Sebagai organisasi non-pemerintah, WALHI Bali memiliki hak menyampaikan pendapat.
WALHI Bali dilarang berbicara dalam rapat paripurna terkait Rencana Peraturan Daerah Tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Bali (Ranperda RZWP3K Bali), pada Senin, 31 Agustus 2020. Pelarangan itu terjadi pada Direktur WALHI Bali I Made Juli Untung Pratama.
Untung mengajukan tangan untuk menanggapi Ranperda RZWP3K Bali setelah setelah Koordinator Pembahasan Ranperda RZWP3K Bali, Anggota DPRD Bali Nyoman Adnyana menyampaikan laporannya. “Kami memberikan tanggapan tiga menit saja,” kata Untung.
Namun, permintaan tersebut ditolak oleh pimpinan sidang paripurna sekaligus Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama. “Ini sidang. Yang diluar anggota dewan tidak ada hak bicara,” ucap Adi.
Atas jawaban tersebut, Untung Pratama meninggalkan ruang sidang.
Untung Pratama menyayangkan sikap pimpinan sidang Nyoman Adi Wiryatama yang melarang WALHI Bali memberikan tanggapan. Padahal, WALHI Bali dari awal mengikuti dan mengawal proses penyusunan Ranperda RZWP3K Bali. Sebagai organisasi non-pemerintah, WALHI Bali memiliki hak menyampaikan pendapat. “WALHI Bali tidak diperbolehkan untuk menyampaikan tanggapan dalam rapat paripurna adalah melanggar konstitusi,” tegasnya.
Lebih lanjut, Untung Pratama menyampaikan penetapan Teluk Benoa sebagai Kawasan Konservasi Maritim dalam Ranperda RZWP3K Bali adalah hasil perjuangan rakyat Bali. Awalnya, pada dokumen awal RZWP3K Bali, Teluk Benoa masuk sebagai zona pariwisata dan bisa direklamasi. Atas protes terus menerus dari Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) dan WALHI, barulah Teluk Benoa diubah sebagai Kawasan Konservasi Maritim.
“Konservasi Teluk Benoa muncul bukan dari kehendak Pemprov Bali,” tegasnya.
Proyek Besar
Lebih jauh, proyek-proyek besar yang bisa merusak lingkungan hidup masih diakomodir dalam Ranperda RZWP3K. Misalnya tambang pasir laut di pesisir Kuta seluas 938,34 ha dan Sawangan seluas 359,53 ha, rencana perluasan Pelabuhan Benoa dengan cara reklamasi seluas 1.377,52 ha, dan rencana pengembangan Bandara Ngurah Rai dengan cara reklamasi seluas 151,28 ha.
Dalam laporan yang disampaikan Anggota DPRD Bali Nyoman Adnyana, salah satu tujuan tambang pasir laut adalah perluasan Kawasan Strategis Nasional (KSN). Untuk setiap reklamasi yang dilakukan oleh Bandara Ngurah Rai dan Pelabuhan Benoa, Pemprov Bali wajib mendapat minimal 10 persen lahan hasil reklamasi.
Atas hal tersebut, kecurigaan WALHI Bali bahwa Proyek Tambang Pasir Laut untuk reklamasi Pelabuhan Benoa dan Bandara Ngurah Rai terbukti benar. “WALHI Bali mengecam keras tiga proyek yang merusak lingkungan tersebut,” tegasnya.
Untung Pratama juga menjelaskan bahwa proyek tambang pasir laut di sepanjang pesisir Kuta, sudah ditolak seluruh Sekaa Teruma Teruni (STT) se-Desa Adat Legian, STT Desa Adat Seminyak dan kelompok lain yang memanfaatkan pesisir Seminyak, seperti Asosiasi Surfing dan Asosiasi Pedagang pantai Seminyak.
Harapan mereka tersebut harusnya diakomodir oleh DPRD Bali karena mereka adalah masyarakat yang berhadapan langsung dengan proyek tersebut. Namun, faktanya, DPRD Bali lebih memilih mengakomodir tambang pasir laut untuk perluasan KSN daripada mengakomodir aspirasi masyarakat pesisir Legian dan Seminyak.
“Aspirasi masyarakat Legian dan Seminyak diabaikan,” ujarnya.
Pernyataan Koordinator Pembahasan Ranperda RZWP3K Bali Nyoman Adnyana, yang pada intinya menyatakan bahwa terdahulu ada tindakan-tindakan orang yang tidak mempunyai kompetensi dan kewenangan. Hal itu membuat pengerukan pasir di Kuta menjadi persoalan karena dianggap pengerusakan. Bahkan ia menyebut tindakan-tindakan tersebut adalah tindakan yang tidak legal dan tindakan preman.
Hal itu ditanggapi oleh Untung Pratama dengan mempersilakan Nyoman Adnyana menyebut siapa orang yang dimaksud. “Silakan sebut kepada publik siapa orang yang Anda maksud melakukan tindakan preman itu,” tegasnya. [b]