Teks dan Foto Luh De Suriyani
Gubernur Bali Made Mangku Pastika mengangkat buku berjudul Bali, The Island of Peace dengan tangan kanannya. “Anda lihat, jelas sekali bahwa Bali akan terus mengumadangkan sebagai pulau perdamaian dan keberagaman,” ujarnya dengan wajah bersemangat, di depan belasan warga atas nama Komponen Rakyat Bali (KRB), Kamis, di kantor Gubernur Bali, Denpasar.
“UU Pornografi sudah ditandatangani Presiden. Saya tidak bisa menolak karena secara yuridis saya pembantunya. Tapi UU ini percuma karena akan sulit dilaksanakan oleh semua daerah di Indonesia yang majemuk,” ujar Pastika. Ia sendiri, tetap pada sikap awal, sebagai Kepala Daerah di Bali tak bisa melaksanakan UU ini karena menyalahi asas sosialogis dan filosofis negara yang berasaskan Pancasila.
“Saya sebagai Kepala Daerah Bali menyatakan tak bisa melaksanakan UU bukan karena menolak pengaturan pornografi tapi tata pengaturannya yang salah dalam UU ini, tak sesuai dengan sosisologis dan filosofis NKRI,” ujarnya.
“Kita harus menjaga keberagaman di Indonesia. Jangan sampai rusak karena masalah rasa yang harus disamakan ketika menilai sesuatu sebagai pornografi. Bali juga bukan The Island of Pornography. Itu suatu yang jorok banget,” tambahnya.
Ia mencontohkan selama beberapa tahun di Papua dan akrab dengan orang memakai koteka, dan bertelanjang dada. “Tapi saya sama sekali tak pernah terangsang. Hal seperti ini tak bisa diatur dengan UU, karena menyangkut aspek sosiologis dan budaya,” kata mantan Kapolda Bali ini.
KRB memang sengaja bertandang ke kantor Gubernur hari itu untuk mendiskusikan kembali peran Bali dalam penolakan UU No 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Kamis ini, Mahkamah Konstitusi dijadwalkan membaca keputusan atas judicial review masyarakat atas isi UU Pornografi itu.
Setidaknya 11 perwakilan dari pemuda Hindu, organisasi mahasiswa, LSM perlindungan perempuan dan anak, LBH Bali, dan lainnya diterima Gubernur dalam diskusi selama 30 menit dalam suasana guyub. Hampir semua perwakilan KRB yang datang memberikan pendapatnya soal UU pornografi dan ancaman kebhinekaan di Indonesia.
Luh Putu Anggreni, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAID) Bali ini mengatakan ancaman pada kejahatan pornografi sudah termasuk di produk hukum lain seperti KUHP, UU Pers, UU Perlindungan Anak, dan lainnya. “Sementara di UU Pornografi ini, anak dan perempuan malah terancam dikriminalkan karena batasan pornografinya sangat luas dan bias,” katanya.
Dalam UU ini, Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Sementara Ngurah Karyadi menilai kelahiran UU Pornografi adalah kesalahan dalam penataan hukum yang tak memperhatikan konteks kenusantaraan. “Upaya penyeragaman melihat apa yang porno sesuai keyakinan tertentu merusak tatanan berbangsa,” katanya. Karyadi minta Pastika menegaskan Bali sebagai etalase keberagaman dan memberikan pemahaman pada Presiden soal kecenderungan pemaksaan kehendak di Indonesia. “Seolah-olah mayoritas bisa memaksakan kehendak pada minoritas. Ini pemahaman demokrasi yang salah,” kata Karyadi, salah satu pengurus Walhi dan PBHI Bali ini.
KRB dalam kesimpulannya menyatakan akan terus mengkampanyekan semangat kebhinekaan. “Kami tidak akan membuat kegiatan anarkis dan menjaga gerakan ini dalam aktivitas budaya yang damai,” kata I Gusti Ngurah Harta, salahs atu pendiri KRB. [b]
Mengundangkan sesuatu yang masuk ke dalam ranah perasaan personal selalu menjadi kontroversi sejak lama 🙂