Seminggu terakhir ini saya membaca kembali novel Supernova; Akar.
Sebelumnya saya sudah pernah membaca novel karya Dewi Lestari (Dee) ini. Sebuah novel spiritual yang mengangkat nilai-nilai buddhisme, dengan tokoh utama Bodhi yang digambarkan memiliki kelainan karena sangat peka.
Banyak orang menyebut mempunyai indera keenam atau yang kini dikenal dengan istilah “indigo”. Sejak bayi ia diasuh oleh Zang Ta Long, akrab dipanggil Guru Liong, seorang biksu asal Cina yang mengabdi di vihara Pit Yong Kiong di daerah Lawang, 60-an kilometer dari Surabaya ke arah selatan.
Guru Liong menemukan Bodhi di halaman depan vihara, terbungkus sarung dalam kotak kardus rokok bekas yang diletakkan di bawah pohon pada waktu subuh. Waktu itu Bodhi menangis keras sekali, dibarengi angin ribut yang membikin setiap lembar daun berisik. Menurut Guru Liong, alam seperti ikut memerintahkannya untuk datang ke pohon itu. Dan, bayi itu dinamai Bodhi.
Sebenarnya, peristiwa itu sudah diketahui oleh Guru Liong lewat mimpi-mimpi dua tahun sebelumnya. Mimpi itu berulang terus setiap hari, pada seminggu terakhir sebelum Bodhi ditemukan.
Dalam mimpinya, ada sebuah pohon bodhi betulan menaungi satu peti besar berisi cahaya. Ketika dia mengintip ke dalam peti, tiba-tiba cahaya itu menjelma menjadi bayi yang sudah bisa jalan dan bicara, seperti Siddharta Gautama. Dan, bayi itu melayang di atas tanah dan membakar pohon itu dengan jarinya.
Pada umur enam tahun, Bodhi menyadari ada yang tidak beres dengan dirinya. Dunia yang tertangkap panca indranya ternyata berbeda dengan orang lain. Terkadang, ia harus berjalan sambil terus meraba tembok, supaya bisa tetap mengukur dimensi panjang-lebar-tinggi, sesuatu yang orang lain lakukan tanpa usaha.
Ketika lantai yang ia pijak mendadak hilang dan berubah menjadi pusaran api, ia bingung mana yang harus dipercaya. Memejamkan mata dirasakannya percuma. Seringnya, kelopak matanya tak berfungsi. Apa yang ia lihat dengan mata terbuka dan terpejam sama. Kalau sudah tak kuat, ia cuma bisa bisa menangis. Atau ngompol.
Banyak lagi kejadian aneh lainnya seiring Bodhi tumbuh dewasa. Banyak yang mengira ia gila, epilepsi, halusinasi berat dan sebagainya. Termasuk Guru Liong. Sepertinya dia tahu sesuatu, tapi memilih diam. Rupanya waktu itu ia masih belum yakin.
Satu hari, Bodhi melewati lapangan besar yang sedang ada upacara kurban. Tak disengaja, matanya beradu dengan dengan sapi yang hendak disembelih. Dan….”badan saya tiba-tiba kaku. Saya tak bisa menjabarkan. Pokoknya ingin meledak. Air mata dan keringat dingin banjir jadi satu, Badan ini kayak dilem di tembok, tak bisa bicara, rahang kejang, Dan, makin-makin gawat karena ada puluhan hewan kurban di sana! Kambing, domba, sapi,…semuanya mengirimkan getaran yang sama, ketakutan dan kesedihan yang sama dashyat. Akhirnya, saya meletus, meraung-raung, histeris, rubuh, kejang-kejang, ngompol dan berak di celana, sampai akhirnya pingsan. Sadar-sadar sudah di rumah sakit…..” Begitu Dee menulis dalam novelnya.
Adegan Bodhi saat melewati lapangan tempat upacara kurban berlangsung dan reaksinya saat melihat puluhan hewan disembelih menarik dicermati. Bagi orang biasa, melihat hewan disembelih saat upacara kurban hal yang biasa, namun bagi Bodhi yang memiliki kelainan menjadi hal berbeda. Ia mampu menangkap dan merasakan getaran kesedihan dan ketakutan hewan yang akan disembelih.
Hal ini tentu bisa menjadi perdebatan, jika sebuah karya sastra yang notabena fiksi dibawa ke ranah agama, terlebih jika dikaitkan dengan latar belakang penulis novel yang bukan muslim.
Dialog Antar-Iman
Menurut saya, sebagai sebuah karya sastra seorang penulis bebas untuk menulis berbagai tema termasuk spiritualitas. Pada novel Dee ini mengacu pada spiritualitas lintas-agama yang bersifat terbuka dan mengangkat nilai-nilai universal serta masih jarang ditulis penulis Indonesia.
Dee menyampaikan pandangan lain tentang upacara kurban pada hari raya Idul Adha berangkat dari penafsiran di luar agama Islam. Ini sebuah tonggak baru, di mana interfaith atau dialog antariman menjadi hal yang penting dilakukan di negeri majemuk seperti Indonesia. Tak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi di media sosial, tetapi lebih pada dialog nyata di forum resmi seperti diskusi dan seminar yang bahkan bisa dilakukan di tempat-tempat ibadah misalnya menjelang hari besar keagamaan. Tujuannya tidak lain adalah membangun sikap apresiatif antar pemeluk agama. Tak hanya sekadar toleransi yang kadang bersifat semu dan hanya di permukaan.
Dengan dialog antar-iman, umat non-muslim bisa lebih paham makna Idul Adha secara mendalam, termasuk dilihat dari sejarah dan filsafat yang mendasarinya. Jika ada pandangan lain terhadap Idul Adha, itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan menjadi kewajiban umat muslim untuk menjelaskannya. Tak bersikap apriori dan anti terhadap kritik namun melihatnya sebagai sebuah keniscayaan di negara demokrasi.
Ijtihad, begitu istilah yang pernah saya dengar untuk menyebut sebuah usaha yang sungguh-sungguh yang sebenarnya bisa dilaksanakan siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Di Bali, sejak beberapa tahun lalu tiap menjelang Idul Adha ada saja yang memantik pertentangan soal sapi yang dianggap hewan suci dalam agama Hindu yang dijadikan hewan kurban pada saat Idul Adha.
Saya berpikir, jika ini tak diakomodir bisa menyebabkan masalah rasial, seperti yang terjadi di Pakistan antara pemeluk Hindu dan Muslim. Sudah saatnya dialog antar-iman digalakkan agar sekat-sekat antar pemeluk agama bisa dibuka dengan mengadakan dialog, duduk bersama dengan pikiran terbuka mencari titik temu berbagi hal antar pemeluk agama yang berbeda.
Terkait kurban, bukankan di Bali juga ada upacara di mana hewan dikurbankan seperti pada upacara mecaru atau pakelem? Saya pikir ritual kurban ada di banyak agama. Jadi tak perlu meributkan hal yang hanya dilihat dari satu sudut pandang. Mari saling mengapresiasi ajaran agama dengan melakukan dialog antar-iman. Tidak ada masalah yang tak bisa diselesaikan, tentu dengan dialog dan musyawarah seperti para pendahulu dan leluhur kita lakukan di masa lalu. [b]