Banyak burung hinggap di sebuah pohon, tapi hanya satu yang akan tinggal.
“Anggap dirimu pohon..”, itulah yang sering saya katakan ketika ada teman putus cinta. Ya masalah cinta itu adalah masalah yang sangat lumrah bagi para generasi milenial. Masalah cinta bagai sudah berakar di jiwa raga para generasi muda. Mereka bahkan sering mencurahkan masalah mereka di sosial media.
Pertanyaannya apakah cinta itu salah? Tidak, tentu saja cinta itu tidak salah. Semua mahluk hidup di dunia ini berhak untuk jatuh cinta, tetapi cara mereka mengungkapkannya yang salah.
Awal Masalah
“Kamu adalah satu-satunya orang di hidupku. Kamu adalah jiwa dan ragaku. Kamu adalah segalanya bagiku..” PUUUUUIH.
Dengar, ya, generasi milenial atau harus saya sebut generasi zaman now. Perjuangan cinta tidak semudah itu. Ini bukan negeri dongeng atau drama korea, yang di mana mendapatkan cinta sejati sangat mudah. Mendapatkan cinta itu bak mencari jerami di tumpukan jarum.
Loh, kok kebalik? Iya jelas lah, karena untuk memperolehnya tak jarang kita harus merasakan luka mendalam.
Saya tidak mau munafik ya. Tentu saya pernah mengatakan hal seperti di atas setelah putus cinta. Semua kata kata manis itu langsung berubah menjadi kata yang penuh kebencian. Bukan hanya saya yang mengalami itu, tapi banyak teman teman di sekitar saya. Mereka memiliki kisah yang sama, di mana mereka sangat mencintai, tapi akhirnya dikhianati. Cinta pun berubah jadi benci.
Tapi setelah mendengar curhatan dari beberapa teman, saya mulai sadar akan kesalahan ketika mencari pasangan. Akhirnya tercipta sebuah filosofi di benak saya, yang saya beri nama filosofi pohon. Filosopi pohon pertama yang saya ciptakan adalah “hanya yang setia yang membuat sarang.”
Arti Setia
Anggaplah hidup kita ini adalah sebuah pohon. Ketika pohon itu sudah tumbuh besar dan memiliki banyak buah. Maka banyak burung hinggap di dahannya untuk memakan buah. Sama seperti mencari pasangan.
Ketika kita sudah mencapai puncak kehidupan kita, di mana kita sudah sukses. Maka pasti banyak orang akan datang mendekati kita. Kesalahan saya waktu itu adalah memilih pasangan ketika saya adalah pohon yang berbuah.
Namun, aku lupa jika ada kalanya pohon yang berbuah akan kehilangan buahnya dan burung-burung yang hinggap di dahannya akan pergi seketika. Itulah yang terjadi pada saya.
Saya ditinggalkan dia, orang yang saya anggap pasangan, ketika saya sedang menghadapi tantangan terbesar dalam hidup. Pada waktu itu adalah perjuangan mencari kuliah. Tentunya ketika itu kita sangat memerlukan sebuah dukungan moral kan?
Namun, kata-kata setia sampai tua yang dia ucapkan hanyalah omong kosong semata. Saya pun sesaat jatuh dalam keterpurukan, sampai pada akhirnya bertemu dengan kawan yang senasib.
Ketika menciptakan filosofi ini saya sedang dalam perjalanan bersama teman itu dan sesaat saya menemukan penutup yang tepat untuk filosofi ini. Ketika sebuah pohon kehilangan semua buahnya dan burung burung pergi darinya, pasti pasti dan pasti, ada seekor burung yang mau membuat sarang di sana dan dengan setia menunggu buah selanjutnya. Burung itu akan terus memberi kehidupan di pohon tersebut, memperindah pohon tersebut dengan kicauannya walaupun ada buah atau tidak di rantingnya.
Sama dengan kita mencari seorang pasangan. Ketika kita di dalam keterpurukan pasti akan ada orang yang setia menjaga kita dan memperindah hidup kita. Jika hal itu terjadi padamu maka kamu perlu perimbangkan orang itu untuk menjadi pasanganmu, karena hanya yang setia yang mau membuat sarang. [b]