Kita selama ini telah melewati hari raya galungan setiap enam bulan sekali. Kalimat galungan sebagai tanda kemenangan darma melawat adharma juga kita warisi dari sejak dulu. Namun, kemengan dharma yang seperti apa dimaksud? Itu, perlu kita dalam lebih jauh lagi. Pada kesempatan ini, saya tidak ingin membahas itu lebih jauh agar tidak menimbulkan suatu pradigma yang tidak diinginkan.
Galungan merupakan suatu hari raya yang dipergunakan untuk memperingati kemenangan dharma melawan Adharma. Galungan yang yang datang setiap enam bulan sekali yakni pada hari Buddha Kliwon Wuku Dungulan [Rabu Kliwon Wuku Dungulan].
Jika kita baca mitologinya bahwa dulu konon ada seorang raja yang amat murka bernama Maya Denawa. Maya Denawa ini merupakan raja yang sangat sakti dan tidak ada orang yang mampu menadinginya. Beliau juga yang memerintahkan masyarakat agar tidak melakukan sebuah ritual atau persembahan kepada para dewa atau Bhathara.
Akan tetapi, masyarakat diperintahkan agar melayani dirinya dan hanya boleh menyembah kepada dirinya. Pada suatu ketika para lelangit mengetahui hal tersebut, para lelangit mengutus Bhathara Indra untuk menyerang raja yang murka tersebut.
Ketika diketahui seperti itu, pasukan Bhathara Indra langsung menyerang Maya Danawa. Karena kesaktian yang dimilikinya maka amat sulit menyerang raja yang murka tersebut. Dan akhirnya pun Maya Danawa ditaklukan oleh Bhathara Indra dengan melpaskan anak panahnya dan mengenai dada sebelah kanan.
Kira-kira begitu mitologi yang berkembang selama ini di Bali. Dari mitologi tersebut bahwa hari raya galungan dan acara ke–agamaan pernah berhenti. Karena masyarakat diperintahkan untuk menyembah Maya Danawa. Akan tetapi, para raja-raja tidak lanjut usia karena setiap [tiganing Dungulan] tidak membuat uapacara byakala, menyimpang dari tata terdahulu. Namun, tata terdahulu seperti apa yang dimaksud?
Pulasari, 2010:005, menjelaskan bahwa pada zaman dahulu ada seorang raja yang melakukan tapa berata di Pura Dalem Kadewatan. Meminta restu dan arahan kepada Ida Bhatari Hyang Nini [Durga]. Raja yang melakukan yoga samadi adalah Sri Jaya Kasunu.
Pada akhirnya Bhathari Hyang Nini meberi sebuah sabda kepada Sri Jaya Kasunu untuk melakukan sebuah ritual upacara ke–agamaan dan memperbaiki sebuah tempa suci (kahyangan), kabuyutan, dan tempat suci lainnya. Selain itu, Sri Jaya Kasunu diperintahkan oleh Bhathari Hyang Nini untuk memelihara seluruh peraturan [sasana], wajib memelihara kahyangan dan kubuyutan, serta tempat-tempat pemujaan.
Serta selalu melakukan sebuah ritual pemujaan dan melakuakan sebuah yoga samadi memujan Tuhan Yang Maha Esa. Dari pernyataan diatas bahwa kita selalu dituntut untuk melakukan sebuah ritual pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agar kita semua mendapatkan sebuah anugrah yang patut kita dapatkan serta mendapatkan tuntunanya. Selain itu, kita mendapatkan sebuah perlindungan dari hyang kuasa.
Ritual Perayaan Galungan
Dalam perayaan hari raya galungan tidak terlepas dari adanya sebuah ritual pemujaan serta sarana yang patut untuk kita persiapkan untuk menyongsong perayaan hari raya galungan. Sebelum hari raya galungan kita tengah dihadapkan sebuah ritual –ritual yang patut untuk dilaksanakan. Ritual–ritual yang patut kita laksanakan adalah sebagai berikut:
a. Panyekeban
Panyekeban berawal dari kata “sekeb”. Yang mana kata sekeb melalui proses nasalisasi yakni huruf S akan luluh dan digantikan dengan huruf: ny. Katawalnya sekeb menjadi nyekeb. Nyekeb memiliki arti memasakan. Semisal kata nyekeb biu. Bearati memasakan pisan. (Anadndakusuma, 1986:174)
Selain melaui proses nasal, kata sekeb juga melaui proses afiksasi yakni komplikasi yaitu penambahan awalan dan akhiran. Menjadilah sebuah kata Panyekeban. Panyekeban melakuakn sebuah timdakan untuk memasakan benda yang nantinya kita gunakan untuk melakukan sebuah ritual galungan ataupun ritual lainnnya.
Penyekeban dalam teks sundarigama dijelaskan sebagai berikut:
[…Dungulan R?dité paing, tumurun Sang Hyang Tiga Wisésa marupa kala, nga, Sang Bhuta Galungan, mar?p anadah anginum maring madyapada, matangnia Sang Wiku mwang Sang Sujan, dén pratyaksa juga pas?kung kumekas ikang adnyan nirmala, lamakana tan kasurupan déning Sang Bhuta Galungan, samangkana maka ngaraning pany?k?ban déning loka…] (Dhaksa Dharmita, 2005:146)
[…Dungulan Minggu Pahing. Turun Sang Hyang Tiga Sakti berupa kala yang bernaa Sang Bhuta Galungan, berhadapan memakan dan minum di skala/dunia, oleh karena itu, untuk orang-oramg suci dan bijaksana, agar berhati-hati dan selalu memikirkan hal-hal yang bersifat kesucian secara nirmala. Jangan sampai hilang kendali dikarenakan adanya Sang Bhuta Galungan, pada saat ini di Dunia bernama Panyekeban…]
Melihat dari kutiban diatas bahwa sejatinya pada saat Hari Minggu kita melakukan sebuah upacara penyekaban. Penyekeban dalam artian bahwa apa jenis sarana yang akan digunakan pada saat galungan bernar adanya untuk disekeb terlebih dahulu. Namun, perlu saya garis bawahi bahwa yang disekeb itu berupa, pisang, dan tape. Selain sarana yang digunakan perlu juga mengendalikan hawa nafsu serta pola pikir yang negatif.
b. Penyajahan
Dalam sundarigama yang berbunyi:
…wwang angamong yoga samadhi maka pituhunia sadgana lawan bhathara yata sinambat panyajaan dening loka…
[..anak yang melaksanakan yoga samadhi dengan amat khusuk dengan bhathara maka beliau dipanggil panyajahan di dunia…]
Bahwa pada saat hari senin pon dinamakan penyajahan. Penyajahan dalam artian menyiapakan sarana apa yang patut untuk dipergunakan pada saat upacara galuangan yang jatuh pada saat hari Rabu Kliwon nantinya. Pada teks ini juga dijelaskan bahwa orang yang melakuakn tapa yoga samadhi yang khusuk beliau diberikan nama penyajahan.
c. Penampahan
Penampahan yang jatuh pada hari Selasa Wage. Biasanya pada hari penampahan ini kebanyakan orang sudah mempersiapkan sarana mulai dari penjor, banten, dan lain sebagainya. Bahkan ada masyarakat yang menyembelih babi yang nantinya dipergunakan untuk melakukan sebuah ritual pemujaan.
Dalam teks sundarigama dijelaskan bahwa pada saat hari Selasa Wage Wuku Dulungan bernama penambahan. Pada saat ini dilakukan sebuah ritual menyomia Bhuta Galungan. Dilakukan di Sanggar kemulan dan penyucian di Desa-desa. Dengan melakukan Bhuta Yajna di perempatan desa lengkap dengan sarana yajnya, nista madya utama, dan benar adanya dipuput oleh Sang Pandhita Siwa Bhuda.
Dalam kutipan tersebut bahwa pada saat penambahan galungan kita dituntu untuk melakukan sebuah ritual menyomia atau menetralisi aura serta ganguan yang di sebabkan oleh Bhuta Galungan.
Dhaksa Dharmita, 2005:146, Ketika penampahan data tidak terlepas dari adanya penjor. Penjor yang sejatinya dipasang pada saat penampahan galungan yang bertepat disebelah kanan pintu masuk rumas. Dalam pemasangan penjor harus sesuai dengan apa yang telah ada sejak dulu. Yang terpenting dalam penjor adalah makna yang terkandung didalamnya bukan hanya sekedar pajangan atau pameran akan tetapi, dalam penjor menganduk makna-makna yang patut kita telaah kembali.
d. Galungan
Galungan adalah acara puncuk yang telah kita lakukan secara bersama-sama. Pada saat upacara galungan dilakukan sebuah persembahyanagn kepura-pura. Dimana saat upacara galungan ini, dilakukan sebuah persembahan terhadap leluhur serta menghormati kemenangan darma melawan adharma.
Dhaksa Dharmita, 2005:147, menejelaskan bahwa pada saat upacara galungan dilakukan sebuah persembahyangan dengan memusatkan pikiran kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan dilakuakn sebuah ritual-ritual kepada semua dewa yang berstana di sanggar kemulan, paturuwan, natar, lumbung, dapur, dengen, tumbal, tugu, pangulun setra, pangulun desa, pangulun sawah, hutan, Gunung, laut, semua perabotan rumah, semuanya sama di upacrai, disucikan di sanggar.
Melihat dari kutipan diatas bahwa pada saat galungan benar untuk melakukan sebuah ritual persembahan serta pemyucian secara lahir dan bantin. Dengan menggunakan sarana-sarana yang ada. Dan melakukan pemusatan pikiran kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Galungan di Tengah Covid-19
Kita telah terbelengu dalam keterpurukan Covid-19 yang melanda dunia sudah sampai satu tahun lamanya. Dengan adanya Covid-19 ini seakan-akan merubah pola pikiri, pola tinggkah laku, serta kebiasaan yang telah terbangun dari sejak dulu.
Dengan adanya Covid-19 ini kita dituntut selalu waspada akan mara bahaya yang akan mendatangi diri kita. Selain itu, kita juga tengah dihadpkan dengan adanya persoalan yang dapat memberatkan diri kita. Salah satunya adalah hari raya galungan. Galungan yang sejatinya dialaksanakan secara semarak. Mendadak menjadi sunyi karena keterlibatannya sangat sedikit.
Selain galunan, piodalan pun sangat terbatas sehingga piodalan yang biasanya ramai ketika datanya covid-19 mendadak menjadi sepi. Untuk menyikapi hal tersebut kita seharusnya senantiasa untuk ikut ambil andil didalamnya dengan melakukan kegiatan yang dapat menambahkan imun tubuh kita.
Bertepatan dengan hari raya galungan yang kesekian kalinya covid-19 pun belum berakhir. Maka dari itu, mari kita sikapi dengan bijak perayaan galungan yang bertepatan dengan Covid-19 yang masih melanglang buana saat ini.
Kita jadikan perayaan galungan ini sebagai momentum pelaksaan pengendalian diri serta menjukan rasa hormat kepada para dewa, leluhur, serta Sang catur Pitara. Jangan jadikan Covid-19 ini sebagai pembatas dalam melakukan sesuatu hal. Semoga dengan adanaya hari raya galungan ini covid-19 dapat dengan cepat hilang dari dunia dan kita semua dapat melakukan sesuatu hal dengan sedia kala.
Dengan tulisan ini, saya mengucapkan selamat hari raya galungan. Semoga kita semua senantiyasa dalam lindunganya. Dan dengan perayaan galungan ini mari kita jadikan sebagai momentum untuk menyikapi sesuatau hal dengan baik dan bijak. Serta jadikan perayaan ini sebagai penetralisir dari ganguan yang bersifat negatif atau diluar nalar kita. Dengan senang hati mari kita selalu memohon perlindungan kepada beliau yang berada di atas khusunya Ida Sang Hyang Paramakawi.
Referensi
Anandakusuma, Sri Reshi. 1986. Kamus Bahasa Bali: Bali–Indonesi, Indonesi–Bali. Denpasar. Cv. KayuMas Agung.
Dhaksa Dharmita, Ida Pandita Mpu Siwa Budha. 2005. Bhisama Bhatara: Ajeg Hindu Bali Rajya. Denpasar. Pustaka Bali Post.
Pulasari, Jro Mangku.2010. Babad Raja-Raja Bali: terjemahan Bahasa Indonesia dan Teks Bahasa Bali. Surabaya. Paramita.