Oleh Gandita Rai Anom
Enam bulan terakhir Bali Post rajin sekali memuat berita seputar Pemprov Bali.
Setiap hari ada saja berita Pemerintah Provinsi (Pemprov) yang dimuat. Entah Gubernurnya, program pembangunannya, para pembantu Gubernur apalagi permasalahan-permasalahan pembangunan dan sebagainya. Pendek kata, tiada hari tanpa berita Pemprov di Bali Post. Saking antusiasnya pengelola Bali Post, halaman muat berita Pemprov itu tidak lagi melulu di halaman dalam, seperti sebelum-sebelumnya. Berita-berita itu sepertinya sudah naik kelas sehingga dimuat di halaman satu.
Namun, berita tersebut sering kali tanpa konfirmasi. Kapasitas narasumbernya pun tidak layak masuk halaman satu.
Jumlah berita Bali Post di halaman satu itu sering kali tak hanya satu, tetapi bisa dua bahkan tiga artikel. Teknik penyajiannya sengaja dibuat sangat atraktif dengan tujuan menarik minat pembaca. Kesengajaan penyajian (setting) tersebut terlihat dari foto-foto yang berwarna penuh (full colour), halaman dasarnya juga berwarna (diroaster) dan grafis-grafisnya yang khusus. Lay outnya tidak seperti biasa. Belum lagi karikaturnya. Luar biasa. Sangat kreatif dan inovatif sehingga terkesan sangat impresif.
Sajian berita Bali Post yang tidak biasa itu, dan dimuat secara terus menerus, pada awalnya pasti berhasil menarik perhatian dan menyebarkan keyakinan. Namun, karena kandungan beritanya monoton, saya pun berpikir dan bertanya-tanya. Mengapa Bali Post melakukan itu? Mengapa berita-berita Pemprov hampir tiap hari masuk halaman satu walaupun materinya terkesan dicari-cari, kapasitas narasumber, prinsip keseimbangan dan prinsip keberimbangan (cover bothside)-nya juga tidak terpenuhi?
Pertanyaan berikutnya, mengapa suguhan berita-berita itu baru terjadi enam bulan terakhir?
Titik Picu
Setelah ditelusuri secara sangat sederhana, saya mendapatkan bahwa titik picu pemberitaan yang penyajiannya berbau tendensius bahkan provokatif itu berawal dari kunjungan kerja Gubernur Bali Made Mangku Pastika ke Kabupaten Klungkung Minggu, 18 September 2011. Saat itu Gubernur ke Klungkungan untuk melihat kondisi krama Bali korban bentrok antara Desa Kemoning dengan Budaga yang dirawat di rumah sakit. Usai melihat kondisi para korban, Gubernur diwawancarai sejumlah wartawan mengenai upaya penyelesaian kasus pakraman itu.
Pada saat wawancara berlangsung, wartawan Bali Post Biro Klungkung tidak ada di lokasi. Namun, keesokan harinya, Senin, 19 September 2012, muncul berita utama (headline) di halaman satu Bali Post dengan judul besar dan tebal: Pascabentrok Kemoning – Budaga: (dicetak miring dan berwarna merah di baris atas, Gubernur: Bubarkan Saja Desa Pakraman (dicetak besar dan tebal di baris bawahnya).
Judul tersebut sangat kontradiktif dan provokatif dibandingkan fakta di lapangan. Tidak ada sama sekali pernyataan Gubernur Pastika seperti judul berita itu yang mengesankan bahwa judul itu adalah dikutip langsung oleh wartawan Bali Post dari pernyataan verbal Gubernur Bali.
Merasa mengeluarkan pernyataan demikian, Gubernur mengajukan somasi kepada Bali Post. Apalagi pemuatan berita seperti itu sangat menyinggung masyarakat Bali.
Dalam somasinya, Gubernur meminta agar Bali Post meminta maaf atas berita yang tidak sesuai fakta itu. Apalagi, hal yang sama dilakukan kembali oleh Bali Post berkenaan dengan pernyataan Gubernur pada Hari Senin, 19 September 2011, pukul 10.00 Wita. Pernyataan itu disampaikan dalam Sidang Paripurna ke-4 tentang Jawaban Gubernur Atas Pandangan Umum Fraksi-fraksi terhadap Raperda tentang Perubahan APBD Tahun 2011 dan Raperda Kepariwisataan Budaya Bali di Ruang Sidang Utama Gedung DPRD Bali.
Dalam sidang tersebut Anggota Fraksi Golkar DPRD Bali Wayan Gunawan mengajukan interupsi menanyakan kasus Kemoning – Budaga dan berita Bali Post. Oleh karena belum membaca, Gubernur menjawab apa adanya. ”Saya belum baca koran itu. Jadi saya mohon maaf karena belum baca,” kata Gubernur waktu itu. Untuk memastikan pernyataan Gubernur, silakan lihat menu Video Galery pada website www.baliprov.go.id.
Pernyataan Gubernur itu, keesokan harinya, ditulis besar-besar oleh Bali Post. Koran ini menulis bahwa Gubernur mengakui pernyataan sebagaimana judul berita Bali Post sehari sebelumnya dan karenanya meminta maaf. Padahal, fakta sesungguhnya sama sekali tidak demikian. Berita itu seratus persen opini sepihak Bali Post yang dipaksakan disajikan kepada masyarakat.
Tak hanya Bali Post. Media anggota Kelompok Media Bali Post yakni Bali TV juga ikut-ikutan melakukan hal serupa: menyiarkan dialog interaktif dengan topik Bubarkan Desa Pakraman pada hari Senin, 19 September 2011 sore. Presenter dialog dengan sangat jelas dan tanpa ragu menyebutkan bahwa Gubernur Bali meminta maaf atas pernyataan yang sebelumnya dimuat Bali Post.
Semua berita itu tanpa konfirmasi seikitpun pada Humas Provinsi Bali!
Tidak ingin penyebaran berita bohong dilanjutkan Kelompok Media Bali Post (KMB), Gubernur mengajukan somasi. Isi somasi adalah meminta KMB menghentikan penyebarluasan berita bohong dan agar memuat permintaan maaf kepada Gubernur selama tujuh hari berturut-turut di sejumlah media cetak di Bali dan KMB sendiri. Jawaban Bali Post kemudian adalah, agar Gubernur menggunakan hak jawab. Padahal, hak jawab itu sudah disampaikan dalam sidang DPRD Bali, demikian asumsi Gubernur.
Dari sinilah perseteruan terbuka. Bali Post bersikukuh dengan sikap bahwa Gubernur belum menyampaikan Hak Jawab. Sementara Gubernur menegaskan bahwa Hak Jawab sudah disampaikan. Di sisi lain, karena itu merupakan hak, tidak ada kewajiban bagi Gubernur untuk menggunakan atau tidak. Media diharapkan melakukan auto kritik atas pemberitaan yang salah yang telah dilakukannya.
Mendapati sikap Gubernur seperti itu, KMB seperti naik pitam. Pemilik KMB, Anak Bagus Satria Naradha melawan dan tak mau disebut bersalah. Dengan penuh arogansi dan berpegang pada Undang-Undang Kemerdekaan Pers, setiap hari Bali Post memuat berita yang memojokkan dan menjelek-jelekkan Pemprov Bali pada umumnya dan Gubenrur MP pada khususnya. Bali Post benar-benar menunjukkan diri sebagai media terbesar di Bali yang mampu menebar provokasi kepada seluruh pembacanya di seluruh Bali dalam sekejap.
Tebar provokasi pertama adalah Gubernur berulang kali diberitakan mengancam kemerdekaan pers. Karenanya, Bali Post berhak melakukan apa saja untuk membela kemerdekaan pers itu. Berita-berita propaganda sampai dengan penggalangan dukungan publik mengatasnamakan kemerdekaan pers dilakukan. Semua program Bali Mandara dikuliti setiap hari. Di halaman satu dan hampir di setiap halaman dalam.
Bali Post juga tak malu-malu mengajak publik melakukan persembahyangan bersama melibatkan orang yang tidak tahu sama sekali duduk persoalan sebenarnya ke pura Kahyangan Jagat di Bali. Doa mereka, agar kemerdekaan pers tetap tegak.
Setelah berjalan beberapa hari, dan tidak tampak niat baik Bali Post memenuhi somasi Gubernur, Gubernur MP pun meneruskan somasi menjadi proses hukum. Sikap Dewan Pers yang tidak secara tegas menyalahkan Bali Post juga menjadi penyebab Bali Post digugat secara pidana maupun perdata. Dengan proses hukum ini, Gubernur berharap ada solusi damai karena ada masa mediasi selama 40 hari.
Oleh karena selama proses mediasi dalam artian menyelesaikan masalah secara damai, Bali Post dengan Satria Naradha sebagai pemilik modal sekaligus pengarah opini tidak sekalipun menghadiri mediasi, maka Gubernur meneruskan kepada proses hukum. Sementara pada saat yang sama Satria dengan Bali Postnya kian rancak menabuh genderang perang perusakan reputasi Gubernur Pastika berikut program Bali Mandaranya.
Semua program Bali Mandara dicari kelemahan dan dikuliti kemudian dimuat. Ada atau tidak ada konfirmasi sepertinya tidak penting. Tampak jelas dari sajian Bali Post bahwa Satria tak peduli lagi dengan segala aturan jurnalistik dalam pemuatan berita.
Titik Balik
Berhari-hari dipaksa menerima berita yang tidak komprehensif membuat masyarakat penikmat informasi bertanya-tanya. Kerinduan akan Bali Post yang baik dan benar semakin besar. Namun setiap kali kerinduan itu datang dan jawaban Bali Post monoton berupa keangkuhan sajian berita-berita menjelek-jelekkan Pemprov Bali, muncul kesadaran masyarakat kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres di balik berita itu. Pesan di balik berita yang tidak informatif, tidak mendidik dan tidak profesional pun terbaca.
Apalagi setelah tiga kali persidangan mediasi di Pengadilan Negeri Denpasar di mana Gubernur Pastika selalu hadir sedangkan Satria tak sekalipun hadir. Kemuakan dan kejenuhan membuncah di masyarakat. Mereka pun mengekspresikannya dalam bentuk titik balik. Dari semula percaya pada Bali Post, kini mereka berbalik percaya dan simpati pada Pastika. Pastika adalah korban. Pastika adalah yang teraniaya.
Itu terungkap jelas dalam acara coffee morning Gubernur dengan pimpinan partai politik, akademisi, pengamat politik, dan pengamat ekonomi di Gedung Kertha Sabha awal Februari 2012 lalu. Semua yang hadir saat itu menyatakan kecewa atas pemberitaan Bali Post yang tidak sesuai fakta. Pernyataan-pernyataan diplintir. “Isi berita tidak nyambung dengan judul,” kata Ketua Partai Demokrat Made Mudarta.
Oleh karena demikian keadaannya, mereka mendukung proses hukum yang dipilih Gubernur diteruskan. Tidak perlu Gubernur menarik apalagi mencabut gugatan kecuali Satria benar-benar mau berdamai sesuai syarat Pastika.
Terbaca pula dalam forum itu niat tidak baik yang sengaja diatur sedemikian rupa oleh Satria Naradha di balik berita-berita tendensius Bali Post. Satria bahkan dituding dengan sengaja melakukan apa yang disebut character assasination (pembunuhan karakter) terhadap Pastika. Pemilik Bali Post tersebut mencoreng nama baik dan harga diri Pastika sebagai Gubernur Bali. Satria sengaja mencari-cari kejelekan dan kelemahan Pasyika. Dia sengaja melebih-lebihkan atau memanipulasi fakta untuk memberikan citra yang tidak benar tentang Pastika di mata publik. Tujuan Satria adalah menekan Pastika agar mencabut gugatannya.
Dengan usaha-usaha seperti itu, Satria berharap akan terjadi pengadilan massa atau pengadilan media massa (sepihak) terhadap Pastika. Sebab, secara teoritis, dalam model character assasination, KMB sengaja memuat dan menyiarkan berita bahwa MP telah melakukan kejahatan atau pelanggaran norma sosial tanpa melakukan konfirmasi.
Akibat yang diharapkan rakyat memojokkan dan merusak reputasi Pastika. Dengan demikian, dia terhambat karirnya serta akibat yang lebih besar lainnya.
Apakah usaha-usaha itu berhasil? Ternyata gagal. Setelah enam bulan Bali Post membangun opini negatif mengenai Pastika, opini malah berbalik. Bali Post kini malah dinilai telah melakukan ‘penganiayaan’ terhadap Pastika.
Lebih dari itu Bali Post bahkan telah dicitrakan sebagai media pembuat berita bohong, tanpa konfirmasi, melanggar kode etik jurnalistik, serta melanggar ketentuan Dewan Pers di mana Satria merupakan anggota Dewan Pers itu sendiri. Sikap Pastika meneruskan proses hukum pun akhirnya kian mendapat dukungan luas masyarakat.
Dukungan agar Gubernur meneruskan proses hukum juga muncul dalam seminar peluncuran buku kekerasan dalam dunia pers yang dilaksanakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar di Hotel Nikki Denpasar, Rabu, 29 Februari 2012. Dalam forum tersebut, peserta meminta agar pemilik modal, pengelola dan pengasuh media massa melakukan autokritik.
Bercermin dari kasus Pastika dengan Satria di mana Satria menuding kekuasaan telah melakukan ancaman terhadap kemerdekaan pers, peserta malah balik mempertanyakan, “Tidakkah pers itu sendiri yang telah melakukan tindakan mengancam kemerdekaan pers dengan menyuguhkan informasi yang melanggar kaidah-kadiah jurnalistik yang dibuatnya sendiri karena kepentingan pemilik modal?” kata mereka.
Oleh karenanya, simpati kian mengalir kepada Pastika. Sikap berani Pastika menjaga konflik dengan Satria dinilai bagus oleh peserta. Masyarakat Bali bisa memetik pelajaran banyak untuk menilai kinerja pers. Dengan kasus ini masyarakat menjadi tahu banyak hal.
Pertama, “Ooo begini toh caranya pemimpin Bali menyelesaikan konflik. Bukan dengan kekerasan, tetapi melalui jalur hukum yang terhormat.” Kedua, masyarakat menjadi terbuka wawasan dan daya kritisnya. Sikap mereka yang menganggap semua berita pers itu benar, ternyata tidak tepat. Ketiga, masyarakat juga menjadi sadar, ada problema serius dalam tubuh internal Bali Post sehingga banyak karyawan, termasuk wartawannya, keluar dari lembaga itu. Ketika terjadi konflik antara Pastika dengan Satria mereka bersikap melawan Bali Post, bukannya mendukung.
Para mantan karyawan Bali Post itu bahkan kini membentuk wadah Aliansi Media Bali. Mereka menjadi penggerak sejumlah media dengan komitmen menegakkan kadiah-kaidah jurnalistik yang baik dan benar. Kelima, masyarakat juga menjadi sadar dan tahu bahwa banyak pelanggaran kaidah jurnalistik dilakukan Bali Post. Pelanggaran ini terutama terlalu mendewakan diri sebagai media industri yang terlalu tunduk pada pemilik modal. Akibatnya, tidak ada pembatasan antara berita advertorial dengan berita karya jurnalistik murni.
Demikianlah, usaha-usaha pembunuhan karakter Gubernur Bali MP dengan nyata telah dilakukan oleh Bali Post selama berbulan-bulan secara terus menerus. Syukurnya, usaha-usaha itu kini menunjukkan titik balik alias gagal. Harapan Bali Post agar masyarakat terprovokasi tidak terpenuhi.
Fakta di lapangan berbicara lain. Dalam tempo enam bulan masyarakat Bali menunjukkan kematangannya. Dengan bekal kearifan lokal dan keluguan yang diturunkan para leluhurnya, masyarakat memilih dan memilah mana yang baik dan patut diterima, kemudian disikapi dan dibela dan mana yang tidak baik dan harus dibuang.
Itulah ketahanan mental masyarakat yang lahir dari ilmu pengetahuan yang komprehensif dan budaya demokrasi yang panjang disertai praktektika etika yang telah teruji. Salut untuk masyarakat Bali dan saatnya kedewasaan dan kematangan publik Bali ini dikelola dengan baik dan benar oleh para pemimpin di daerah ini.
Satyam eva jayate. Bali dwipa jaya. [b]
Penulis adalah staf Bagian Hubungan Masyarakat Pemprov Bali.
Apakah penyelidikan lembaga independen terhadap media ala interogasi yang dilakukan terhadap Rupert Murdoch di Inggris harus terjadi di Bali juga?
dalam hal ini saya bersimpati dan mendukung MP, kepercayaan saya terhadap media BP menurun, bahkan saya kyknya sulit percaya dgn berita2 yg ada di BP skg.
saya heran, kok ada media dengan embel embel pake nama “bali” begitu amoral yah?
Jika orang non pers menghambat kemerdekaan pers, maka Dewan Pers yang memediasi. Bagaimana jika pimpinan media yang mendikte wartawannya? Apakah itu termasuk menghambat kemerdekaan pers? Siapa yang akan memediasi, karena Dewan Pers kelihatannya tidak independen? Kasihan wartawannya, saya yakin hati nuraninya tidak bermaksud memecah Bali dengan isu2 “politik”.
Kondisi ini harus diperbaiki. Semua pihak harus menyadari tugas dan tanggung jawb masing-masing.
harus ada sanksi sosial atas tindakan yg tidak berabad dan tidak bermoral, bukan hanya didiamkan yg bisa diartikan menyetujui tindakan amoral macam begitu
sebagai orang awam, saya sudah beberapa kali melihat isi media khususnya di bali , saya sebut saja BP,atau saya terang terangan sebut Bali Post, sangat subjektif dalam pemberitaan.
di Pilgub sebelumnya, yang jadi bulan bulanan dan dihajar habis seorang calon bernama Winasa. Saya bukan pendukung winasa, tapi dulu melihat pemberitaan satu pihak, jauh dari sebuah media yang katanya pengemban dan pengamal pancasila..
Pancasila ? whatt ?
sekarang giliran pak mangku yang disodok terus, saya tidak tahu, besok atau lusa siapa lagi ..
please, anda dibaca ribuan orang..
mohon sedikit netral dalam pemberitaan..
dan halaman olahraga anda, sangat sangat asli merupakan terjemahan , maaf, kadang terjemahannya pun asal asalan.Sama sekali tidak melihat esensi berita..
saya penggemar bola pun sering merasa terusik dengan jurnalisme “matah” anda..
sangat setuju,,,,,lbh baik media yg namanya Bali Post dihapus saja…tidak netral dlm pemberitaan..
opini dan ulasan yang menarik..tapi mungkin lebih menarik jika penulis bukan dari PNS dan pihak MP…jadi terkesan penulis mencari nama,dan karir…. dan juga jadi mirip seperti BP mengulas MP …..
saya kenal bli anom, selama kuliah beliau juga aktif sebagai pegiat jurnalistik. jadi tulisan bli anom diatas secara pribadi saya masih bisa katakan obyektif, terlepas pekerjaannya sbg staff humas pemprov.
bali post bagi saya bukan media yg obyektif, bahkan cenderung komersiil dan tendensius termasuk tidak mendidik. sloglan yg menyebutkan pancasila sdh kehilangan rohnya.
maaf2 saja, berita yg dapat dipercaya di bali post hanyalah iklan baris!
dalam hal ini BP sudah terang2an memuat berita yang tidak berimbang. Dibandingkan media lain, menurut saya BP sudah ketinggalan jaman dengan media cetak yang lain, baik dari sisi inovasi dan isi beritanya. Bahkan ada satu tokoh yang selalu dimuat tiap hari untuk setiap aktivitasnya. Masyarakat Bali skg sudah cerdas, jadi usaha menggiring opini publik BP astungkara tidak berhasil…
Barangkali banyak yang tidak puas dengan kepemimpinan Mangku Pastika. Tapi melihat cara Bali Post memborbardir kepemimpinan MP, justru membuat simpati datang kepadanya. Bali Post sudah terang-terangan dukung Puspayoga untuk gantiin MP.
Ah, dari dulu Bali Post emang selalu bikin muak. Seperti Golkar dengan TV One dan Surya Paloh dengan Metro TVnya. Nyerang pemerintah. Cih!
Kebebasan Pers bukan berarti bebas memuat artikel berita yg tidak benar!!! jelas itu sudah menyalahi peraturan apalagi memuat kebohongan-kebohongan untuk menjatuhkan seseorang / kelompok.dalam kebebasan pers pun tentu ada aturan-aturan yg harus di jalankan.dan tidak etis sebuah koran lokal terbesar di BALI melakukan tindakan pencemaran nama baik.jika BP merasa benar mengapa tidak menggunakan hak jawab nya ketika MP melakukan somasi???itu merupakan kejanggalan yg dilakukan oleh BP.seharusnya MP dan pemimpin BP di pertemukan di dalam suatu dialog yg di siarkan oleh TVRI BALI supaya krama BALI bisa menilai siapa yg benar dan siapa yg salah!!!
ahh, yg nulis orang pemprov, jdi ya kita digiring ke arah opini pemprov (pro MP), coba yg nulis orang BP, pasti akan memihak juga k BP.
semuanya sama … -_____-
palsu
tpi, mengenai pemberitaan ttang program pemerintah y “ngandet” dan “nyeleneh”, bukannya itu kenyataan? koreksi jika sya salah,
tapi satu hal yang pasti, semua punya unsur politik.
–v
setuju sama utama jaya. yang nulis artikel ini pemprov.
dan kemungkinan tulisan ini untuk menjadi subjective sangat besar.
dan seakan akan Bali post memang “ga ada bener nya”. saya sendiri memang tidak tau siapa yang benar.
dan memang tidak dapat di pungkiri kalau kekuatan media (kalo dibali adalah koran & TV) memang sangat besar.
maka telaah lah lebih lanjut setelah melihat berita.
Dalam sebuah bukunya yang hingga sekarang dipergunakan sebagai acuan dalam memahami teori komunikasi massa, Denis McQuail menyatakan soal bagaimana media massa dalam memberitakan kecaman-kecaman terhadap pemerintahan. Yang saya pahami dari pemikiran McQuail tersebut bahwa kecaman terhadap pemerintahan oleh media harusnya diberikan ruang yang luas bahkan dilindungi kesalahannya sama dengan ketika kecaman itu memiliki unsur kebenaran. Menurut saya ini berarti media massa memang sebaiknya memberikan kritik yang seluas-luasnya terhadap pemerintahan karena apapun alasan dibalik kritik dan kecaman terhadap pemerintah, maka ada sisi positif yang besar yang akan dituai oleh masyarakat luas yakni penguatan kebijakan-kebijakan yang berpihak terhadap kepentingan rakyat. Kalaupun kemudian ada pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari kecaman-kecaman terhadap pemerintah, maka itu adalah efek samping (by product) yang tidak bisa dikatakan sebagai tujuan utama dari kritik dan kecaman terhadap pemerintahan. Bahwa konflik antara kekuasaan dan media massa menjadi hal yang penting dalam demokratisasi dan dalam upaya menguatkan kebijakan-kebijakan pemerintah untuk kepentingan rakyat. Saya pikir sangat baik jika media massa mampu membuat tidur seorang pejabat pemerintahan menjadi tidak nyenyak karena memikirkan bagaimana caranya supaya apa yang ia lakukan esok hari benar-benar bisa mensejahterakan rakyat dan tidak terus menjadi sasaran kritik media. Mobil dinas, rumah dinas, pengawalan dinas dan banyak fasilitas yang telah dinikmati oleh pejabat yang semuanya itu diambil dari uang rakyat. Pejabat setinggi apapun, ia adalah pelayan rakyat bukan majikan. Jadi ia harusnya memberikan 24 jam sehari selama 7 hari seminggu untuk rakyat. Jika itu tak sanggup dilakukan, maka sebaiknya jangan menjadi pejabat. Selama ini saya menilai kita melihat pejabat dengan cara yang salah. Kita menganggap mereka majikan dan bahkan tokoh yang diidolakan meski secara nyata telah gagal membawa perubahan dan perbaikan terhadap kesejahteraan rakyat. Bagaimana kita sebagai rakyat hanya terdiam saja padahal hampir 70 persen dana APBD dan APBN di “makan” habis oleh birokrasi? Hanya 16 persen APBD Bali untuk pendidikan, padahal UU dengan tegas menyebut minimal 20 persen.
Kekuasaan itu jika tidak dikontrol dengan keras, maka ia akan berlaku sesukanya. Kekuasaan pun dijalankan seperti biasa-biasa saja tanpa adanya terobosan-terobosan berarti. Akibatnya rakyat menjadi hanya obyek yang didekati ketika pilkada menjelang dan setelah itu dilupakan.
Lalu apakah media massa bisa seenaknya saja mengkritik pemerintah? Menurut saya bisa, selama itu yang dikritik adalah kebijakan-kebijakan pemerintah atau janji-janji kampanye yang telah disampaikan dihadapan publik tetapi yang tidak dipenuhi ketika jabatan sudah di emban. Saya menolak kecaman dan kritik oleh media massa yang diarahkan kepada persoalan-persoalan yang bersifat menyerang pribadi atau merusak ruang-ruang privat seorang pejabat. Kalau ini yang terjadi, maka diperlukan investigasi yang mendalam oleh media massa jika mereka memang ingin mengangkatnya dalam pemberitaan. Misalnya saja ada indikasi tindakan korupsi oleh pejabat atau adanya afair pejabat yang dianggap mencoreng moralitas pejabat itu. Diperlukan data yang benar-benar akurat jika itu menyentuh soal pribadi atau privat pejabat tersebut. Tapi ketika bicara soal kebijakan dan janji yang tak dipenuhi, maka ada banyak fakta yang dengan mudah bisa ditemui. Lalu apakah semua itu perlu dikonfirmasi ke pajabat bersangkutan? Pada ilmu jurnalistik konvensional, jawabannya pasti “harusnya ada konfirmasi agar aspek keberimbangan terpenuhi”. Tetapi kita semua pasti akan mengetahui lebih awal bahwa konfirmasi ke pejabat itu akan menghasilkan jawaban-jawaban normatif dan pembenaran-pembenaran. Karena begitulah watak dari kekuasaan. Konfirmasi dari pejabat soal kebijakannya bisa jadi mengaburkan substansi bahwa ada yang salah pada kebijakannya atau alasan-alasan mengapa janji-janjinya ketika kampanye tak bisa ia penuhi. Tetapi jika yang diangkat media adalah topik soal yang menyerang wilayah privat, maka konfirmasi adalah hal yang mutlak. Misalnya saja jika media memberitakan soal pejabat yang selingkuh, tentu konfirmasi menjadi penting karena itu adalah hal yang hanya orang tertentu yang mengetahui data-data akuratnya.
Tak ada pembunuhan karakter jika yang dikritik adalah soal kebijakan dan yang dikritik adalah soal janji-janji yang tidak dipenuhi selama kampanye.
mungkin baik nya masing2 kubu dr MP dan BP di berikan kesempatan untuk mengulas pendapatnya di surat kabar secara terbuka agar masyarakat bisa menyimpulkan setelah membaca ulasan/pendapat dr MP dan BP.jadi tidak ada masing2 pihak melakukan pembenaran
ha ha ha saya tadinya enggan mengomentari. tetapi akhirnya tergelitik. saya usul, bagaimana kalau kita semua intropeksi diri dan menjaga jarak dengan pihak yang bertikai. entah itu MP atau BP alias SN. Bukankah sekarang sudah masuk ke ruang pengadilan. bagaimana kalau kita mengikuti tahap demi tahap proses di pengadilan. biarlah sang pengadil yang memutus siapa yang benar dan siapa yang salah. itupun dengan syarat sang pengadil tidak dapat diintervensi oleh penguasa dan juga tidak dapat dipengaruhi oleh pers. biarlah sang pengadil memutus berdasarkan hukum dan nurani. semoga nurani itu tetap ada!
menarik nih kalo pihak luar, bukan anak buah pastika ataupun karyawan bali post, yang menulis isu ini. mari kita tunggu bli ananta yg nulis. 🙂
@Ngaceng Ngawak : Itulah yang sebenarnya di akomodir melalui hak jawab yang harusnya digunakan oleh Gubernur Bali (saya bilang gubernur Bali karena secara hukum yang bekonflik adalah Gubernur Bali, bukan Mangku Pastika, lihat legal standing gugatan Gubernur terhadap Bali Post dan substansi pemberitaan BP). Pada hak jawab itulah argumentasi Gubernur Bali akan dimuat dan menjadi pengetahuan Masyarakat. Bahkan dalam setiap pemberitaan yang dianggap tidak sesuai dengan fakta dan kebenaran, disana ada hak Gubernur Bali untuk memberikan hak jawab. Hak jawab bisa berupa koreksi atau sanggahan. Dan ini dilindungi UU. Aneh rasanya kalau Gubernur Bali sebagai representasi kekuasaan tidak paham soal apa itu Hak Jawab.
Hak Jawab bisa menjadi semacam penjelasan yang detail dari pihak yang merasa di rugikan atas pemberitaan media massa kepada khalayak dimana pemberitaan itu dimuat. Hak Jawab memungkinkan informasi bisa ditelaah oleh khalayak luas. Sementara gugatan hukum ke pengadilan hanya akan menjadi informasi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang berperkara. Disamping itu waktunya lama dan biaya mahal. Sekarang yang harusnya menjadi tanda tanya besar adalah mengapa Gubernur Bali tidak mau menggunakan Hak Jawabnya??
Mengenai pendapat Anda di atas soal hak jawab yang tidak dipergunakan oleh BP ketika menjawab somasi dari Gubernur Bali, maka perlu dipahami sebenarnya lebih dahulu apa itu hak Jawab. Untuk itu silahkan baca UU Per No 40 1999. Secara sepinntas bisa saya berikan penjelasan bahwa Hak Jawab adalah hak yang dimiliki oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan sebuah media. Hak jawab bisa berupa sanggahan atau koreksi. Jadi Hak jawab bukanlah dimiliki oleh media untuk menjawab somasi pihak yang merasa di rugikan oleh sebuah pemberitaan.
Salut dengan Pak Winata…,dumogi ajeg Pak..
@Winata : Tidak semua warga negara berhak dilayani. Hanya warga negara yang memenuhi syarat yang berhak mendapat pelayanan (konsep negara hukum). Soal tak ada pembunuhan karakter dalam pemberitaan Bali Post, Winata berangkat dari definisi ilmiah Denis McQuail, silakan bandingkan dengan uraian suguhan mesin penelusuran Google mengenai character assasination. Berita tanpa konfirmasi, manipulasi fakta (fiksi dijadikan fakta) dan blow up adalah ciri-ciri character assasination.
kutipannya sebagai berikut :
Character assassination is an attempt to tarnish a person’s reputation. It may involve exaggeration, misleading half-truths, or manipulation of facts to present an untrue picture of the targeted person. It is a form of defamation and can be a form of ad hominem argument.
For living individuals targeted by character assassination attempts, this may result in being rejected by his community, family, or members of his or her living or work environment. Such acts are often difficult to reverse or rectify, and the process is likened to a literal assassination of a human life. The damage sustained can last a lifetime or, for historical figures, for many centuries after their death.
In practice, character assassination may involve doublespeak, spreading of rumors, innuendo or deliberate misinformation on topics relating to the subject’s morals, integrity, and reputation. It may involve spinning information that is technically true, but that is presented in a misleading manner or is presented without the necessary context. For example, it might be said that a person refused to pay any income tax during a specific year, without saying that no tax was actually owed due to the person having no income that year, or that a person was sacked from a firm, even though he may have been made redundant through no fault of his own, rather than being terminated for cause.
atau ini :
Pembunuhan karakter atau perusakan reputasi adalah usaha-usaha untuk mencoreng reputasi seseorang. Tindakan ini dapat meliputi pernyataan yang melebih-lebihkan atau manipulasi fakta untuk memberikan citra yang tidak benar tentang orang yang dituju. Pembunuhan karakter merupakan suatu bentuk pencemaran nama baik dan dapat berupa argumen ad hominem.
Istilah ini sering digunakan pada peristiwa saat massa atau media massa melakukan pengadilan massa atau pengadilan media massa dimana seseorang diberitakan telah melakukan kejahatan atau pelanggaran norma sosial tanpa melakukan konfirmasi dan bersifat tendensius untuk memojokkan orang itu.
Pembunuhan karakter dapat mengakibatkan reputasi orang tersebut menjadi rusak di depan publik, terhambat karirnya serta akibat yang lebih besar dimana orang tersebut dipecat dari pekerjaannya, kariernya, dan jabatannya.
Pengadilan massa dan pengadilan media massa adalah bentuk kekerasan terhadap orang lain.
Bali Post itu koran bermutu dan sangat layak dibaca sebagai pengemban dan pengamal Pancasila….. bwahahaha….
http://metrobali.com/?p=4197
hahahahhahahaha bermutu sekali! sekali naik, tulisan atau liputan kita wani piro ?
aruh!
ape kaden gae ne uling pidan saling serang
yang penting kije kije mlali di Bali pang aman,
pang liang kenehe….
MP dan BP pang akur, apng presida nindihin gumi Bali
Monto gen!
membaca ulasan Dewa Rai Anom (teman saya alumni KMHDI, mantan orang yang ngaku kelinggihan betara Wisnu) saya melihat hal-hal yang wajar sbb :
1. sebagai anak buah MP apapun anda lakukan sbg wujud loyalitas kepada pimpinan
2. sebagai org yg dirugikan BP wajar menulis ini, karena permasalahan ini terjadi mungkin karena lemahnya Humas sebagai tempat Rai Anom Bernaung.
Namun saya melihat ketidak wajaran :
1. anda menuding seolah2 BP menyampaikan berita bohong, kalau apa dugaan anda benar kenapa ngak gugat saja Balipost.
2. aneh kalau anda tulis seolah MP “dibunuh” oleh media BP, ini tidak pernah tejadi di dunia manapun penguasa “dibunuh”, yang ada itu penguasa yang “membunuh”.
3. tidakkah yang diundang dalam pertemuan itu adalah orang2 pendukung “membabi buta” kepada MP, dan orang2 yang “memancing di air keruh” dalam permasalahan ini? tentu anda yang lebih tahu.
4. klaim anda terhadap titik balik ini anda belum menyampaikan hasil survey, jangan asal cuap.
5. anda menyayangkan kalau BP mencari kelemahan/kejelekan Bali Mandara aneh, mestinya anda dan MP harus bersyukur, dengan adanya pemberitaan BP Gubernur tahu bahwa selama ini banyak anak buahnya tak becus bekerja mengimpelementasikan program Balimandara, dengan laporan yang ABS.
6. kenyataan yang terjadi banyak program yang dilakukan sepertinya tanpa melalui penelitian yang memadai. kegagalan bus sarbagita contoh konkret.
7. apa yang salah dengan mengajak orang sembahyang? saya kira ini pemikiran sesat bagi orang mantan pendiri Forum Persaudaraan Mahsiswa Hindu Dharma Unud.
kesiluan akan wanita, tahta, dan harta dapat menutupi kecerdasan manusia.
setuju dengan komen ananta wijaya, tetapi masyarakat semestinya mengikuti perkembangan kasus ini supaya tahu kebenaran dr perseteruan MP dan BP.dalam proses peradilan jangan ada berat sebelah hanya krn jabatan,nama besar kedekatan dengan salah satu dr MP atau BP.buat pak hakim lakukan tugas anda seadil-adil nya tanpa pandang bulu !!!
@Dewa Rai Anom :
Saya baru dengar soal warga negara yang bisa dilayani adalah warga negara yang memenuhi syarat. Sayang tidak dijelaskan apa saja syarat-syarat agar bisa dilayani. Jangan-jangan warga yang rumahnya atau hidupnya serba kesusahan adalah termasuk warga yang tidak memenuhi syarat untuk dilayani? Semua yang saat ini miskin adalah warga yang tidak memenuhi syarat untuk dilayani oleh negara. Atau hanya birokrasi saja yang memenuhi syarat untuk dilayani sehingga 60 s/d 70 persen APBD dan APBN di habiskan oleh birokrasi??
Soal Pembunuhan Karakter, maaf, Saya justru setelah membaca komentar Anda jadi tambah yakin bahwa pembunuhan karakter adalah perusakan reputasi seseorang atau individu. Istilah pembunuhan karakter tidak tepat pada perusakan reputasi kekuasaan pemerintahan. Tapi untuk menanggapi komentar Anda lebih lanjut, saya akan kutip beberapa bagian dari apa yang Anda tulis dalam komentar Anda di atas:
“Istilah ini sering digunakan pada peristiwa saat massa atau media massa melakukan pengadilan massa atau pengadilan media massa dimana seseorang diberitakan telah melakukan kejahatan atau pelanggaran norma sosial tanpa melakukan konfirmasi dan bersifat tendensius untuk memojokkan orang itu.
Pembunuhan karakter dapat mengakibatkan reputasi orang tersebut menjadi rusak di depan publik, terhambat karirnya serta akibat yang lebih besar dimana orang tersebut dipecat dari pekerjaannya, kariernya, dan jabatannya.
Pengadilan massa dan pengadilan media massa adalah bentuk kekerasan terhadap orang lain.”
Mohon dipahami apa yang menjadi inti dari definisi di atas yakni pada isi berita dan dampak dari pemberitaan sebuah maedia yang Anda maksudkan sebagai pembunuhan karakter. Menyangkut soal isi berita anda tulis sbb, “seseorang yang diberitakan telah melakukan kejahatan atau pelanggaran norma sosial tanpa melakukan konfirmasi dan bersifat tendensius untuk memojokkan orang itu”. Apakah Mangku Pastika pernah diberitakan melakukan tindakan kejahatan seperti korupsi? atau pernah diberitakan melanggar norma sosial seperti selingkuh misalnya? Pada berita soal Mark Up LED TV, bukankah yang disebut disana adalah pemprov Bali? Berita soal gaya militeristik juga bukan soal pelanggaran norma sosial. Jadi belum ada berita yang menyinggung soal adanya tindakan kejahatan dan pelanggaran norma sosial. Kritik Bali Post terhadap pemprov menurut saya masih dalam kroidor yang sama dengan media massa di Indonesia ketika memberi kritik pada pemerintahan SBY. Bahkan mungkin pemberitaan yang mengkritik pemerintahan SBY jauh lebih dahsyat daripada kritik Bali Post terhadap pemprov Bali.
Kemudian soal dampak berita Anda menulisnya seperti ini “reputasi orang tersebut menjadi rusak di depan publik, terhambat karirnya serta akibat yang lebih besar dimana orang tersebut dipecat dari pekerjaannya, kariernya, dan jabatannya. Apakah kemudian Mangku Pastika gara-gara pemberitaan di Bali Post menjadi rusak reputasinya kemudian dipecat dari jabatannya?? saya kira itu terlalu jauh, bahkan terlalu berlebihan. Lalu apakah karier Mangku Pastika akan terancam? Saya pikir juga itu terlalu berlebihan. Karier sebagai apa? Gubernur Bali periode ke II? Itu masih ditentukan setahun lagi dan faktor penentu seseorang menjadi gubernur dalam sistem pemilihan langsung, media massa bukanlah satu-satunya faktor penentu. Sekarang yang paling berpengaruh sepertinya adalah money politics. Ambil contoh nyata bagaimana SBY dengan pemerintahannya dicecar habis oleh media massa. Apakah ditahun 2009 SBY tak terpilih? Ternyata terpilih juga kan? Bahkan meski sekarang dicecar habis-habisan juga, kalau saja SBY boleh di pilih lagi, siapa yang menjamin rakyat tidak akan menyukainya dan memilih SBY di tahun 2014?? Hanya orang yang paranoid yang akan takut dengan kritikan tajam dari media massa. Atau kalau tidak, mereka yang begitu mendewakan pencitraan di media massa lah yang gelisah dengan pemberitaan di media massa.
Satu hal penting yang harus di pahami bahwa substansi pemberitaan yang menjadi sasaran kritik Bali Post menurut saya adalah pada ranah kebijakan, bukan pada ranah-ranah pribadi yang menyinggung wilayah privat. Saya kira perbedaan keduanya jelas. Saya sudah sampaikan juga bahwa kritik terhadap kekuasaan bagi media menurut saya mesti dilakukan dengan keras. Apalagi kekuasan di Indonesia ini yang terbukti tak pernah mampu mensejahterakan rakyat. Media adalah oposisi yang masih bisa diharapkan pada masa seperti sekarang ini karena partai politik saat ini adalah sumber dari segala sumber masalah di negeri ini.
Dan Pak Dewa Rai Anom, ingatlah bahwa program Bali Mandara adalah program pemprov Bali yang artinya tidak hanya program Mangku Pastika. Mangku Pastika dicalonkan bersama dengan Puspayoga. Bali Mandara adalah program yang bukan milik Mangku Pastika saja tapi juga milik Puspayoga. Kecuali memang Anda menganggap bahwa Mangku Pastika lah kekuasaan itu secara pribadi dan Puspayoga dan Kepala-kepala SKPD bukanlah bagian dari Pemprov Bali. Lalu apakah reputasi pemprov Bali akan rusak karena kritikan terus menerus dan tajam?? Saya kira badan hukum pemerintah tak akan pernah bisa rusak reputasinya kecuali oleh sebuah revolusi.
Kecaman terhadap kekuasaan melalui media massa haruslah dilindungi meski didalamnya mengandung kesalahan. Kekuasaan yang tak mampu memberi kesejahteraan kepada rakyat adalah kekuasaan yang selalu pantas untuk dikritik. Kekerasan pada kekuasaan akan memberi dampak pada keseriusan bagi kekuasaan itu untuk mengabdi pada kesejahteraan rakyat. Jawablah Kritik Media massa dengan kerja keras untuk rakyat, bukan dengan kegelisahan-kegelisahan atau ketakutan-ketakutan.
Beh… ken ken ini? baru saja pekak baca http://metrobali.com/?p=4197 dan menurut pekak ini orang harus di tanyai ini. Si sdr Bali Putra. Biar clear masalahnya.
“Wartawan Bali Post yang bertugas di Kabupaten Klungkung Sdr. Bali Putra tidak pernah meliput kegiatan kunjungan Gubernur Bali itu secara langsung. Ia tidak pernah ada di lokasi karena sedang meliput kegiatan lain yang dilakukan Wakil Gubernur Bali Puspayoga di lokasi lain.”
Hahahah PY ingin jadi Gubernur sama SN ingin jadi wakil…maka dibuatlah skenario amatiran…PM cuma dijadikan batu loncatan sama preman …karena partainya suaranya anjlok tahun lalu, mumpung PM lagi naik daun gitu… siap-siap semua ijin usaha nembus M M an… hahahaha dipalak dipalak…waktu jadi walikota
Saya heran dan ngeri membaca judul berita bali post tersebut. sepertinya para penulis di balipost sudah kehabisan perbendarahaan kata. Seolah-olah selalu mencari suatu kesalahan, Yang penting BP masih enak di baca. dan masyarakat tidak mudah terprovokasi.
@Wayan Jondra :
Terima kasih banyak atas tanggapan Bli Jondra yang ternyata sekaligus memperkenalkan sedikit latar belakang figur seseorang yang bernama Dewa Rai Anom. Mohon maaf Bli Jondra, kiranya tiyang tidak perlu berkomentar ataupun berargumentasi lagi mengenai tulisan saya. Rekan-rekan pembaca pasti sudah mendapat pesan apa yang ingin saya sampaikan di balik tulisan yang sesungguhnya merupakan hasil rangkuman sejumlah forum diskusi, sarasehan dan coffee morning Gubernur ini. Satu harapan saya, semoga tulisan ini mampu memberi semacam perbandingan berpikir.
@Winata I Nyoman:
sekali lagi saya sampaikan, tulisan ini saya setting untuk dapat difahami dalam tafsir kontekss. Bukan teks apalagi teks book. Dan pengertian character assasinations juga dalam kaitan konteks, bukan ansich teks.
@Ananta Wijaya :
hehehehe… gemana ya Ta. Aku sendiri hanya menuruti kata hati, hati nurani. Apalagi kita sama-sama pernah jadi wartawan Bali Post, wartawan investigasi lagi. Masih ingat bagaimana kita melakukan investigas dalam kasus rencana pembangunan Lapangan Golf di Selasih, Gianyar, menguak nasib Nang Ciri di Tanah Lot, sikap rekan kita Kusuma Wardana dalam reklamasi Pantai Padanggalak, soal PLTPB Bedugul. Masih ingat pula bagaimana demo karyawan dan nasabah Koperasi Karya Samya yang demikian siap akan jadi headline kemudian hilang tanpa bekas oleh iklan? Dan bagaimana pula kini berita Hotel Mulia tidak pernah dimuat Bali Post?
Maaf Ta, tak ada niat untuk cari muka apalagi karier dari sini. Ini murni niatnya, untuk mengisi ruang yang selama ini aku anggap kosong, yakni : komparasi berpikir. Perbandingan berpikir yang menurut sebuah sumber mengatakan bahwa saat ini telah terjadi apa yang ia sebut budaya pendangkalan. Ah… jadi ikut ngelantur…
aduhhh pak ane uli pihak MP pasti kal maan jabatan luung suud niki… ayo coba bapak ceriterakan bagaimana proyek artcenter 20M, tiang digasar-geser kesana kemari.. coba nae bapak tulis mengenai program pak MP yg sudah jalan dan sukses.. yang dari balipost juga sama sih… coba yang punya balebengong disuruh nulis pasti jadi lebih menarik… Kedua pihak patuh dogen…Pengemban Pengamal Pancasila dan Bali Mandara yang bulshittttttt……
@Dewa Rai Anom : Saya justru mengomentari argument Pak Dewa Rai Anom dalam konteks bukan tekstualnya.Yang diberitakan adalah kekuasaan dengan kebijakan-kebijakannya, dengan janji-janjinya saat kampanye dan bukan soal pribadi.
Untuk menjadi lebih jelas bedanya, mana berita yang bisa disebut pembunuhan karakter ada beberapa contoh. Contoh pertama adalah pada pemberitaan soal Anas Urbaningrum. Karena ini berita menyangkut soal dugaan pelanggaran hukum berupa tindak pidana yang berisiko memenjarakan seseorang. Menjadikan seseorang sebagai narapidana jika benar Anas Urbaningrum sampai terseret hukum, diadili hingga divonis karena pembentukan opini lewat media massa. Dalam kasus ini, jelas Dewan Pers telah menyarankan agar Partai Demokrat menggunakan Hak Jawab.
Atau dalam kasus lain misalnya berita ditahun 2007 lalu yang memuat pernyataan Zaenal Ma’arif soal SBY disebutkan menikah sebelum masuk AKABRI. Berita itupun kemudian memang mengundang kegusaran SBY, hanya saja yang diadukan ke polisi bukan medianya melainkan yang menyampaikan pernyataan. Berita soal SBY menikah sebelum masuk AKABRI bisa jadi melanggar norma sosial karena menikah tidak resmi. Jika media terus mengembangkan berita ini, maka itu bisa jadi masuk katagori pembunuhan karakter. Karakternya siapa? Ya karakternya SBY, bukan karakternya presiden. Dan jelas SBY mengadu ke Polisi atas pernyataan Zaenal Ma’arif itu sebagai pribadi bukan kapasitasnya sebagai presiden.
Yang ingin saya tekankan adalah bahwa dari judul artikel dan isinya yang Pak Dewa Rai Anom tulis kan kemudian menjadi rancu, bicara soal pembunuhan karakter tetapi obyeknya adalah kekuasaan atau badan hukum pemerintahan. Badan Hukum pemerintahan kan tidak memiliki karakter yang bisa dibunuh.
Baru satu tulisan yang muncul saja sudah gaduh yaaa..bagaiman kalau setiap pagi dan sampai berbulan2 ya….Katanya KEBEBASAN PERS??? Bukankah siapa pun berhak menulis sesuai dengan perspektifnya, entah itu BP, Radar Bali, Metro Bali, Pak Rai Anom, tokoh, akademisi lainnya. Nanti biarkan masyarakat luas yg menilai. Mengenai sengketanya sudah di Pengadilan, lebih baik ditunggu saja.
Mengapa pendapat dari Bpk Dewa Rai Anom ini jd ada yg kebakaran jenggot? Memangnya tulisan2 BP paling benar, shg tidak harus dikritisi seperti ini juga. Kalau memang mau adil ya kupas dua2nya. Keluarkan juga kritik serta teori2 dan dalil2 untuk tulisan2 BP yg sudah berbulan2 tsb. Jangan menggunakan STANDAR GANDA. Sebenarnya sayang, integritas dan pengetahuan yg dimiliki hanya untuk mengupas, kritis dan fokus untuk tulisan ini saja, masih banyak tulisan2 BP juga mesti mendapatkan perlakuan sama seperti ini. Harusnya kita berterimakasih, masih ada orang yg berani menulis dari sudut pandang yang berbeda, tidak selalu mengikuti arus pemikirannya BP.
@Yos Kebe : Kalau saya tak mempersoalkan masalah obyektivitas, karena bagi saya siapapun tak mungkin obyektif. Apakah ada media yang benar-benar obyektif?? Obyektivitas dalam media itu utopia. Bagi saya semua media itu berpihak, bisa berpihak pada pemiliknya, bisa berpihak kepada siapa yang bayar, berpihak kepada rakyat (kepentingan rakyat banyak), atau berpihak kepada kepercayaan tertentu, agama tertentu, etnis tertentu, suku tertentu, dan banyak lagi keberpihakan. Dan keberpihakan media itu berjalan secara simultan pada satu terbitan. Isi koran itu kan macam-macam dan beragam. Media itu representasi dari realitas bukan refleksi atas realitas. Karena representasi, maka isi media adalah hasil konstruksi. Soal media menjadi “binatang “ekonomis, ya… mana sih ada media yang tidak begitu saat ini?? Apakah ada media yang dimodali privat di Indonesia tak menjadi perusahaan bisnis? Soal kebenaran isi media, apakah ada media yang bisa dipercaya kebenaran 100 persen? Lalu apa kebenaran itu?
@De Rah dan Gus Locong: Bagi saya, soal siapa yang kebakaran jenggot kan bisa jadi sangat debatable. Apakah tulisan Pak Dewa Rai Anom diatas juga bukan karena kebakaran jenggot? hehehe….tetapi yang jelas saya tidak berjenggot, entah pak dewa rai anom, tapi kalau berkumis sepertinya pak dewa Rai Anom ada kumisnya. Tetapi kalau kita bersepakat untuk siapapun bisa menulis dan siapapun bisa saling mengkritisi ya jangan kemudian ada penilaian kalau ada pihak yang kebakaran jenggot ketika diantara kita ada yang saling menanggapi. Kan nggak konsisten jadinya. Saya ikut nimbrung dalam diskusi ini adalah bagian dari saya berdialektika, tidak untuk membela, tidak menyalahkan siapapun. Hanya saja pada argumen-argumen yang kurang pas landasannya, saya coba mengkritisi. Misal soal bagaimana Hak Jawab, atau bagaimana misalnya dalam penggunaan terminologi pembunuhan karakter, pas tidak?? Saya pikir tidak ada yang memaksa siapapun untuk mengikuti opini siapapun. Semua masih harus menjadi manusia yang bebas berfikir dan berargumen.
beh pertanyaannya, apa itu kebenaran? apa dengan bermanipulatif ria dan dengan sengaja menebar kebohongan adalah sebuah kebenaran?
atau dengan melanggengkan kebohongan adalah sebuah kebenaran kah?
He..he..mantap Bos. Semoga, daya kritis anda dan argumen2 yang kurang pas menurut anda juga dimanfaatkan untuk berdialektika terhadap tulisan2 BP.
Saya sudah merasakan manfaat program2 MP ( simantri, jkbm, dll ), memang masih perlu penyempurnaan, namun sudah sangat membantu rakyat kecil seperti saya. Mungkin bali post ( SN ) perlu belajar kepada MP bagaimana caranya bekerja serius agar programnya tidak gatot ( gagal total ); ajeg bali, bakso krama bali, kkb, dll. Berita2 yg dimuat BP berbau adu domba dan provokasi dan tentu saja tidak berimbang, kalau berimbang tentu kegagalan program2 SN tadi sudah dimuat dikoran BP…he he. Terus Maju Pak Gub!, jgn hiraukan BP dan berita2 ngawurnya, … dan semoga bus sarbagitanya semakin diminati
@rakyat kecil : hehehe… coba cara berpikirnya begini : Sekarang program simantri, jkbm, dll sudah berhasil tetapi anda akui belum sempurna. Nah pada konteks ketidaksempurnaan itulah berita-berita di Bali Post memiliki efek untuk mendorong agar lebih sempurna. Kan bisa saja begitu??? kenapa harus dipandang kritik atas kebijakan gubernur bali sebagai wujud sentimen pribadi?? bukankah program2 gubernur Bali juga adalah program pemprov Bali. Lalu apakah disana yang kerja hanya MP? kan belum tentu? semua komponen ikut bekerja. Disana ada Wakil gubernur, kepala-kepala SKPD dll. Jadi kalau ada kritik itu kan mengkritik semua bukan mengkritik seseorang saja??. Dan pandanglah tujuannya adalah penyempurnaan, untuk kesejahteraan rakyat banyak bukan untuk menjatuhkan.
untuk sekedar info, Program bus Sarbagita itu program pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Hampir semua kota diberikan bantuan oleh pemerintah pusat untuk membuat sistem transportasi massal.
@ Winata….Saya dulu paling suka baca BP.. karena cinta Bali… namun akhir2 ini saya agak kurang ngefans lagi karena beritanya sudah tidak berimbang.! Setelah saya baca tanggapan anda saya yakin anda tidak ada bedanya dengan BP. saran saya kalo mau informasi tepat, maka datang langsung atau tanyakan langsung pada sumbernya…! jangan sotoy….!
Saya baca komen anda dari awal, bagus dan berwawasan, tapi kebelakang kok malah jadi seperti penjilat BP. Sepertinya anda menyanggah setiap komentar yang bersimpati terhadap MP dan yang tidak simpati terhadap BP.
Saya sangat setuju kalau kritik kepada pemerintah itu perlu dilakukan untuk memacu kinerja pemerintah tapi kritik yang bagaimana yang diperlukan, ya tentunya juga kritik yang baik. Kritik juga perlu memberikan ruang bagi yang dikritik untuk dapat membenahi kinerjanya. Nah sekarang apakah BP sudah beretikat baik dalam mengkritik? Kritiknya kok tiap hari udah gitu borongan pas dekat2 pemilukada. Ini mah namanya kritik yang digandengi kepentingan perseorangan dan bukan masyarakat luas.
@ pak winata, saya orang awam tentang hukum, tapi melihat pemberitaan bali post yang selalau mengkritisi Pak Mangku dan pemprov yang terus menerus dan memberitakan wagub yang baik baik pasti ada magsud tertentu untuk pilgub 2013, saya sebagai pribadi sangat merasakan kepemimpinan pak mangku dibandingkan gubenur sebelumnya kecuali pak mantra yang memang menjadi panutan masyarakat bali, saya sudah merasakan program JKBM nya pak mangku, saya mohon pada bali post merubah gaya pemberitaannya jika tidak mau ditinggalkan oleh pembacanya, demikian pula pada pak winata tidak terus membela pemberitaan bali post.kalo mengkritik adalah bagus tapi jangan satu pemimpin itu itu saja, di bali ada 8 bupati dan satu wali kota, tolong juga kritik pemimpin yang lainnya.
saya hanya rakyat kecil sd pun tak tamat dan waktu pilgub lalu memilih golput
Karena penentuan Cagub dari PDIP saat itu terkesan sangat di paksakan oleh pusat.
Dan kini karena program2 ny banyak bermanfaat bagi rakyat kecil saya lumayan bersimpati kepada pak mangku.
@winata: bapak pasti orang yang berpendidikan tinggi di lihat dari analisa2 dan teori2 anda..
Tapi rakyat kecil tidak butuh analisa dan teori tapi butuh karya nyata
Sundul lagi gan… sepi nih. Mau pilkada sepi-sepi aja.
ape kel garang ne, nyet gen duegen ken profesor, kalau orang sudah pintar baca semua coment yg anti artikel ini mungkin tertawa, baiklah apapun kata anda, yg saya inginkan adalak KEbenaran BUKAN PEMbernaran, tak perlu bawa kitab ini itu, atau pasal ini itu, kitab dan pasal dibuat pasti ada kelemahannya tergantung dari para loyers yg memanfaatkan kelemahan itu, . .
apa mau tanah dan hutan di Bali di jual dan disewakan? makanya jangan salah pilih..
maju terus Bali Post..pelanggan BP akan terus bertambah..
@Nang Lecir : adep ngadep tanahe nyen Nang, bukane ane ngadep ane ngelahen sertifikatne?
Kasian sekali BP, prediksi saya setelah pilgub nanti media BP n BTVakan disalip ama DTV, BP n BTV menghancurkan dirinya sendiri tp herannya sepertinya mereka siap akan konsekuensi yg akan diterima, mungkin uang yg diterima lebih besar dr aset BP nBTV jadinya mau hancur kan masih punya uang hahahaha
analisis orang cupu
tulisan yg menarik, ulasan nya dari sudut pandang yg berbeda.
Dalam media informasi memang keseimbangan , fakta dan independensi itu diperlukan.
oleh karena itu Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Bali (KPID) sudah mengeluarkan sangsi, disini beritanya :
http://metrobali.com/2013/05/08/kpid-berhentikan-sementara-siaran-seputar-bali-bali-tv/
bila terus saja dilanggar maka publik bisa menilai sendiri.
ingat berita mesir bisa rusuh karena peran media, maka jangan sampai Bali pun bisa rusuh akibat peran Media itu sendiri yang menyulut-nyulut emosi.
setiap kebencian/fitnah yang ditabur maka anda juga akan menerima kebencian suatu saat nanti. itulah hukum karma.
Semua orang bersaudara “Vasudaiwa Kutumbhakam”
Sepertinya BP sudah di tinggalkan pelanggannya sekarang lho? kecuali Iklan JUAL- BELI nya yg di cari, mana KKB?? mana Bakso Bali?? PASAR OLEH2 krama Bali yg di Tuban?? dulu sebelum sy kerja sy senang baca Bali Post, karena banyak Iklan Lowongan Kerjanya. itu saja, yg lainn lewaat
Wahh..ini baru seru debatnya…gmn ga seru pak Rai Anom (Humas Pemrov Bali) yg tentunya pro-pastika …dan Winata (Cakra-TV,Semarang, milik Kelompok Media Bali Post) tentunya pro Bali Post/satria naradha…ga bakalan selesai dehh..
Usul saya, pak Rai Anom brhenti dulu jd Humas/PNS Pemprov Bali dan pak Winata brhenti dulu kerja di grupnya KMB …nahh setelah itu baru debat lagi…kayaknya lain dehh hasilnya 😀
munyi gen liu ape sing ade pak.
mare bise ngomong gen sing meragatan ape…..mare dueg pedidi, rakyat tak perlu orang pintar berbiacara, pintar diri sendiri.
nyen mepilih tetep dadi pegawai kontrak megaji 3 bulan konden tentu.
bruuuuuuuuuuutttttt
baang berdepat ane sing ngasilan ape jeg satunne.
pegawai kontrak? sorry gak level.. pengusaha ayam nyambi medagang emas ne 🙂
Membaca artikel di atas, serasa menemukan sumber air segar di padang gurun yang panas. Secara pribadi saya sangat prihatin dengan pemberitaan Bali Post yang sudah diwarnai dengan pemberitaan yang berkesan menyerang dan tentu merugikan. Sangat tidak etis, keluar dari jalur etika dan norma yang ada. Bahkan saya merasa “geregetan” bila ada kesempatan melihat-lihat judul-judul berita yang ada. apa lagi sekarang dijadikan sebagai corong kampanye. Cara-cara seperti itu justru membangkitkan simpatik saya kepada Bapak MMP.
Saat-saat ini saya jauh merasa lebih nyaman membaca harian lain seperti Jawa Pos atau Kompas.
sama…. mending baca jawa post deh atau media online sekalian
saya rakyat kecil yang tak bisa berteori. SAYA tidak mendukung pak mangku pastika mau pun calon lain. hanya saja saya MUAKKK dengan pemberitaan balipost dan arogansi naradha!!!!! saya sangat setuju kritik untuk PEMPROV bali, setiap kebijakan perlu ada kritik agar kedepannya rakyat tidak melulu jadi korban kebijakan. GA USAHLAH dua kubu berbullshit ria ……berhentilah menutup mata. bagi saya:
1. MANGKU PASTIKA selaku gubernur bali sangat layak untuk dikritik begitu juga dengan si Puspayoga selaku wakil.
2. BALI POST kok mengkritiknya gubernur bali terusss sampe jelek kayak telek? tapi puspayoga?????
ayooo muncullah media yang NETRAL yang mampu menjembatani kebijakan pemerintah dan juga kepentingan rakyat kecil….! sudah krisis kepemimpinan yah bali???? kapan bali bisa maju kalau SKENARIO kacangan ala BP masih bisa dipoles??? huex muntah deh!!!
tidak bisakah dijabut ijin balipost pak…, karena sangat meresahkan…
Setajam apapun tulisan/komentar buat saya kalau “anonymous” kayak berak di sungai hanyut begitu saja. Salut sama yang sudah menulis atau berkomentar dengan nama terang, saya mungkin akan belajar seperti kalian suatu saat.
Tabik
Wantah aeb jagad..isin gumi..ade sente ade plindo..yang penting sampunan ulian gajah mepalu peturu gajah..krama alias rakyat sane nemu sengsara..ngiring sareng sami..metelektek..sane encen patut tulad..suksma
maaf saya tidak bisa komentar apa2 karena sudah tidak langganan BP…BP sangat tidak manusiawi!..percuma ada kolom mimbar agama, tanpa tahu maknanya..
klo mau info yg berimbang, hrsnya bli 2 koran skalian, atau klo ga y bca BP dan bca brita online… kn ya pasti berimbang lah,.
-if you know what i mean-