Sebagai kota penyangga Denpasar, Tabanan berkembang cepat.
Beberapa kawasan tampak berubah drastis seperti jalur By Pass Denpasar – Gilimanuk terutama di kawasan Kecamatan Kediri, Tabanan. Toko dan pusat perbelanjaan berjajar di sepanjang jalan penghubung Jawa – Bali ini.
Perubahan ini tentunya berdampak langsung terhadap lingkungan di wilayah tersebut. Makin banyak pembangunan, alih fungsi lahan pun meningkat.
Tabanan memiliki jargon terkenal dan sering diungkapkan oleh pimpinan daerah maupun instansi, Tabanan adalah lumbung padi Bali. Namun, sampai kapan jargon tersebut bisa bertahan?
Data Dinas Pertanian Tabanan, pada 2010 jumlah lahan pertanian di Tabanan seluas 22.455 hektare. Setelah itu luas lahan pertanian di Tabanan terus turun menjadi 22.435 hektare (2011), 22.388 hektare (2012 dan 2013), 21.962 hektare (2014), 21.742 hektare (2015) dan 21.452 hektare (2016).
Apakah Tabanan bisa mempertahankan identitas budaya agraris di tengah gempuran pembangunan? Bagaimana petani berjuang dalam banyaknya masalah pertanian seperti ketersediaan air, regenerasi petani, masalah pupuk hingga pasca panen?
Jargon lumbung padi Bali selayaknya diganti menjadi Tabanan gudang toko modern.
Anggaplah Tabanan sudah gagal mempertahankan budaya agrarisnya karena generasi muda enggan menjadi petani, jargon lumbung padi Bali selayaknya diganti menjadi Tabanan gudang toko modern.
Data dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu pada 2017, Tabanan memiliki sekitar 126 toko modern atau berprilaku modern yang belum jelas perizinannya. Sementara, 76 lainnya sudah pernah memiliki izin namun belum memperbaharui izin lagi. Totalnya 202 toko modern.
Jumlahnya mungkin tidak terlalu banyak jika mengacu pada Denpasar atau Badung. Namun, menurut saya jumlah tersebut luar biasa kalau ukurannya untuk kota satelit atau penyangga seperti Tabanan.
Ada moratorium toko modern merujuk pada Surat Edaran Gubernur Bali tahun 2011 mengenai pendirian toko modern. Adalah menunda sementara atau moratorium setiap pembangunan dan pemberian izin pasar modern (hypermaket, supermarket dan minimarket baik minimarket berjeraring maupun non-berjejaring) sampai kabupaten/kota memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang yang memiliki kekuatan hukum. Setahu saya saat ini Tabanan belum memiliki Rencana Detai Tata Ruang (RDTR).
Tabanan memiliki Peraturan Daerah (Perda) Toko Swalayan dan sudah ketok palu pada 1 Maret 2016. Namun, celakanya, dalam Perda tersebut masih ada ketidaksingkronan nomenklatur. Pada Bab III, Pasal V, Ayat IV di Perda ini mengatur pendirian minimarket berjaringan hanya dapat dilakukan di tepi jalan protokol dan jalan arteri.
Sementara saat ini klasifikasi jalan yang digunakan oleh Pemerintah Tabanan adalah jalan pemerintah pusat, jalan pemerintah provinsi, jalan pemerintah kabupaten dan jalan desa. Ini menjadi salah satu alasan Perda belum bisa berjalan.
Rupa-rupanya perbaikan teks dalam Perda membutuhkan waktu panjang sehingga pertumbuhan toko modern di Tabanan sama seperti cendawan di musim penghujan.
Seiring dengan itu, pertumbuhan toko modern mengurangi luas sawah.
Mati Oleh Globalisasi
Toh, toko-toko modern itu juga kemudian mati akibat globalisasi, seperti dialami Jhon Khanedy.
Duduk di pojok tokonya yang hanya berisi beberapa barang dagangan, Jhon Khanedy termenung sambil melihat pembeli hilir mudik di toko modern berjaringan (Indomaret) yang tepat berdiri di sebelah selatan toko kelontongnya. Tiga bulan awal pada 2017 omset jualan pria 40 tahun itu menurun 100 persen karena kalah bersaing dengan toko di sebelahnya.
Toko Khanedy didirikan pada 2007 dan harus dijual untuk menutupi hutang Rp 400 juta. Hutang itu dari pembangunan toko dan mengisi modal usaha. Suami dari Ni Wayan Niti itu menceritakan, sebelum berdirinya toko modern berjaringan di sebelahnya pada 1 Maret 2017, omset jualannya lumayan, bisa mencapai Rp 3 juta perhari.
Khanedy berencana setelah tokonya yang berlokasi di Jalan Yehgangga-Pesiapan itu laku, Ia pulang ke rumah istrinya di Desa Tangguntiti, Selemadeg Timur dan kembali akan memulai usaha baru.
Kisah dari Jhon Khanedy mungkin menggambarkan kejadian serupa dibanyak tempat di Tabanan. Masyarakat kalah berhadapan dengan korporasi besar yang berbentuk toko modern berjaringan.
Pada narasi awal film The New Rules Of The World, Jhon Pilger mengatakan globalisasi adalah sekelompok kecil orang-orang yang lebih kaya dibandingkan jumlah keseluruhan.
Toko modern berjaringan adalah pasar yang dikuasai segelintir orang dengan kemampuan membuka outlet secara luas. Sistem yang dibentuk, menjaring pada banyak tempat dan mengantarnya pada satu kantong.
Jika pemerintah daerah berpihak pada wong cilik, persoalan toko modern di Tabanan harusnya tidak sampai berlarut-larut. Menurut saya mutlak dibutuhkan ketegasan pimpinan daerah.
Toko modern semakin memperjelas tampilan globalisasi sebenarnya seperti yang digambarkan Jhon Pilger pada film dokumenternya yang dirilis pada 2001. Globalisasi yang membunuh hajat hidup masyarakat kecil secara langsung, seperti Jhon Khanedy. [b]
pertama baca nama toko mirip dengan salah satu presiden, eh ternyata :p. semoga tidak gulung tikar saja pak, join venture sama pihak ketiga. jangan di jual
Betul sekali.
Kasihan toko-toko kecil yang milik masyarakat kecil banyak tergerus dengan jaringan toko besar.
Apakah tidak ada solusi ya ?