah dengan alat bantu pernafasan dan selang infus di tangan. Ibunya yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari suami yang di masa mudanya sering berganti pasangan seks, tampak sibuk mengelus dahi putranya itu.
Di ranjang sebelahnya, bayi mungil tampak gelisah di pangkuan sang nenek lengkap dengan alat bantu pernafasan dan selang infusnya. Suara nafasnya terdengar jelas. “Dia sesak,” kata sang nenek. Ayah bayi mungil itu telah meninggal ketika ia masih lima bulan di dalam kandungan, karena infeksi oportunistik akibat Aquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS). Saat itu, sang ibu yang ternyata juga telah terinfeksi HIV, sempat menjalani program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi (Prevention Mother To Child Transmission/PMTCT). Kata sang nenek, hasil tes HIV terhadap si bayi mungil menyatakan rektif. Namun itu baru hasil sementara. Hasil tes itu baru akan dipastikan kembali kebenarannya bila usianya sudah 18 bulan, saat si kecil telah bisa membentuk antibodinya sendiri.
Masih di rungan yang sama, di ranjang ketiga, seorang bocah lain sedang dininabobokan sang ibu. Botol susu menempel di bibir mungilnya. Tak ada alat bantu pernafasan ataupun selang infus. “Dia udah sehat. Besok sudah boleh pulang,” cerita sang ibu, lega. Maklum, sudah dua bulan dia harus menginap di dua rumah sakit, satu bulan di Rumah Sakit Umum Daerah Tabanan, dan satu bulan di Rumah Sakit Sanglah.
Awalnya, sang ibu mengaku tak tahu kenapa sang anak sakit. Bahkan tim dokter di beberapa rumah sakit nyaris angkat tangan menangani anaknya yang mengalami diare akut. Namun setelah dites, anak semata wayangnya itu positif HIV. Awalnya, ia tak percaya. Namun setelah menjalani tes dengan suaminya, dan hasilnya positif HIV, ia yakin bahwa analisis dokter benar. Apalagi suaminya mantan pengguna narkoba suntikan dan pernah berganti pasangan seks, dua perilaku yang rentan penularan HIV.
Satu ruangan, tiga ranjang, dengan tiga anak terdampak HIV/AIDS. Nurani saya bertanya, apa salah anak-anak itu?
Mata saya kini makin terbuka. Persoalan HIV dan AIDS, memang bukan lagi monopoli orang dewasa saja. Apalagi berdasarkan perhitungan estimasi oleh Biro Pusat Statistik dan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Bali 2007 ini, di Bali diperkirakan ada 2.845 orang pengguna narkoba suntik (penasun). Dari jumlah itu, 1.348 penasun diperkirakan telah terinfeksi HIV. Angka estimasi terbaru itu, menunjukkan peningkatan dibandingkan perhitungan tahun 2003 yang hanya mengestimasi jumlah penasun sebanyak 2.500 orang dengan 1.100 penasun HIV positif. Di Indonesia, kini diperkirakan ada sekitar 219.130 orang penasun. Sebanyak 90.002 orang di antaranya, telah positif HIV.
Kebiasaan menggunakan jarum suntik secara bergantian dengan sesama penasun, menjadi sumber penularan terpenting. Seorang penasun pernah bercerita, saat pakaw (bahasa slank untuk pakai putaw), ia biasanya membentuk kelompok tiga sampai enam orang. Dan, semuanya pakaw dengan menggunakan satu jarum suntik yang sama. Jadi bila ada satu orang saja yang memiliki HIV dalam tubuhnya, maka dalam hitungan detik, satu kelompok penasun itu telah terinfeksi HIV. Lalu, bagaimana bila kemudian si penasun berganti kelompok pertemanan, dan melakukan hal yang sama?
Tak cuma penyalahgunaan narkoba suntik, beberapa penasun juga cenderung melakukan hubungan seks berganti pasangan tanpa kondom. Salah seorang penasun perempuan yang pernah saya wawancarai mengaku, saat masih aktif pakaw ia sering berganti pasangan seks. Beberapa bandar narkoba pernah diajaknya berhubungan seks, sekadar untuk mendapat putaw gratisan. ”Terpaksa. Daripada sakaw,” katanya.
Ironisnya lagi, banyak penasun yang kemudian menularkan virusnya kepada keluarga. Entah itu kepada istri, suami, atau anaknya. Artinya, ada banyak anak-anak di Bali, di negara ini, bahkan di dunia, yang terancam oleh virus HIV.
Penyalahgunaan narkoba memang menjadi ancaman. Polisi pun dalam berbagai kesempatan pun selalu berkoar-koar tentang pemberantasan narkoba. Penangkapan demi penangkapan terhadap pengedar narkoba juga telah dilakukan. Koran lokal dan nasional seperti tak pernah absen dari berita kasus penangkapan narkoba.
Tapi toh, penyalahgunaan narkoba tetap terjadi. ”Ingin sih berhenti. Tapi nggak bisa,” kata seorang pecandu yang masih aktif kepada saya suatu ketika. Baginya, dan bagi hampir semua pecandu yang pernah saya temui, memutus sama sekali penggunaan narkoba tak semudah membalikkan telapak tangan. Seorang mantan pecandu yang telah bersih selama bertahun-tahun, bisa kembali kepada kebiasaan buruknya dengan berbagai alasan.
Ketika pertama kali kenal program Harm Reduction (pengurangan dampak buruk narkoba suntik), tanda tanya besar seperti menyangkut di kepala saya. Apa ini? Memberi jarum suntik kepada penasun? Memberi narkoba jenis lain kepada penasun? Terus, apa bedanya dengan mempersilakan mereka pakai narkoba? Banyak pertanyaan yang coba saya cari jawabannya. Ternyata, memberantas penyalahgunaan narkoba memang tak mudah.
Ada berbagai jenis narkoba baru diproduksi di dunia. Konsumsinya pun terus meningkat. Bisnis narkoba bukanlah bisnis yang mudah diberantas, karena transaksi narkoba merupakan bisnis terbesar kedua di dunia setelah transaksi senjata. Berdasarkan survei Badan Narkotika Nasional (BNN) bekerjasama dengan Universitas Indonesia, selama 2004 saja, konsumsi narkoba di negara ini mencapai Rp 11,3 triliun. Sebuah angka yang cukup fantastis di tengah krisis.
Tak mudah memberantas narkoba, sementara penasun terus saja melakukan kebiasaannya, menggunakan jarum suntik secara bergantian. Penyuntikan narkoba dilaporkan terjadi di lebih dari 136 negara di dunia, termasuk Indonesia. Bila dibiarkan, maka akan makin banyak penasun terinfeksi HIV. Dan, akan makin banyak keluarga terdampak virus penyebab penurunan sistem kekebalan tubuh ini.
Program harm reduction dengan 12 kegiatannya, bagi saya merupakan sebuah gerakan strategis untuk menekan penularan HIV di kalangan penasun. Mulai dari pendidikan sebaya, layanan kesehatan dasar, perawatan dan pengobatan HIV/AIDS, substitusi oral, terapi narkoba, komunikasi informasi dan edukasi (KIE), penjangkauan, konseling, konseling tes sukarela, pencegahan infeksi, pertukaran jarum suntik, hingga penghancuran alat suntik.
Dijadikannya Bali sebagai salah satu daerah proyek percontohan program pendampingan dan pembagian jarum suntik steril sejak 2002, selain Jakarta, membuat para penasun di wilayah ini lebih mudah mendapatkan jarum suntik. Di program yang sama, para penasun juga diberikan akses kondom sebagai pencegahan lewat hubungan seksual. Program rumatan methadone yang dimulai dengan bantuan WHO, juga memberi titik terang bagi para penasun di Bali.
Tentu saja, program ini bukan membuka pintu bagi pecandu untuk terus menggunakan narkoba. Bukan juga untuk mempersilakan mereka melakukan hubungan seks tidak aman. Tapi untuk menyelamatkan mereka dan generasi penerusnya dari HIV. Seperti aturan wajib menggunakan sabuk pengaman dan helm bagi pengendara kendaraan bermotor oleh polisi. Aturan itu bukan untuk mempersilakan para pengendara ngebut, tetapi untuk menjaga keselamatan mereka.
Program harm reduction menggelitik nurani saya. Apalagi ketika banyak masyarakat salah persepsi soal program ini. Beberapa waktu lalu, dalam kunjungannya ke Bali, Ketua Harian BNN Made Mangku Pastika, bahkan menyatakan tak setuju dengan program pertukaran jarum suntik. Program ini dituduh memberi ruang bagi pecandu untuk terus menyalahgunakan narkoba. Bahkan ia mensinyalir ada peran bandar narkoba di balik program ini. Sebuah pernyataan kontroversial di tengah upaya menekan penyebaran HIV di kalangan penasun. Padahal pada tahun 2003, telah ada memorandum of understanding (MOU) antara Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dengan BNN untuk pelaksanaan program ini secara berkesinambungan di Indonesia. Kenapa kini BNN malah balik kanan bubar jalan?
Harus diakui, program harm reduction belum sepenuhnya mampu memutus rantai penularan HIV di kalangan penasun. Ada beberapa oknum yang menyalahgunakan program ini untuk kepentingan sendiri. Substitusi buprenorphine misalnya, banyak disalahgunakan dengan disuntik. Padahal obat ini dibuat khusus untuh dihisap di bawah lidah. Alasannya klasik, ada sugesti terhadap jarum suntik. Tingkat penggunaan kondom di kalangan penasun, juga belum tinggi. Angkanya masih sangat rendah. Dari survei terhadap 94 orang klien pecandu Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) pada 2007 terlihat hanya 54,17 persen penasun menggunakan kondom ketika melakukan hubungan seks komersial. Ironisnya lagi, dengan pasangan tetapnya hanya 24,47 penasun yang menggunakan kondom.
Harm Reduction memang tak serta merta menarik penasun dari ruang-ruang penyalahgunaan narkoba. Tapi setidaknya, jalur penularan HIV di antara mereka harus dihambat melalui pemberian kesadaran hidup sehat. Tak cuma demi kepentingan kita hari ini, tetapi juga demi anak cucu kita yang belum mengerti apa apa. Bukankah mereka berhak mendapat hidup sehat tanpa HIV? [b]