Oleh I Gusti Agung Wirautama
Golput adalah singkatan dari Golongan Putih yaitu orang-orang yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam proses Pemilihan Umum, baik karena sengaja maupun karena penyebab lainnya. Kenapa Putih, bukan hitam? Karena putih identik dengan bersih, yaitu bersih dari segala noda-noda dalam proses pemilu tersebut. Ada berbagai macam penyebab orang berlaku Golput dan bila dibahas disini mungkin menjadi panjang di samping karena saya sendiri tidak mahir dalam hal ini.
Hasil dari pemilu berefek selama 5 tahun, di mana rakyat sebagai pemilih hanya dilibatkan dalam kurang lebih sebulan atau bahkan sebenarnya sekejap yaitu ketika proses pemilhan berlangsung. Rakyat kini semakin banyak yang golput, ditandai dengan meningkatnya angka golput di berbagai pemilihan kepala daerah.
Golput kini menjadi pro dan kontra. Ada banyak yang setuju golput karena sudah tidak percaya lagi dengan proses pemilu dan politik di negara ini. Banyak juga yang menentang tindakan golput. Bahkan sebuah kelompok keagamaan terbesar di negara ini mengeluarkan fatwa haram terhadap tindakan golput. Padahal sudah jelas tindakan golput adalah hak setiap warga negara.
Saya yakin rakyat tidak sebodoh itu untuk melakukan golput jika bukan karena ada suatu sebab. Penyebab inilah yang seharusnya dicari oleh mereka yang tidak setuju tindakan golput. Ibaratnya ketika anda menjual suatu barang dan pembeli enggan membeli barang yang anda jual, jangan salahkan pembeli, tapi lihatlah barang yang anda jual. Mungkin sudah busuk dan bahkan penuh ulat dan lintah yang siap menghisap darah para pembeli. Anda bisa saja berkata pilihlah buah yang terbaik di antara buah yang busuk dan tetap berusaha menjajakan barang anda yang sudah tidak layak konsumsi tersebut.
Seorang teman pernah berkata kepada saya, bahwa politik di negara ini akan bisa mengarah ke arah yang lebih baik jika satu generasi dipotong dan dimusnahkan, agar budaya buruk yang sudah kronis tidak terus-terusan menular ke generasi dibawahnya. Saya setuju dengan pendapat itu, tapi saya tidak yakin hal itu bisa dilaksanakan. Lihatlah di tahun 1999 ketika sebuah era yang bernama Orde Baru diruntuhkan, mungkin sebagian besar rakyat menaruh harapan agar sebuah generasi yang sudah usang dan bobrok bisa diganti dengan yang baru dan bersih. Tapi lihatlah, penyakit yang bernama KKN itu tetap saja ada bahkan dari lembaga yang paling kecil.
Lalu, di mana letak kesalahannya. Mirip seperti analogi penjual buah di atas, mari kita lihat kepada diri sendiri, jangan-jangan kesalahan dan penyebab semua ini ada pada diri kita, rakyat. Apa salah rakyat? Bagi saya, lebih tepat kita menyebut dengan kata keliru, bukan salah.
Kembali ke topik awal tentang golput, tentu saja penyebab golput yang sebenarnya adalah tingginya KKN. Rakyat menjadi kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dan menganggap apapun pilihan kita tidak akan berpengaruh dan bahkan tidak ada pengaruhnya sama sekali ketika pemilih melakukan golput alias tidak memilih.
KKN, inilah penyebabnya, KKN sudah menjadi hal yang lumrah dan rahasia umum. Jika dipersentasekan, mungkin 99% dari kita pernah melakukan perbuatan ini, hanya saja berbeda besarannya dan tidak semua masuk dalam tindakan yang melanggar hukum. Bahkan ada yang melakukannya secara tidak sadar. Bagaimana tidak, KKN sudah menjadi budaya di negeri ini. Lalu 1% lagi kemana, mereka mungkin adalah orang gila dan para rakyat miskin yang tidak punya apa-apa untuk di korupsi dan jelas dalam piramida mereka berada pada level paling bawah.
Lihatlah diri kita dan sekeliling kita, KKN terjadi di mana-mana. Ketika anak kita ingin masuk sekolah, kita mencari kolega kesana-kemari agar anak kita bisa diterima di sekolah negeri walaupun lewat jalur belakang. Sang kolega tersebut pun malu menolak karena dulu pernah meminta “bantuan” pada kita. Budaya tolong-menolong yang salah sasaran inilah penyebab awal lingkaran setan yang kita sebut KKN.
Sekarang ini adalah musim kampanye, jika ditanya jujur, mungkin bisa dihitung dengan jari mereka yang ikut berkonvoi dan mengikuti kampanye itu dengan tulus tanpa pamrih. Selainnya adalah mereka yang berharap balas jasa, mulai dari imbalan berupa kaos bergambar partai, imbalan makan nasi bungkus gratis, imbalan uang bensin, dan yang terakhir imbalan agar suatu saat mereka bisa diberikan pekerjaan oleh politikus yang duduk menjadi wakil rakyat. Contohnya adalah imbalan menjadi PNS atau tenaga honorer.
Saat si mujur yang telah menjadi PNS dan menduduki jabatan atas bantuan wakil rakyat tersebut, datanglah anak wakil rakyat diatas meminta tolong dan tentu saja proses lingkaran setan menjadi semakin melingkar dan sangat sulit menemukan ujungnya atau mencari siapa yang salah serta siapa yang memulai semua ini. KKN sudah mendarah daging, sangat kronis, hanya bisa disembuhkan dari titik yang paling bawah yaitu kita sendiri.
Marilah jalani hidup dengan lebih bersih, walaupun belum bening, setidaknya kurangilah tindakan yang salah itu, mulai dari diri sendiri, keluarga, lalu ke tingkat yang lebih besar. Dan di pemilu 2009 ini anda mau golput atau tidak, itu pilihan, dan tidak memilih mungkin juga merupakan sebuah pilihan.
Golput atau tidak dalam Pemilu 2009 ini menurut saya tidaklah terlalu penting, karena berapapun jumlah Golput, toh hasil Pemilu tetap akan disahkan. Menurut saya yang lebih penting adalah kita ‘Golput’ dalam artian tidak ikut dalam lingkaran setan di atas, dan jikalau pun kita merasa terlibat, mari berusaha untuk keluar, mulai dari diri sendiri. [b]
tulisan yang menarik bli.
one generation cutting yang “seharusnya” terjadi pada era reformasi, saya rasa tidak pernah terjadi karena ujung – ujungnya yang memegang tampuk pemerintahan ya tetap orang – orang itu saja. ujung – ujungnya pemerintahan tetap dikuasai oleh orang – orang yang siap menyembah dan menjilat kaki soeharto dan kroni – kroninya.
Betul, apapun hasil pemilu saya berharap tetap damai. agar pedagang sayur seperti saya bisa tetep berjualan dan bertahan hidup. memilih untuk tidak memilih adalah pilihan. hehehe
Jika saja anggota DPR dirampingkan menjadi 20 orang saja….sy mau nyontreng…supaya pengawasan lebih gampang…yg herannya knapa ya…sudah diterima kerja diDPR eh…rapat2 pake dibayar…*tiap 5 tahun DPR senayan buka lowongan…yah..untuk yg memilih nanti udah ada hasil jg gontok2kan ya…baek2 aja…tolong yg sudah jadi pikirkan…bagaimana caranya tiap lampu merah tidak ada yg meminta2…kasian kan…yah selamat bermilih ria deh…kalo kami cukup nonton dirumah didepan LCD ’32 inch…sambil makan nasi aking + sambel pete + ikan asin….wah MOANTAFSSS pake SSS ah
artikel yg bagus dan sangat berguna bli. saya izin copy untuk tugas kampus. 🙂