Penolakan diskusi buku tentang Tan Malaka kembali terjadi.
Kali ini terjadi pekan lalu di sekretariat penggiat seni di Semarang, Jawa Tengah. Pelakunya kelompok masyarakat yang menamakan dirinya Masyarakat Peduli Nasib Bangsa (Mapenab).
Beruntung ada pihak kampus yakni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro yang memberikan ruang diskusi. Ratusan orang hadir, termasuk Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Menarik untuk mencermati alasan penolakan diskusi Tan Malaka oleh Mapenab yakni soal adanya unsur komunisme dan marxisme. Tan Malaka, kata Sucipto Koordinator Mapenab, adalah tokoh yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut Sucipto, ajaran komunisme dianggap membahayakan bangsa Indonesia dan bisa merusak pemikiran masyarakat.
Saya tidak begitu memahami sosok Tan Malaka karena saya tidak begitu banyak membaca tulisan mengenai sosok yang disebutkan sangat berperan dalam era perjuangan Indonesia merdeka tersebut. Satu-satunya frasa kalimat yang paling saya ingat ketika ada yang menyebut nama Tan Malaka adalah “Madilog” yang merupakan singkatan dari Materialisme, Dialektika dan Logika. Jika mengacu pada frasa tersebut, tentu saja pemikiran Tan Malaka memang sangat dekat dengan pemikiran Marxisme yakni materialisme dan dialektika. Madilog adalah buah pikiran dari Tan Malaka yang juga tertuang dalam salah satu bukunya dengan judul yang sama.
Kembali ke soal penolakan diskusi buku tentang Tan Malaka yang ditulis Harry A Poeze.
Saya tidak mengetahui apakah orang-orang yang demo menolak diskusi Tan Malaka pernah memahami apa itu komunisme dan apa itu marxisme dengan baik. Atau jangan-jangan mereka sama saja dengan saya yang tidak begitu paham juga apa itu komunisme dan marxisme. Bedanya, mereka takut, saya sih tidak.
Tetapi yang jelas, saya sangat terheran-heran karena di masa seperti sekarang ini, masih saja ada orang yang begitu ketakutan dengan komunisme dan marxisme. Saya tidak habis pikir ketika ada yang dengan keras menyebut bahwa komunis dan marxis sangat membahayakan. Bukankah paham keagamaan yang terlalu fanatik bisa jadi lebih membahayakan? Atau kekuasaan negara yang pura-pura demokratis tapi korupnya minta ampun, sepertinya lebih super-super berbahaya?
Apa sebenarnya yang sedang mereka pikirkan sehingga mengatakan komunisme sangat berbahaya? Apakah karena catatan sejarah bangsa Indonesia soal PKI di tahun 1965? Apa mereka tidak mengetahui bahwa justru kekejaman yang dilakukan oleh negara kepada warga negara yang dituding PKI jauh lebih dahsyat?
Kritik Terhadap Ketidakadilan
Komunisme, sepanjang pengetahuan saya adalah sebuah paham. Cita-cita yang ingin diwujudkannya adalah mulia, yakni masyarakat yang lebih sejahtera, sejahtera secara bersama-sama. Karl Marx, melahirkan Marxisme diabad ketika kehidupan rakyat begitu timpang, alias penuh ketidakadilan dan penderitaan bagi kaum proletar.
Karl Marx pada konsep marxisme nya menyatakan bahwa sistem kapitalisme akan tumbang dengan sendirinya karena di dalamnya terkandung kekuatan yang mengahancurkan dirinya sendiri. Akumulasi modal yang menjadi tujuan utama kapitalisme akan menghisap habis daya hidup kaum proletar (buruh). Padahal buruh adalah konsumen utama dari para pemilik modal (borjuis).
Nah, kalau kaum proletar tak lagi sanggup membeli produk yang diproduksi kaum borjuis, dan itu berarti kondisi kaum buruh makin terdesak dan terjepit, ketika itulah kemudian, menurut Marx, kapitalisme akan runtuh karena kaum proletar akan melakukan revolusi. Lalu sistem apa yang akan menggantikannya?
Di sinilah Marx mengajukan argumentasi dengan menganalisis persoalan mendasar mengapa terjadi ketidakadilan dibidang kesejahteraan. Marx menyakini bahwa adanya hak kepemilikan atas faktor-faktor produksi di tangan segelintir manusia (kaum borjuis) adalah penyebab utama ketidakadilan tersebut. Jika saja hak milik atas faktor-faktor produksi ditiadakan, maka dengan sendirinya akan tercipta keadilan. Semua bisa menikmati secara bersama-sama kesejahteraan.
Kesamaan, itulah sebenarnya asal mula kata komunisme yakni dari kata common yang kurang lebih berarti sama atau bersama. Kata komunikasi misalnya juga berasal dari kata common yakni sama. Karena komunikasi akan terjadi kalau saja ada kesamaan pemahaman mengenai apa yang dibicarakan.
Jadi Marx memimpikan bahwa manusia akan hidup setara dan berkeadilan. Tidak ada yang kaya dan tidak ada yang miskin. Bukankah indah hidup penuh kesetaraan?
Tetapi pemikiran Marx bahwa kapitalisme akan tumbang dengan lahirnya revolusi proletariat sebagai takdir sejarah yang tidak terbantahkan ternyata tidak terbukti dengan mudah. Maka, Vladimir Lenin di Rusia mencoba melakukan langkah mempercepat takdir sejarah tanpa menunggu terjadinya revolusi proletariat. Lenin menggunakan pendekatan politik. Ini beda dengan Marx yang meyakini kekuatan ekonomi sebagai factor penumbangan borjuasi. Lenin pun melakukan “pemaksaan” kejatuhan kapitalisme dengan merebut kekuasaan dari kaum borjuis.
Dengan jalan apa? Ya.. dengan jalan revolusi yang diawali langkah membentuk apa yang disebut sebagai kediktatoran proletariat. Pemikiran Lenin, diterjemahkan secara tegas oleh Stalin yang bagi sejumlah kalangan justru dianggap menyimpangkan penerapan komunisme seperti apa yang ditulis Karl Marx atau dipikirkan oleh Lenin.
Sayangnya langkah-langkah membangun masyarakat komunisme bukan perkara mudah. Tidak heran kalau bagi sejumlah kalangan, komunisme dianggap sebagai pemikiran yang utopis (indah tapi hanya dalam mimpi). Sifat-sifat dasar manusia seperti kerakusan menjadi penghalang utama. Maka otoritaianisme pun tidak terhindarkan untuk diterapkan karena setiap warga karena memang warga negara harus dipaksa melenyapkan nafsu kerakusan, ingin memiliki sebanyak-banyaknya materi.
Ini menjawab pertanyaan mengapa dalam sistem negara komunis, pemerintahannya sering bersikap kejam dan keras kepada warganya.
Sudah Diramalkan Kegagalannya
Tetapi yang lebih sering menjadi ironi dari kekuasan negara yang menganut komunisme adalah para pemimpinnya yang justru memanfaatkan kesempatan untuk mereguk kenikmatan duniawi atau memenuhi dirinya dengan kepuasaan berlebih. Sementara rakyatnya dipaksa hidup sama rasa dan bekerja lebih banyak. Kekuasannya pun biasanya diturunkan kepada keluarganya.
Korea Utara misalnya, pemimpinya diturunkan dari ayah ke anak dan sang anak kini sering digambarkan hidup dengan gaya seorang borjuis.
Sebenarnya, sistem komunisme yang akan gagal sudah pernah ditulis pengarang sastra bernama George Orwell melalui sebuah buku yang berjudul “Animal Farm” pada tahun 1945. Kisahnya merupakan satire dari komunisme di Uni Soviet. Orwell menggambarkan kaum komunis seperti kumpulan hewan dalam sebuah peternakan yang telah berhasil menumbangkan kekuasaan sang tuan pemilik peternakan (simbol kekaisaran Rusia).
Pemberontakan para hewan diinspirasi oleh pemikiran seekor babi tua dengan panggilan Mayor Tua (Diasosiasikan sebagai sosok Lenin). Setelah di Mayor Tua mati, para hewan dipimpin oleh dua Babi yakni Napoleon (diasosiasikan sebagai sosok Stalin) dan Snowball (penggambaran sosok Trotsky) merancang pemberontakan para hewan dalam peternakan tersebut dan akhirnya berhasil. Mister John, sang pemilik peternakan pun diusir.
Pasca diusirnya Mister John, kehidupan para hewan di peternakan itu lebih baik. Mereka membagi pekerjaan untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Semua nya mendapatkan hak dan kewajiban yang sama. Tetapi ternyata sang Babi bernama Napoleon yang juga telah berhasil mengusir Babi lainnya yakni si Snowball, disebutkan sebagai pemimpin yang berkhianat dan menjalin kerjasama dengan manusia yang sebelumnya sudah ditumbangkan. Sang Babi menikmati kemewahan hidup sama dengan manusia.
Di akhir cerita, para hewan di peternakan yang melihat kelakuan babi Napoleon sulit membedakan, apakah napoleon itu babi atau manusia? Kisah Animal Farm ini menggambarkan bagaimana gagalnya sistem komunisme di Rusia (uni soviet) karena pengkhianatan justru terjadi oleh pemimpinnya sendiri. Animal Farm juga menggambarkan bahwa sistem komunisme tidak akan mampu menjadi sistem politik yang ideal.
Hanyalah Hantu
Pada era kekinian, Komunisme sebenarnya bisa diibaratkan seperti hantu, antara ada dan tiada tetapi menakutkan. Francis Fukuyama di “The End Of History” menuliskan, bahwa dengan tumbangnya Uni Soviet dan sejumlah negara komunis di Eropa Timur, komunisme telah memasuki kematiannya yang panjang. Kapitalisme telah menang telak melawan komunisme. Negara yang kini masih menganut komunisme tidak menjadi model yang diimpikan oleh manusia dimuka bumi ini. Kuba misalnya, mungkin tidak banyak yang ingin benar-benar hidup di negara yang dipimpin Fidel Castro tersebut.
Siapa yang mau hidup di negara dengan pengaturan yang begitu ketat?
Cina, kalaupun kekuasaannya dipegang partai komunis, kini telah lebih kapitalistis. Bisa jadi Cina adalah contoh sukses dari sistem komunisme yang terpaksa agak menyimpang. Tetapi tetap saja, Cina sekarang bukanlah cina yang benar-benar komunis karena sudah menjadi negara yang lebih terbuka. Jikalaupun Cina mau dipakai sebagai contoh negara komunis, bukankah rakyatnya bisa hidup sejahtera? Lalu apakah masih tetap takut dengan komunisme?
Herbert Marcuse, salah satu pemikir aliran Frankfrut Scholl dan seorang neo Marxian mengatakan bahwa komunisme di era teknologi komunikasi tanpa batas akan mengalami pelumpuhan yang kuat. Kapitalisme telah dengan cerdik menggunakan kemajuan teknologi komunikasi untuk menyebarkan paham-pahamnya. Paham utamanya yang paling berhasil melumpuhkan komunisme adalah “belilah, dan teruslah membeli, meski kamu tak membutuhkannya”. Manusia tidak lagi membeli atau mengkonsumsi sebatas apa yang dibutuhkan (need) tetapi juga apa yang diinginkan (want).
Sebaran iklan diberbagai media yang didukung dengan kecanggihan teknologi, mempengaruhi alam bawah sadar manusia modern, bahwa semua yang diproduksi mesin kapitalisme adalah kebutuhan. Maka semua produk dari mesin kapitalisme bisa terus laku dijual. Kapitalisme pastinya akan terus Berjaya. Marcuse yang khawatir dengan kondisi ini seperti ini lalu memikirkan bahwa penting untuk melakukan apa yang disebutnya dengan “perang Semesta melawan Kapitalisme”.
Tetapi perang melawan kapitalisme, jelas bukan perkara mudah. Apalagi mau melawan kapitalisme dengan komunisme, paham yang sudah gagal total membuktikan keampuhannya.
Masak mau melawan kapitalisme pakai hantu?? Hehehe..
Jadi, masih takut dengan komunisme? [b]
Diperlukan pendekatan lewat filsafat keadilan sehingga orang tahu dimana letak ‘benar-salah’ atau ‘baik-buruk’ faham tersebut.
bagus sih,ane juga menganut itu,disekolah banyak yang ikut ikut,padahal sekolah ane deket sama markas tentara
Betul juga sih kelihatannya faham komunisme sebenarnya tidak perlu lagi menjadi momok bagi kita bangsa Indonesia