Teks Agung Pushandaka, Ilustrasi dari Internet
Sore itu, pesawat yang saya tumpangi baru saja terparkir dan berhenti dengan sempurna di Bandara Ngurah Rai Denpasar. Semua penumpang sudah berdiri di gang dalam pesawat, tidak sabar untuk segera turun. Tapi pintu pesawat belum juga dibuka.
Sementara yang lain masih menunggu sambil berdiri, saya tetap terpaku di kursi saya yang bernomor 29F. Saya hanya bisa memandang keluar lewat jendela pesawat. Sumpah, saya masih bete karena harus meninggalkan Rini dan Jogja. Saya cuma bisa mengumpat dalam hati, kenapa saya belum bisa berbuat sesuatu untuk membawanya pergi untuk menemani saya di sisa umur saya.
Tidak lama kemudian, pandangan saya beralih ke sebuah truk gandeng mini yang mendekati pesawat. Saya tahu itu adalah kendaraan yang akan mengangkut barang-barang di bagasi pesawat untuk kemudian dibawa ke ruang pengambilan bagasi penumpang. Truk itu berhenti tepat di bawah jendela kursi saya. Lima menit kemudian, kesibukan di bawah perut pesawat pun dimulai.
Berbagai macam tas dan koper berukuran menengah sampai besar, mulai berpindah tempat dari dalam pesawat menuju ke bak truk mini tadi. Saya cuma bisa memperhatikan, bagaimana si petugas melempar-lempar sekenanya tas-tas itu ke dalam bak truk, termasuk juga tas saya.
Saya pikir, tas-tas itu dilempar seperti itu mungkin karena berat banget. Lagipula, isinya toh bukan barang berharga karena sejak di ruang check-in penumpang pasti sudah diingatkan untuk tidak memasukkan benda berharga ke dalam bagasi. Jadi, saya berpikiran positif bahwa semua tas itu cuma berisi pakaian yang ndak akan rusak kalau terbanting-banting seperti itu.
Belum sempat saya mengalihkan pandangan ke arah penumpang yang blum juga keluar dari pesawat, saya tertegun waktu melihat si petugas bagasi di luar sana melempar sebuah kotak kardus berukuran sedang ke dalam bak truk. Parahnya lagi, kotak itu berstiker Fragile. Anda pasti tahu kan stiker fragile. Biasanya stiker itu bergambar gelas retak dengan warna dasar merah yang mencolok mata. Iya betul, bungkusan berstiker itu berisi benda-benda yang mudah pecah dan menuntut perlakuan yang lebih hati-hati.
Tapi kehati-hatian itu sama sekali tidak diperlihatkan oleh para petugas airport. Mustahil rasanya mereka tidak tahu arti kata fragile. Tidak mungkin juga mereka tidak pernah melihat stiker semacam itu. Logo fragile pasti sudah jamak mereka lihat mengingat pekerjaan mereka. Cuma kok mereka tidak bisa memperlakukan kotak-kotak itu dengan semestinya?
Saya prihatin banget melihatnya. Para petugas ini bukan cuma tidak peduli dengan hak orang lain, tapi juga tidak bertanggung jawab atas pekerjaannya. Mereka juga tidak menunjukkan disiplin dalam bekerja. Kalau saja tindakan mereka cuma akan merugikan kepentingan pemilik bungkusan itu, mungkin tidak jadi masalah besar buat mereka.
Tapi, bagaimana kalau perbuatan mereka ternyata merusak citra semua petugas (yang lebih peduli, disiplin dan bertanggung jawab), citra Bandara Ngurah Rai Denpasar, citra pariwisata Bali, atau bahkan mungkin citra pelayanan publik negara kita? Mampukah mereka, para petugas yang seenaknya itu, menanggung semua akibat yang disebabkan oleh hal kecil yang tidak mereka perhatikan?
Disiplin dan tanggung jawab memang masih menjadi barang mahal di negeri ini. Saya tidak tau, kapan situasi ini segera berubah. Saya cuma bisa semakin bengong waktu melihat bahwa ternyata masih ada beberapa kotak berstiker fragile yang mengalami nasib serupa, dilempar dan kemudian terbanting-banting di dalam bak truk itu. Beberapa bahkan kemudian tertimpa dan tertimbun tas atau koper yang rasanya jauh lebih berat daripada kotak-kotak kardus itu. Menyedihkan banget..[b]