Sampah menjadi salah satu masalah krusial dan seperti tak ada ujungnya.
Produksi sampah yang terus meningkat dari rumah tangga, toko, hingga perusahaan skala besar membuat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) menjadi korban dari pola-pola kehidupan yang kurang bijak dalam mengelola sampah. Pola konsumtif yang terjadi hari ini dibarengi pula dengan sistem kapitalistik yang memproduksi barang-barang industri secara masal.
Meningkatnya kebutuhan manusia terhadap produk-produk tersebut menghasilkan lebih banyak sampah dalam kehidupan sehari-hari kita.
Menurut jenisnya, secara umum sampah dibedakan menjadi dua jenis yaitu sampah organik dan anorganik. Sampah organik termasuk mudah terurai karena sampah jenis ini dihasilkan langsung oleh alam. Apapun yang berasal dari alam maka akan mudah terurai di alam. Sementara itu, sampah jenis kedua merupakan sampah anorganik. Sampah ini termasuk lebih sulit diurai tanah karena kandungan di dalamnya. Sampah anorganik atau yang biasa dikenal dengan sebutan sampah plastik menjadi permasalahan krusial yang kita hadapi hari-hari ini.
Merujuk Mongabay (2019) produksi sampah di Bali mencapai angka 4.281 ton per harinya. Dari data tersebut hanya 48 persen sampah yang dikelola dan 52 persen sisanya tidak dikelola dengan baik. Data tersebut menunjukkan bahwa manajemen pengelolaan sampah di Bali belum mencapai pengelolaan maksimal dan signifikan.
Sedikitnya jumlah sampah yang dikelola berujung pada penumpukan sampah di TPA. Menumpuknya sampah di TPA diperparah dengan bercampurnya sampah jenis organik dan anorganik yang membuat proses penguraian menjadi kurang maksimal.
Timbulan di TPA sebenarnya membawa kerugian berlipat. Selain sampah yang tercampur dan tidak terurai dengan baik, sampah yang menumpuk juga cenderung bocor ke pantai. Dia menyebabkan kerusakan ekologi lebih buruk, ditambah lagi potensi kebakaran pada TPA yang mengancam lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar.
Sebanyak 50 persen sampah di Bali berasal dari tiga kabupaten yaitu Badung, Gianyar dan Denpasar. Dari sampah yang dibuang tersebut 70 persen di antaranya berakhir di TPA Suwung, Denpasar. Banyaknya kabupaten yang membuang sampahnya di TPA Suwung membuat timbunan sampah di Suwung membludak.
Kapasitas yang membludak tersebut juga berimbas pada larangan bagi Kabupaten Badung untuk membuang sampah mereka ke TPA Suwung. Larangan tersebut membuat pemangku kebijakan di Kabupaten Badung secara khusus menyiapkan strategi pengolahan sampah yang baru.
Metode Alternatif
Kabupaten Badung sebagai salah satu daerah yang menyumbang sampah ke TPA Suwung mulai menggalakkan kampanye olah sampah dari rumah masing-masing. Strategi tersebut dilakukan lantaran sarana dan prasarana dari Tempat Pembuangan Sementara (TPS) belum juga rampung. Sampah-sampah rumah tangga kemudian diolah di rumah dengan memisahkan sampah organik dan dijadikan kompos, kemudian sampah anorganik dipilah untuk dikumpulkan pada bank sampah di masing-masing banjar.
Meski demikian, belum ada penilaian pasti terhadap keberhasilan langkah tersebut. Sebab di beberapa desa, termasuk di desa yang saya tinggali di Desa Darmasaba, sampah rumah tangga belum dipilah dengan baik. Hanya dikumpulkan kemudian diambil petugas sampah keliling yang diinisiasi Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Kurangnya kesadaran dan edukasi terhadap warga juga menjadi faktor sampah tersebut tidak diolah dengan baik dan hanya ditampung di TPS/TPA.
Di sisi lain, upaya untuk mengelola sampah juga marak dikampanyekan oleh beberapa organisasi non-pemerintah (ornop) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Bali. Berbagai latar belakang LSM bergerak untuk menuntaskan permasalahan lingkungan terutama sampah di Bali.
Salah satu LSM yang berfokus pada permasalahan sampah plastik adalah Get Plastic Foundation. Sejak tahun 2017 Get Plastic Foundation resmi berbadan hukum dan menginisiasi gerakan tarik plastik atau yang kemudian disingkat dengan sebutan Get Plastic. Berbasis di Desa Sibangkaja, Abiansemal, Badung organisasi non-profit ini tumbuh dan melakukan kerja-kerja terkait pengelolaan dan pengolahan sampah plastik menjadi bahan bakar minyak (BBM).
Sebagai organisasi non-profit, Get Plastic memiliki visi meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melakukan pengolahan sampah plastik menjadi BBM dengan alat yang mereka kembangkan secara mandiri. Kerja-kerja yang mereka lakukan ditunjukkan melalui kegiatan pendampingan pada desa-desa di Indonesia termasuk Bali dan Jawa. Di Bali sendiri pendampingan dilakukan di daerah Singaraja dan Abiansemal.
Sementara di Jawa pendampingan dilakukan di Banyuwangi dan Pulau Pramuka, Jakarta. Pendampingan dan edukasi pada desa-desa dilakukan dengan tujuan awal mereka menarik sampah plastik mulai dari skala terkecil yaitu desa. Hal ini dilakukan karena penyelesaian masalah sampah plastik akan teratasi jika masyarakat dapat secara sadar memahami pengolahan sampah mereka sejak awal secara mandiri.
Get Plastic sendiri menginisiasi sebuah alat pengolahan sampah plastik yang mereka kembangkan secara mandiri, metode yang digunakan dalam pengolahan sampah plastik ini adalah metode pirolisis. Metode pirolisis pertama kali ditemukan di Jepang dan dijadikan metode untuk melakukan pengolahan sampah plastik yang sulit terurai. Pirolisis adalah metode dekomposisi bahan organik yang terdapat pada sampah plastik melalui proses pemanasan tanpa atau sedikit oksigen dan pereaksi kimia lainnya.
Proses dekomposisi tersebut yang nantinya akan menghasilkan bahan bakar solar dan bensin. Get Plastic sendiri mengembangkan alat yang sebelumnya dirangkai menggunakan bahan bekas. Namun untuk mewujudkan misi lebih luas alat kemudian dikembangkan dengan menggunakan bahan stainless steel untuk mendukung daya alat yang lebih kuat dan tahan lama. Komponen yang digunakan dalam alat tersebut terdiri dari komponen reaktor, kondensor, tabung penyimpanan minyak, serta penyaring gas dengan teknik hidrokarbon.
Menginisiasi Tur Berbahan Bakar Sampah Plastik
Pada tahun 2018, Dimas Bagus Wijanarko salah satu Founder Get Plastic menginisiasi sebuah perjalanan ramah lingkungan sejauh 1.200 km. Perjalanan ramah lingkungan (sustainable tour) tersebut dilakukan dengan mengendarai motor Vespa yang sepenuhnya diisi menggunakan bahan bakar dari hasil olahan sampah plastik.
Perjalanan dari Jakarta-Bali tersebut tercatat dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai perjalanan terjauh dengan Vespa dan menggunakan bahan bakar dari olahan sampah plastik. Perjalanan ramah lingkungan tersebut menjadi salah satu bukti bahwa sampah plastik yang susah diurai nyatanya mampu diubah menjadi bahan bakar solar dan bensin. Selain itu, tentu saja tujuan utama untuk mengatasi permasalahan sampah plastik mampu dilakukan dengan metode pirolisis tersebut.
Hingga kini perjalanan ramah lingkungan masih terus diupayakan untuk memberi informasi dan membangun kesadaran kepada khalayak luas bahwasanya sampah plastik masih dapat diolah menjadi energi baru seperti bahan bakar minyak (BBM) tersebut. Perjalanan lanjutan akan dilangsukan pada tanggal 26-30 November dari Bali-Jakarta. Perjalanan ini menjadi salah satu kegiatan uji kelayakan bahan bakar pada mobil yang akan dikendarai dari Bali-Jakarta. Perjalanan ini menjadi salah satu test drive sebelum teman-teman Get Plastic melanjutkan perjalanan ramah lingkungan (sustainable tour) di tahun 2021 mendatang.
Kerja-kerja yang diupayakan Get Plastic juga menitip harapan terkait penyelesaian permasalahan sampah plastik sesegera mungkin, sebab permasalahan sampah yang tak ada ujungnya hanya akan mewariskan beban dan dampak buruk ekologi bagi generasi mendatang. Sejalan dengan taglinenya No Plastic Goes to Waste, Get Plastic memberi harapan baru bahwa tak ada satu sampah plastik pun yang akan terbuang sia-sia. [b]
Comments 1