Jujur saja, saya seperti tidak tahu apa tujuan memilih.
Saat ini umur saya 30 tahun. Mei yang akan datang saya akan berumur 31 tahun. Sampai umur segitu sudah ada beberapa Pemilu saya lewati baik itu Pemilu Legislatif ataupun Pemilu Kepala Daerah. Tapi di antara sekian pemilu itu, saya seperti tidak tahu apa tujuan saya memilih. Saya tidak tahu apa harapan saya terhadap para calon pemimpin yang saya pilih. Ditambah lagi saya tidak mengetahui persis apa yang ditawarkan oleh para calon itu.
Kalau ibarat membeli sebuah barang, saya tidak tahu barang apa yang saya butuhkan. Parahnya lagi, saya tidak tahu apa perbedaan barang A dengan barang B dan juga barang C. Apa keunggulan atau setidaknya apa yang ditawarkan barang A sehingga saya memutuskan “membeli” barang A tersebut.
Saya hanya ikut-ikutan berdasarkan situasi dan kondisi. Situasi dan kondisi di sini misalnya karena orang tua atau pacar menggunakan “produk” A, maka saya pun ikut membelinya.
Saya tidak tahu apa yang salah dengan semua itu. Apakah saya yang terlalu katrok sehingga tidak mampu menyimak kampanye setiap calon atau pun partai politik untuk mengetahui apa yang mereka tawarkan. Atau mungkin partai politik selama ini gagal menyampaikan visi dan misi serta program yang mereka tawarkan ke masyarakat?
Atau mungkin partai politik selama ini di tingkat akar rumput masih selalu menggunakan cara lama dalam berkampanye? Memasang baliho besar, membagikan uang bantuan yang entah dari mana sumbernya tapi berkedok kunjungan sosial dan cara-cara tidak mendidik lainnya?
Masyarakat pun mungkin sebagian masih mau menerima cara-cara seperti itu. Kelompok masyarakat masih saja mau menerima kunjungan dan bantuan uang yang sebenarnya tidak selalu “sehat” untuk mereka. Ya, walaupun tidak jarang juga masyarakat yang cerdik. Uang bantuan mereka terima saja dengan senyum dan kebulatan tekad. Tapi, ketika pemilu malah memilih calon dari partai lain.
Itu sudah lumrah tapi para calon dalam pemilu masih saja mau menggunakan cara itu.
Harapan
Kembali ke maksud saya di awal, saya adalah contoh masyarakat awam yang selama ini tidak tahu harus memilih apa ketika pemilu. Karena saya tidak tahu apa yang ditawarkan oleh setiap partai atau pun para calon. Atau sebaliknya, saya tidak memiliki aspirasi atau harapan khusus kepada para calon sehingga tidak tahu mana calon yang bisa memenuhi harapan saya.
Saya membayangkan, kalau semua atau sebagian besar masyarakat yang ikut memilih dalam pemilu seperti saya, maka kira-kira seperti apa hasil pemilu nanti.
Nah, sebentar lagi pemilihan Gubernur provinsi Bali akan dihelat. Gubernur Bali saat ini, Mangku Pastika, hampir pasti akan ikut maju lagi sebagai calon gubernur. Kabar yang beredar, wakil gubernur saat ini, Puspayoga malah akan nyalon sebagai Gubernur dan berhadapan dengan pasangannya saat ini.
Sejauh ini, baru dua nama itu saja yang beredar di media massa. Saya tidak tahu apakah ada calon lain yang lebih segar yang mau maju sebagai calon Gubernur.
Dan saya sepertinya lebih tertarik dengan pemilu yang satu ini karena saya (sudah) memiliki harapan khusus terhadap Gubernur mendatang. Jadi, saya bisa memilih calon mana yang kira-kira bisa mendekati harapan saya. Walaupun saya tidak tahu banyak tentang dunia politik, tapi setidaknya sekarang saya merasa membutuhkan sebuah “barang” yang akan saya beli. Walaupun kata orang saat ini di pasaran tidak ada barang yang sempurna.
Lalu, apa harapan saya untuk Gubernur Bali selanjutnya. Harapan ini tentunya harapan khusus yang realistis. Bukan hanya slogan atau sebuah kata seperti Gubernur yang “jujur”, “adil”, “tegas” dan sejuta kata manis lainnya. Harapan saya di antaranya yaitu masalah transportasi publik.
Macet
Macet adalah salah satu kata yang sudah akrab untuk penduduk Bali saat ini, khususnya yang di Bali Selatan. Macet yang dulunya hanya bisa kita lihat di televisi kini sudah terjadi di depan mata. Pemerintah memang seperti sudah bergerak dengan melakukan beberapa hal seperti Bus Sarbagita, pembangunan underpass di Simpang Dewa Ruci dan jalan tol di atas rawa.
Tapi, menurut, saya hal itu belum akan memecahkan masalah. Dari apa yang saya pikirkan secara logika sederhana saya, [pullquote]yang dibutuhkan Bali saat ini adalah sebuah transportasi publik yang baik[/pullquote]. Baik dalam artian nyaman, aman, tepat waktu, terintegrasi dan lain-lain.
Memang saat ini sudah ada Sarbagita, tapi realisasinya menurut saya sangat lambat. Saat ini hanya baru dua trayek yang dibuka. Selain itu, banyak yang sepertinya kurang dipersiapkan dengan matang, seperti ukuran bus, masalah halte, dan lain-lain. Lagipula, transportasi publik yang bagus tidak harus Sarbagita. Siapa tahu Gubernur Bali yang akan datang memiliki ide dan solusi yang lebih brilian dan patut dicoba.
Mengapa saya fokus pada masalah transportasi publik? Karena itulah yang nyata saya butuhkan saat ini. Saya sudah capek berkendara dari rumah ke kantor dengan jarak 27 KM tapi kadang membutuhkan waktu sampai 2 jam. Bahkan pernah saya menghabiskan waktu 3 jam di jalan. Padahal kalau jalanan lancar hanya butuh waktu 45 menit.
Jadi, harapan saya Gubernur Bali yang akan datang bisa memerhatikan masalah macet ini dan memberikan solusi yang bagus.
Selain masalah transportasi publik, tentu saya memiliki harapan lain. Seperti masalah hutan mangrove, saya berharap Gubernur Bali yang akan datang bisa membuat kebijakan yang lebih pro rakyat dan peduli lingkungan. Saya juga berharap Gubernur Bali yang akan datang bisa lebih memperhatikan nasib Bali ke depan. Bagaimana Bali Selatan menjadi penuh sesak karena dampak pariwisata. Pariwisata memang menjadi tulang punggung khususnya di Bali Selatan, tapi jangan sampai merugikan generasi mendatang.
Masih banyak harapan lainnya, tapi saat ini yang saya fokuskan adalah masalah transportasi publik itu. Masalah lainnya silakan orang lain yang menyampaikan.
Saya berpikir, seandainya nanti semua orang mampu mengungkapkan aspirasi mereka dan ditampung oleh calon pemimpin Bali, mungkin ke depan hasil pemilu bisa lebih baik. [b]
Tulisan disalin dari blog Wira Utama.
Pemerintah Bali sekarang tidak mempunyai Blue Print tentang bagaimana Bali kedepan, semuanya berjalan dengan sendirinya, ada atau tidak Gubernur sama saja…tentang transportasi apa lagi, 10 tahun kedepan kemungkinan Bali akan macet dan amburadul…