Oleh I Wayan Sunarta
Scanner merupakan sebuah alat pemindai yang kini banyak digunakan orang yang terbiasa dengan kecanggihan teknologi. Popularitas scanner hampir menyamai kamera digital atau kamera ponsel. Secara umum scanner biasa dipakai untuk men-scan foto, gambar, teks, atau dokumen penting. Fungsi dan cara kerja scanner hampir mirip dengan mesin fotokopi yang lebih dulu dikenal.
Namun, secara umum scanner sangat jarang dieksplorasi untuk kepentingan kreativitas seni rupa dan fotografi. Kebanyakan orang memakai scanner hanya sebagai alat pemindai gambar atau teks yang berdimensi tunggal, terbatas dan tidak memerlukan keterampilan khusus saat menggunakannya.
Mengingat fungsinya yang standar, siapa menyangka scanner bisa dipakai untuk menghasilkan karya-karya seni fotografi yang sangat nyleneh dan “mengganggu” mata serta imajinasi penikmatnya. Scanner ternyata sangat provokatif untuk menghasilkan karya seni yang penuh dengan citra-citra mengagetkan. Hal itulah yang dikerjakan oleh fotografer dan perupa Angki Purbandono.
Seniman kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 1971 ini membuktikan bahwa scanner yang pada intinya memiliki fungsi yang sama dengan kamera (merekam objek) dapat juga menjadi media untuk menciptakan karya-karya artistik. Dengan kenakalan imajinasinya, Angki mengeksplorasi scanner untuk menghasilkan karya-karya seni visual yang mungkin tidak terpikirkan oleh fotografer atau perupa lainnya.
Karya-karya hasil olahan scanner itu dicetak dalam ukuran besar dengan resolusi tinggi dan dibingkai dalam light box yang juga berukuran besar sehingga nampak berpendaran dan menyita mata penikmatnya.
Karya-karya Angki bisa dilihat pada pameran tunggalnya yang ke-5, bertajuk “Happy Scan”, di Biasa Art Space, Seminyak, Kuta yang berakhir 14 Juli lalu. Pameran yang dikuratori pengamat seni rupa Farah Wardani itu menampilkan karya-karya Angki selama menjalani masa residensi seni di Changdong, Seoul, Korea Selatan, sejak 2006 hingga April 2008. Angki merupakan lulusan Fotografi, Fakultas Multimedia, ISI Yogyakarta. Dia juga menjadi pendiri dan pentolan Komunitas Fotografi Ruang Mes 56 Yogyakarta.
Dalam kuratorial pameran, Farah Wardani menjelaskan bahwa karya-karya Angki dihasilkan dengan memaksimalkan kemampuan kerja scanner dalam menangkap detil paling kecil dan warna paling akurat dari objek yang dipindai. Efek pencahayaan yang lain daripada yang lain yang dihasilkan dari elemen paling inti dari proses pemindaian dengan flatbed scanner, yaitu sensor dan penyinaran, yang tak begitu menonjol dalam kamera, memegang peranan penting. Selain itu, tentu juga kejelian Angki dalam memilih objek dan kemampuannya yang imajinatif dan jahil dalam mentransformasi dan merekreasi objek-objek tersebut menjadi bentuk-bentuk yang sama sekali berbeda, menggabungkan spirit mematung (sculpting) dan membuat kolase.
Objek-objek garapan Angki memang nampak remeh temeh dan sering tidak terpikirkan, seperti botol-botol bekas, mainan anak-anak, benda-benda usang, dan sebagainya. Namun objek-objek temuan yang beraneka rupa itu ketika dipadukan secara kreatif ternyata mampu menghasilkan komposisi yang ganjil dan surealistik, multi tafsir, mengaduk-aduk imajinasi dan memori kita tentang berbagai hal yang pernah kita lihat atau alami. Perasaan “terganggu” itu semakin menjadi-jadi karena perhatian kita disedot oleh aneka rupa karya Angki yang ditampilkan dalam ukuran yang jauh lebih besar dari aslinya dan dibingkai dengan light box yang juga besar.
Perhatikan misalnya karya “Andy Warhorse” (edition 1/3 neon box series, 100 x 122 x 13 cm, 2006, print on kodak endura transparency) yang menvisualkan citra seekor kuda berdiri di atas pisang kuning kehijauan yang melengkung penuh gairah. Latar belakang karya itu hitam pekat sehingga warna kuda dan pisang lebih menyala. Kuda plastik putih yang ekornya buntung itu merupakan mainan anak-anak yang telah usang. Sedangkan pisang yang setengah matang itu adalah pisang sungguhan. Kedua benda itu dipertemukan dalam sebuah konteks yang bertujuan memparodikan pelukis pop art Andy Warhol.
Atau nikmati karya yang berjudul “Shut Up” (edition 1/3 neon box series, 100 x 146 x 13 cm, 2006, print on kodak endura transparency) yang menampilkan kambing mainan dari plastik yang moncongnya dijepit dengan penjepit jemuran berwarna merah muda. Mata kambing hitam itu nampak terbelalak kaget karena moncongnya dibungkam paksa. Ini jelas karya visual yang kreatif dan penuh satire jika dikaitkan dengan realitas sosial orang-orang Indonesia yang gemar mencari kambing hitam di tengah carut marut belantara permasalahan yang sedang terjadi.
Di antara sekian banyak karya, kita juga bisa menikmati karya Angki yang paling nyleneh yang menampilkan objek temuan berupa pembungkus pil KB berbagai merek. Perhatikan karya berjudul “Anti Pregnant # 1”, tekstur dan lekukan lubang-lubang plastik bekas tempat pil menjadi tampak artistik ketika berpadu dengan lubang-lubang yang masih berisi pil, lengkap dengan tulisan, kode, logo, angka, barcode yang tertera pada kemasan itu. Sepintas karya ini tidak menyampaikan maksud apa-apa, selain hanya ingin menampilkan pembungkus pil KB. Namun kalau direnungi lebih jauh, ada banyak wacana yang bisa mencuat dari garapan tersebut.
Selain menggunakan benda-benda tak terpakai, plastik kemasan permen dan mainan anak-anak sebagai objek garapan, Angki juga menampilkan botol-botol bekas yang telah dibebat dengan balon warna-warni, bulu-bulu imitasi berkilau, ditempeli aneka macam stiker, atau dipoles dengan cat warna-warni. Citra dari botol-botol tersebut dapat dilihat pada seri karya buatan tahun 2006 yang berjudul “Art Soju”.
Mainan anak-anak, terutama patung anjing dari plastik, mendapat tempat tersendiri di hati Angki. Dia mengemas dan memadukan patung-patung anjing itu dengan benda-benda temuan lain sedemikian rupa sehingga menghasilkan citra-citra yang ganjil. Hal itu misalnya terlihat pada karya-karya buatan tahun 2008 yang berjudul “When You’re in The Frame” yang menampilkan citra anjing putih yang seluruh kepalanya terbalut kertas tisu.
Hal yang senada juga terlihat pada karya “Dog in Coffe” dimana kepala anjing terbungkus plastik kemasan kopi instan, pada “Stay Hungry” terlihat kepala anjing terperangkap di dalam seonggok benda bulat, pada “The Dog Roll The Tissue” menampilkan anjing yang terperangkap di dalam tisu gulung.
Secara umum karya-karya Angki terkesan jenaka, namun memiriskan hati. Sebab banyak hal tak terduga yang bisa ditafsirkan dari pencitraan objek-objek remeh temeh yang “dipotret” dengan scanner tersebut. [b]
Wayan Sunarta, bergiat di Yayasan Metropoli Indonesia.
Saya dari dulu pengin beli scanner tapi nggak jadi jadi. 🙂
beberapa foto angky dan karyanya dapat dilihat di flickr ku
http://www.flickr.com/photos/lelaki_elang
silahkan
wah mantab hasil scenernya, tapi sampai saat ini scaner saya masih rusak he….he…