Tak ada foto-foto Bali moi.
Sebaliknya, foto-foto yang dipamerkan justru menerabas batas antara foto dan seni lukis, antara karya seni dan sikap kritis, antara keindahan sekaligus keprihatinan.
Sebanyak 12 fotografer Bali menyampaikan anomali sejumlah peristiwa atau wacana di Bali tersebut melalui foto art yang direproduksi dalam aneka media alternatif. Sejumlah isu aktual yang direspon misalnya tentang sampah, media massa, parade budaya, dan kemiskinan.
Keunikan tampak dari sisi pemajangan karya yang terkesan tidak lazim layaknya pameran fotografi biasa. Pameran foto biasanya dilakukan dengan memajang foto di bingkai lalu menggantungnya di dinding. Namun, dalam pameran bertajuk “gom[BALI]sasi” ini beberapa fotografer mengombinasikan beragam media sebagai tempat pemajangan foto seperti meja, toples, dan benda-benda menarik lainnya.
I Putu Dudyk Arya Putra misalnya menggunakan mix media seperti meja kayu untuk mempresentasikan idenya yang berjudul “Menu Sehari-Hari.” Ia memotret aneka handphone yang dipasang dalam meja makan. Layaknya menu makanan, ia menyebut manusia kini adalah homo digital. “Ini menu sehari-hari kita saat ini, alat canggih dengan sejuta kegombalan,” katanya dalam pengantar karya.
Handphone menurutnya menu yg harus tersedia. Tindakan dan pikiran sudah ketergantungan pada handphone. Ruang sosial tergantikan dengan ruang virtual, efeknya kurang peka pada sesama.
Sementara fotografer lain, Rama Dinata merekam potret kemiskinan dalam kaleng kerupuk. Media ini menurutnya sebagai wadah estetis untuk memperlihatkan sudut terpinggirkan di era modernisasi. Ada sosok tuna wisma tidur dengan latar tembok berisi tulisan mural “Cintailah aku agar aku bisa hidup,” ungkap Rama. Ada lagi perempuan tuna wisma tidur tanpa baju dengan payudara kelihatan.
Karya lain Rama adalah foto kombinasi seni instalasi mengenai ekploitasi tindakan kriminalitas yang vulgar di media massa.
Setengah Telanjang
Sementara itu isu sampah plastik di Bali dipresesentasikan Agung Wijaya dengan foto montase, seorang perempuan model setengah telanjang tidur di atas tumpukan sampah plastik. Ia memberi judul karyanya Tenggelamnya Ibu Pertiwi. Ketika tanah sudah tertutup plastik yang sulit terurai.
Salah satu pojok unik lainnya adalah karya berjudul Lawar penyu oleh I Made Bayu Pramana. Di sebuah meja terhampar perangkat membuat lawar seperti pisau besar, talenan, dan baskom besar untuk mengaduk makanan tradisional Bali ini. Dalam baskom ada foto penyu. Juga ada belasan foto ukuran kecil lain tentang proses pembuatan lawar penyu di Bali untuk konsumsi atau ritual keagamaan.
Bayu berasumsi semakin dilindungi penyu, semakin besar peluang para saudagar mendapat rejeki dari perdagangan ilegal penyu. Di sisi lain, pelarangan konsumsi penyu juga mengancam eksistensi kegiatan nglawar di banjar-banjar.
Pameran ini diadakan oleh komunitas fotografer Photomorphosis, sebagian adalah alumni jurusan fotografi Institut Seni Indonesia Denpasar. Kelompok ini dimotori Made Roberto, Bayu Pramana, Dudyk Arya Putra, Putu kadiana, Yogi Antari, Agung Wijaya, Dewa Purnama Yasa, Rama Dinata, Agus Hendra Kusuma, Arie Budiyana, Agung Parama (Wahdunk), Agung Wijaya Utama (Gung Ama) dan Kadek Puriartha.
Mereka mencoba lepas dari kesan visual karya fotografi konvensional, yang hanya digantung di dinding dan hanya menampilkan eksotika alam atau manusia didalamnya saja.
Pameran ini dihelat pada 16 – 23 November di Lingkar Art Space, Jalan Gatot Subroto Timur no 207, Denpasar Timur (area Liquid Car Wash).
Selain pameran, mereka juga melakukan bedah karya 20 November lalu. Saat penutupan pameran 23 November nanti, akan ditampilkan pula beberapa karya film indie anak muda Bali bersama Rai Pendet dkk.[b]