Apa kabar di 2020 lalu? Baik? Ya baik, berusaha untuk tetap baik dan waras.
Menjaga imunitas dan mental agar senantiasa segar bugar menghadapi segala macam terjangan dan gempuran himbauan di kala pandemi covid 19. Himbauan untuk melaksanakan rutinitas dari rumah. Kerja dan sekolah dari rumah atau istilah kerennya work from home dan school from home.
Bahkan ada yang dirumahkan ya, dirumahkan diam di rumah dan kehilangan pekerjaan sementara, katanya. Tapi kenyataannya, berlangsung lebih lama dari yang diharapkan. Sektor pariwisata terutama dan juga sektor lain, tidak sedikit pekerja dirumahkan dalam waktu yang belum pasti dan ada pula yang harus menyerah, diberhentikan bahkan menutup usahanya. Kemudian di rumah, mereka hanya mendapatkan himbauan. What a home sweet home.
Aku masih bersyukur walaupun pandemi dan bukan pegawai negeri, aku masih bisa bekerja dan mengajar dari rumah juga menerima gaji. Aku adalah ibu tunggal merangkap guru atau guru merangkap ibu tunggal bagaimana saja boleh. Karena keduanya merupakan pekerjaan primer yang harus dijalani setiap hari. Di balik stereotype ibu tunggal, aku merasa bangga bisa menghidupi anakku dengan keringat sendiri. Aku mengajar di sebuah SD swasta di daerah Badung, Bali, dan anakku bersekolah di sekolah dasar swasta juga di kawasan Badung.
Menjadi guru di masa pandemi seperti ini serba salah. Kenapa? Kan masih digaji walaupun tidak mengajar? Halo, maaf permisi numpang ngedumel. Jadi, banyak masyarakat terutama orang tua siswa yang mengeluh anaknya sekolah dari rumah dan merangkap sebagai guru. Mengeluhkan guru yang makan gaji buta. Tapi tidak semua guru, mungkin ada beberapa sekolah dan oknum guru yang hanya mengirimkan tugas saja tanpa materi ke anak didiknya. Sehingga orang tua merasa terbebani mengajarkan anaknya pelajaran yang tidak mereka kuasai. Sementara mereka harus tetap membayar SPP.
Aku sendiri sebagai seorang guru di kota yang akses internet dan alat komunikasi mumpuni merasa kemampuanku sebagai guru harus ditingkatkan ke level teratas. Bagaimana tidak? Biasanya saat sekolah biasa, materi yang dipersiapkan sebelum mengajar bisa aku dapatkan dari video hasil berselancar di internet kemudian mengajar anak-anak di kelas dengan ceria dan penuh semangat. Apalagi aku mengajar kelas 1 SD dimana kedekatan psikologis, eye to eye, face to face dengan siswa sangat diperlukan. Lah terus? Bagaimana saat sekolah dari rumah? Kan enak cuma mengirim tugas? Ooooh. Tidak semudah itu Cinderella.
Jadi selama sekolah dari rumah, guru-guru di sekolahku dan beberapa sekolah mendadak menjadi youtuber. Karena kami harus membuat video tutorial pembelajaran dan menguasai teknik mengedit video agar siswa tertarik untuk belajar, menonton sekaligus mengerti materi pembelajaran dari video itu. Jadi kami harus membuat script, merekam dan mengedit sendiri. Menjadi sutradara, sekaligus videographer, scriptwriter dan artis. Well, yang biasanya aku hanya tinggal baca naskah dan berakting saat bermain peran di teater maupun film.
Tidak hanya itu, selain video tutorial itu, kami juga harus membuat materi presentasi untuk dipresentasikan saat kelas virtual berlangsung. Pokoknya, bagaimana caranya seminimal mungkin membebani orang tua. Begitu pula dengan tugas-tugas, kami memberikan hanya sedikit tugas dengan waktu pengumpulan maksimal 3 hari untuk mengakomodasi orang tua yang bekerja dan tidak bisa menemani anaknya belajar di rumah. Tidak semua orang tua bekerja dari rumah dan dapat membantu anaknya belajar. Pun, walaupun mereka bekerja dari rumah, tidak sedikit yang kewalahan dalam mengajarkan materi kepada anak-anaknya. Apalagi memang dari arahan menteri pendidikan bahwa materi yang diberikan tidak harus memenuhi semua yang tercantum di kurikulum.
Selain guru, aku juga adalah ibu tunggal dari seorang anak sekolah dasar kelas 2. Anakku juga sekolah secara daring, tiap hari mengikuti kelas virtual dan mendapatkan tugas dari gurunya. Sayangnya, karena jadwal belajar dia berbenturan waktu dengan jadwal mengajarku, jadinya dia selalu belajar sendiri dengan alat komunikasi sendiri. Juga, kami berbeda sekolah dan kebijakan. Itu sedikit menimbulkan gesekan.
Hal yang lumrah diamini bahwa anak lebih mendengarkan gurunya daripada orang tuanya sendiri, begitupun anak lelakiku. Walaupun aku seorang guru, tidak menjadikannya percaya sepenuhnya untuk aku ajari. Dia cenderung lebih moody, seenaknya dan manja jika aku yang mengajari dan sering melontarkan pertanyaan, “Bener emangnya begini? Coba ibu tanya Ms.X (nama gurunya)” dan aku hanya bisa menghela napas. Jangan tanya apa emosiku pernah naik saat membantunya belajar di rumah, jawabanku sering. Sering sekali malah. Maka dari itu sekolahku dan para gurunya, berusaha semaksimal mungkin mengurangi beban orang tua di rumah. Namun, mungkin itu tidak berlaku disemua sekolah. Aku tidak punya cukup data untuk membahas itu, mohon maaf.
Karena menjalani peran ganda sebagai guru dan orang tua siswa, seringnya aku mengajukan komplain ke guru dan sekolah anakku. Lah kok malah komplain? Ya bukan keluhan yang tidak mendatangkan solusi, namun untuk sharing atau berbagi pengalaman apa yang diterapkan di sekolah tempatku bekerja. Sekiranya ada beberapa hal yang bisa diadaptasi, disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan orang tua di sekolah itu. Agar memudahkan juga orang tua dan mengurangi beban kerja guru. Hanya jika aku pikir, kebijakan yang dibuat di sekolah itu memberatkan. Kalau tidak, ya pasti aku manut dengan keputusan yang diambil oleh sekolah. Hak orang tua untuk komplain karena membayar SPP, namun juga punya kewajiban untuk mengevaluasi dan memberikan solusi. This is a stressful situation for all of us.
Tekanan untuk guru, orang tua, dan siswa memang berat di masa pandemi ini. Bukan hanya dalam memberikan materi namun juga assessment atau penilaian. Instruksi menteri pendidikan sih penilaian diberikan secara kualitatif, namun pada kenyataannya kami harus tetap memberikan nilai secara kuantitatif yang objektivitasnya sangat sulit dipertanggungjawabkan. Terutama, untuk tugas-tugas yang tidak secara langsung mereka kerjakan saat kelas virtual berlangsung. Karena bisa saja tugas itu dikerjakan oleh orang tuanya atau mencontoh dari tugas temannya. Bukannya berpikiran buruk, namun segala kemungkinan pasti ada kan? Tentu saja, nilai yang diberikan tidak hanya melalui tugas-tugas, namun sikap dan keaktifan saat mengikuti kelas virtual.
Sekali lagi aku merasa bersyukur dan beruntung menjadi guru yang bertugas di kota besar dengan akses internet yang mudah dan sarana lebih dari sekadar memadai untuk mendapatkan materi dan mengajar melalui kelas virtual. Sudah sangat jauh lebih beruntung dari kawan-kawan guru lain yang mengajar di daerah. Membayangkan bagaimana perjuangan kawan-kawan guru yang bertugas di pelosok desa, atau wilayah terpencil yang jangankan internet, listrik saja masih minim. Hanya bisa membaca di berita bagaimana mereka berjuang menyambangi tempat tinggal murid-muridnya. Mendaki gunung, lewati lembah, sungai mengalir deras, jalan setapak sempit, bahkan merayap di tebing. Tujuan mereka hanya agar murid-murid tetap bisa mendapatkan materi walaupun harus belajar di rumah saja. Perjuangan yang tentu sangat layak dan harus mendapatkan perhatian dan bantuan dari pemerintah terkait. Mudah-mudahan saja mereka mendapatkannya.
Begitu pula dengan siswanya. Mereka yang tinggal jauh dari akses internet dan sarana untuk belajar secara daring. Tentu saja mereka harus melakukan usaha lebih untuk mendapatkan pelajaran. Jangankan yang tinggal di pelosok, yang tinggal di kota pun masih banyak yang terancam putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan pendidikan karena kendala alat komunikasi. Kesulitan ekonomi kala pandemi juga menjadi faktornya. Anak-anak membutuhkan alat penunjang yang tidak murah, namun orang tua tersendat masalah biaya. Sekali lagi di sini perlu sinergi orang tua, sekolah dan guru agar anak-anak tidak sampai putus sekolah. Kembali lagi ke kebijakan sekolah masing-masing.
Aku teringat dengan cerita seorang kawan yang sempat integrasi di Dusun Birak Desa Bilok Petung, Kecamatan Sembalun Lombok Timur. Selama pandemi, sekitar 10 -15 anak di desa tersebut belajar di taman belajar. Guru mereka akan datang dan menyampaikan materi. tidak jarang, guru juga mengunjungi rumah-rumah siswa untuk mengajar. Kawan-kawan organisasi yang integrasi di desa tersebut juga mendirikan sanggar siswa untuk membantu anak-anak belajar. Hal ini cukup membantu anak-anak juga guru di sana.
Panjang juga curhatku. Setelah berpikir, menimbang dan bersemedi selama pembelajaran dari rumah, tentu kita harus mengambil hal positif dari setiap situasi yang kita hadapi. Bukan begitu? Ternyata mengajar dari rumah tidak selamanya merepotkan dan melelahkan. Aku bisa mengajar sambil rebahan di kasur. Duduk santai dengan bersandar dengan hanya mengenakan celana pendek namun tetap memakai seragam. Pastinya tanpa mengenakan sepatu berhak seperti saat mengajar di kelas konvensional. Kemudian, aku bisa menghemat uang bensin, pengasuh dan pengantar jemput anakku.
Sebelum pandemi aku bisa menghabiskan 1,5 juta untuk antar jemput dan pengasuh. Sekarang karena dia juga sekolah dari rumah, uangnya bisa aku alokasikan ke wifi dan masih ada kembalian. Dasar emak-emak. Lalu, aku bisa meningkatkan kemampuan mengedit video. Prestasi yang membanggakan untuk emak-emak gaptek ini. Siapa tahu bisa jadi youtuber. Yeah..
Tulisan ini hanya sekedar curhat, tidak untuk diperdebatkan. Kita tidak tahu kapan situasi ini berakhir bukan? Hadapi dengan tegar setegar batu karang di lautan yang menenggelamkan kapal Titanic. Tetap tersenyum dan mengoptimalkan segala potensi bertahan hidup. Semoga 2021 secercah cahaya menerangi keadaan bumi yang gulita. Walaupun tujuh hari pertama rasanya sudah ingin uninstall 2021, dengan segala bencana yang datang silih berganti. Tapi aku percaya, kita semua bisa. Ayo semangat!