Sudah pernah menaiki Bus Trans Sarbagita?
Bila dari pernyataan di atas dijawab “sudah”, pastinya pernah mencoba halte-halte yang tersedia di setiap koridor yang dilalui. Untuk menuju halte, kita harus melewati beberapa anak tangga atau di beberapa halte ada yang menggunakan ramp sebagai akses menuju halte. Tapi, di beberapa halte ada juga yang tidak memakai tangga atau ramp.
Nah, sesuai dengan judul tulisan ini, kebanyakan halte Trans Sarbagita tidak ramah kepada pejalan kaki. Selanjutnya saya tulis “Pedestrian” agar lebih British.. Hehehe.
Kenapa? Halte ditempatkan pada jalur pedestrian. Di mana jalur pedestrian yang sudah tidak sesuai dengan standar, minimal lebar jalur pedestrian kurang lebih 1,40 meter, ditambahkan dengan halte yang memiliki tangga (ramp). Hal ini sungguh mengganggu bagi para pedestrian, karena harus menaiki tangga atau berjalan keluar jalur pedestrian untuk berjalan melewati halte yang mengahalangi jalur mereka.
Kenapa halte yang ada sekarang menggunakan tangga atau ramp? Ini tentu saja berkaitan dengan bentuk bus Trans Sarbagita yang sekarang, di mana pintu masuk utamanya tidak rendah melainkan agak tinggi. Bus ini sangat mirip dengan bus TransJakarta.
Sebenarnya halte tidak salah 100 persen, karena bentuk halte mengikuti busnya. Kesalahan terletak pada saat merencanakan bus trans ini. Seharusnya Pemerintah Provinsi Bali mempelajari dulu bus seperti apa yang akan diberikan oleh pemerintah pusat. Apa akan cocok dengan keadaan di Bali atau tidak? Jika bus tipe ini digunakan di Jakarta tentu saja tidak mengganggu jalur pedestrian, karena halte TransJakarta tidak berada di pinggir jalan raya melainkan di median jalan raya.
Seharusnya, menurut saya, karena jalur pedestrian di Bali masih jauh dari standar, bus yang dipakai ialah bus yang pintu masuknya lebih rendah.
Dengan bus seperti ini, maka halte dibuat rata dengan jalur pedestrian. Sehingga para pedestrian masih bisa melewati jalur pedestriannya dengan nyaman bila melewati halte, walau agak sempit karena bersamaan dengan orang yang sedang menunggu bus di halte.
Halte seperti ini selain ramah kepada pejalan kaki, tentu juga sangat ramah kepada para penyandang cacat yang ingin naik bus. Karena tidak harus melewati anak tangga atau ramp. Selain itu bisa dibuat ruang untuk iklan yang otomatis akan menambah pendapatan pengelola Trans. Dan juga bila pengelola atau siapapun yang mengelola Trans ini mau, bisa saja membuat halte yang keren dan imajinatif. Hal ini dapat menambah kecantikan kota juga.
Catatan: Tulisan dari http://mankomank.tumblr.com/
Sekilas saya melihat halte sarbagita memang tidak nyaman ya. Walaupun belum pernah naik sarbagita, saya rasa beberapa halte khususnya yang belum dibuat permanen masih kurang enak dipandang mata.
Iya bli Wira. Cuma sekedar saja haltenya. Bahasa Balinya “Pang ade gen” 🙂