Oleh Agung Parameswara
Rumput laut tulang punggung kehidupan warga Nusa Penida.
Hampir 80 pesen penduduk pulau yang masuk di Kabupaten Klungkung, Bali ini menjadi petani di laut yang bergantung pada pasang surut air laut. Pulau yang terdiri dari batu kapur dan bukit gersang itu, tidak menyediakan banyak alternatif untuk lahan pertanian yang sangat tergantung pada kesuburan tanah dan curah hujan yang cukup.
Berawal pada tahun 1984, saat seorang pengusaha dari Surabaya membawa pengaruh rumput laut untuk dicoba dikembangkan di Pulau Nusa Lembongan, tepatnya di Desa Jungut Batu, di seberang Nusa Penida. Setelah panen pertama di Nusa Lembongan berhasil, kabar tentang bagaimana kesuksesan rumput laut menyebar cepat di antara warga desa. Dalam kurun waktu kurang dari empat bulan, seluruh pesisir laut nusa penida sepanjang 30 km dipenuhi oleh petani rumpu laut.
Jenis Rumput laut yang populer di Nusa Penida adalah dari jenis spinosum (eucheuma spinosum) dan jenis katoni (eucheuma cottoni). Spinosum biasanya digunakan sebagai bahan makanan di Cina sedangkan katoni diolah menjadi tepung untuk industri yang berbeda seperti kosmetik, obat-obatan, dan makanan.
Proses mereka bertani berawal ketika air laut surut, mereka bekerja di laut untuk menanam atau memotong rumput laut. Tidak ada waktu persis seperti ketika air laut surut. Tergantung pada musim, hal ini bisa terjadi di pagi hari, siang hari dalam panas terik, sore hari, atau di tengah malam yang dingin.
Pekerjaan ini mengharuskan mereka untuk berendam di air setiap hari. Biasanya, rumput laut tidak langsung dijual begitu mereka dipotong, tetapi dikeringkan terlebih dahulu sebelum dijual.
Rumput laut yang menjadi komoditas ekspor dan diminati dunia tidak serta merta mengubah nasib mereka. Harga yang minim yang ditetapkan oleh distributor membuat kehidupan mereka tidak berubah hampir 40 tahun semenjak rumput laut pertama kali populer di Nusa Penida.
Para petani menjual rumput laut kering kepada distributor yang akan mengirimkannya ke Surabaya untuk diproses lebih lanjut sebelum diekspor. Distributor menetapkan harga Rp 3.000 – Rp 4.500 per kilogram untuk jenis Spinosum, tergantung pada kualitas, dan Rp 7.200 per kilogram untuk Jenis katoni.
Foto-foto ini diambil menggunakan smartphone iPhone5, aplikasi Hipstamatic. [b]