Konsorsium Pembaruan Agraria Bali dan Serikat Petani Konflik Agraria memperingati Hari Tani Nasional ke-62. Masih banyak kasus konflik tanah yang belum selesai di Bali. Sejumlah seniman memamerkan mural menyuarakan hak petani akan lahan.
Hari Tani Nasional ke-62 tahun ini digelar di Lokasi Prioritas Reforma Agraria, Banjar Adat Bukit Sari, Desa Sumberklampok, Gerokgak, Buleleng, 24 September 2022. Lokasi ini sejak 9 September 2000 ditempati oleh sekitar 107 KK petani warga Bali eks.Transmigran Timor-Timur yang harus keluar dari wilayah Tim-Tim pasca Referendum Kemerdekaan Timor-Timur pada Agustus 1999.
Dari tahun 2000 hingga 2022, artinya selama 22 tahun petani Bali eks.Transmigran di Tim-Tim di Banjar Adat Bukit Sari ini masih menunggu tanggung-jawab pemerintah Indonesia untuk memenuhi tuntutan mereka atas status legalisasi lahan pengganti yang mereka tempati di Desa Sumberklampok, yang hingga saat ini belum memperoleh kepastian hukum.
KPA Nasional dan KPA Wilayah Bali selaku penyelenggara dan penanggung-jawab kegiatan Hari Tani Nasional tahun ini mengusung tema besar: Tegakkan Konstitusionalisme Agraria untuk Kedaulatan dan Keselamatan Rakyat. Bagi KPA dan pejuang Reforma Agraria di seluruh Indonesia, Hari Tani Nasional merupakan momentum penting, sekaligus pengingat bahwa hak rakyat atas sumber-sumber agraria seharusnya dijamin oleh konstitusi. Tetapi, kebijakan agraria saat ini semakin terang-terangan memfasilitasi investor besar dibanding memenuhi hak rakyat. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan cita-cita bangsa.
Konsorsium Pembaruan Agraria dengan tegas menggarisbawahi bahwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai konstruksi cita-cita bangsa, mengamanatkan bahwa Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Harus dipahami bahwa frase “dikuasai oleh negara” bukan berarti “dimiliki oleh negara”, melainkan pengelolaan sumber-sumber agraria oleh negara adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Namun alih-alih menjalankan mandat konstitusi dan cita-cita bangsa, sejak Orde Baru politik sentralisme dan sektoralisme hukum menjadi alat yang memudahkan perampasan ruang hidup rakyat yang dikemas dalam kedok “pembangunan”. Contoh nyata yang terjadi khususnya di Provinsi Bali adalah kasus-kasus sengketa agraria antara petani kecil dengan perusahaan, seperti konflik agraria yang terjadi di Dusun Selasih, Payangan, Gianyar, di mana tanah petani kecil diklaim dan dikuasai oleh korporasi pariwisata sejak era Orba dalam bentuk HGB (Hak Guna Bangunan). Atau contoh lainnya di Desa Pemuteran, Buleleng, para petani gurem warga Bali yang sebelumnya mengalami konflik agraria dengan PT Perkebunan, saat ini malah terjebak konflik baru dengan Pemprov Bali yang dengan sepihak mengklaim bahwa lahan petani lokal yang sudah dikelola selama 3 generasi merupakan aset Pemprov, dan para petani pemohon LPRA yang dikawal KPA kini terancam digusur oleh Pemprov Bali.
Fakta-fakta tersebut makin memperuncing konflik dan berpotensi menimbulkan konflik konfrontasi langsung antara rakyat dan pemerintah. Bukannya meredistribusi tanah kepada para petani sesuai amanat konstitusi, tapi malah berlagak seperti korporasi yang berambisi “menguasai” dan “memiliki” aset tanah negara eks HGU.
Dalam kesempatan Hari Tani Nasional di Bukit Sari ini, Ketua KPA Bali Ni Made Indrawati mendesak pemerintah provinsi Bali dan pemerintah pusat agar serius dan konsisten dengan janji-janjinya untuk mempercepat penyelesaian konflik agraria di Bali, khususnya yang sudah masuk dalam permohonan LPRA sejak tahun 2018, seperti di eks.HGU Sendang Pasir, Desa Pemuteran, dan warga Banjar Adat Bukit Sari eks.Transmigran Tim-Tim, di Desa Sumberklampok.
Apalagi dengan semakin dekatnya agenda puncak event Internasional G20 di Bali pada bulan November 2022 yang memiliki slogan besar “Pulih Bersama, Pulih Lebih Kuat” pada kenyataannya inkonsisten dan tidak mengakomodir penyelesaian persoalan-persoalan konflik agraria di tingkat rakyat kecil dan terpinggirkan di Bali. Bali, lagi-lagi masih dijadikan objek Glorifikasi keberhasilan pemerintah Indonesia menggelar event akbar internasional, dengan menutup-nutupi fakta adanya persoalan konflik agraria petani Bali yang sudah berlangsung berpuluh tahun tanpa kejelasan dan komitmen penyelesaian berdasarkan skema Reforma Agraria sejati. Hal ini dipertegas oleh Ketua Forum Peduli Bali (FPB) Nyoman Mardika, yang hadir di acara Hari Tani Nasional sebagai salah satu pembicara dalam diskusi panel.
Sementara itu Muchamad Awal selaku Direktur Eksekutif IDEP Selaras Alam yang saat ini aktif mendampingi petani konflik agraria dalam sektor pemberdayaan produksi dan edukasi dengan metode Permaculture menggarisbawahi pentingnya keseimbangan konservasi alam dan penguatan perekonomian petani yang berkelanjutan. Apalagi dalam konteks dunia yang makin terancam dengan krisis iklim dan krisis pangan, pemerintah dan swasta didorong untuk aktif membuka akses dan mengangkat potensi produk-produk petani yang selama ini menjadi tulang punggung kedaulatan pangan.
Di akhir acara Hari Tani Nasional,
Kaum Muda Pejuang Reforma Agraria Sejati di Bali yang diwakili oleh Kadek Agus Mahadipa membacakan Deklarasi dan Seruan Aksi, dengan menyatakan sikap. Di antaranya kembali ke UUPA 1960, dan hentikan produk hukum yang melayani pemodal. Mendorong perjuangan Reforma Agraria Sejati menjadi salah satu perjuangan yang harus dilakukan kaum muda di Indonesia. Mengajak seluruh kaum muda Indonesia untuk menyebarluaskan pemikiran kritis ?dan perjuangan Reforma Agraria Sejati. Mengajak kaum muda se-Indonesia bersatu memperkuat posisi dalam menghadapi situasi agraria yang telah terjadi. Mendorong semua pihak, baik itu instansi pemerintah maupun masyarakat untuk kembali ke sistem pangan lokal untuk kedaulatan pangan.