Oleh Agus K. Pradnyana Rendra, Asisten Pengacara Publik YLBHI-LBH Bali
Buruh merupakan seseorang yang tidak memiliki modal dan hanya memiliki tenaga yang digunakannya atau dijualnya untuk mendapat upah. Buruh tidak memiliki kendali atas proses produksi dan hanya memberikan tenaga berdasarkan permintaan pengusaha, dan untuk tenaganya tersebut, buruh memperoleh upah sebagai timbal balik (Imam Soepomo 1974:7).
Secara hukum, definisi buruh lebih sempit yaitu setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Undang-undang No. 2 Tahun 2004). Berdasarkan definisi ini, terdapat dua unsur penting dari pengertian buruh yaitu bekerja dan menerima upah atau imbalan.
Pengusaha atau pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan).
Buruh dan Pengusaha mempunyai ikatan dalam bentuk perjanjian kerja, yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam hubungan kerja dapat terjadi perselisihan antara pekerja dengan perusahaan.
Ada empat jenis perselisihan hubungan industrial.
Pertama, perselisihan hak yang ditafsirkan terhadap peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Kedua, perselisihan kepentingan yang merupakan perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Ketiga, perselisihan pemutusan hubungan kerja, perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja oleh salah satu pihak.
Keempat, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan merupakan tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksana hak, dan kewajiban ke serikat pekerja.
Sebagaimana seperti yang diterangkan di atas, segala macam perselisihan bisa saja terjadi antara pengusaha dengan pekerja atau buruh. Hal ini tidak terkecuali mengenai masalah upah yang mana masih ada perusahaan yang membayar upah di bawah upah minimum ketika pekerja/buruh sudah melaksanakan tanggungjawabnya sebagai pekerja/buruh.
Selain melaporkan segala permasalahannya ke Dinas Tenaga Kerja, banyak pekerja/buruh tidak tahu bagaimana bentuk pertanggungjawaban perusahaan jika upah yang mereka terima di bawah upah minimum.
Hak Dasar Pekerja
Upah berdasarkan Pasal 27 ayat (2) UUD adalah Hak Konstitusional dari pekerja/buruh yang wajib untuk dilindungi secara hukum oleh Pemerintah. Adanya intervensi pemerintah dalam hubungan ketenagakerjaan menjadikan sifat hukum perburuhan menjadi ganda, yakni sifat hukum publik dan privat.
Atas dasar itulah perlindungan atas pembayaran upah kepada buruh menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat dilaksanakan dengan tiga cara, yaitu; secara Perdata, secara Pidana, dan secara Administrasi Negara.
Kejahatan terhadap pembayaran upah diatur dalam pasal 185 UU No. 13 Tahun 2003. Kejahatan yang dimaksud menurut UU ini adalah melanggar ketentuan pasal 90 ayat (2), yaitu Pengusaha dilarang membayar upah di bawah Upah Minimum. Upah Minimum berdasarkan Pasal 1 angka 1 Permenakertrans No. 7 Tahun 2013 tentang upah minimum, adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh Gubernur sebagai jaring pengaman.
Sedangkan Pelanggaran terhadap pembayaran upah menurut UU No. 13 Tahun 2003 diatur dalam Pasal 186 ayat (1) adalah bentuk pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 93 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu Pembayaran upah yang dilakukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh yang tidak bekerja, ketika pekerja/buruh dalam Kondisi tertentu.
Kondisi tertentu seperti yang dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat dilakukan penangguhan. Untuk memperoleh penangguhan pelaksanaan upah minimum sendiri, pengusaha harus terlebih dahulu mengajukan permohonan penangguhan dengan persyaratan sesuai ketentuan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kepmenakertrans) No. Kep.231/Men/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.
Unsur-unsur Pasal pidana perburuhan yang dapat dikenakan ke Perusahaan, dalam UU No. 13 Tahun 2003, yaitu:
“Pasal 185 ayat (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 90 ayat (1), Pasal 143 dan Pasal 160 ayat (4) dan ayat (7), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (lempat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (lempat ratus juta rupiah).”
Secara ringkas, berikut adalah penjelasan dari Pasal 90 ayat (1) jo Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Unsur yang ada di dalamnya ada dua yaitu (1) barang siapa melanggar dan (2) membayar upah lebih rendah dari upah minimum dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.00,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupah).
Adapun Korban/Pelaku adalah Pengusaha sebagai Pelaku dan buruh sebagai korban.
Terakhir, bukti-bukti yang dibutuhkan adalah (1) slip gaji terakhir atau print rekening koran untuk mengetahui gaji terakhir dikirim, (2) fotokopi buku tabungan, (3) kartu karyawan, dan (4) perjanjian kerja.
Dengan adanya ketentuan pidana dalam Undang-undang Ketenagakerjaan, maka sudah barang tentu pula pelanggaran terhadap ketentuan upah, yaitu dalam pasal 90 ayat (2) memberikan kewenangan kepada Pengadilan Umum untuk menyelesaikan perkara pembayaran upah. [b]