Cerita semakin liar ketika Bu Prani melakukan klarifikasi terhadap videonya yang viral. Seorang pria memulai masalah dengannya tapi malah menuduh balik dengan bukti video dan menuntut somasi.
Masalah ini juga menyerempet ke keluarga bu Prani. Muklas, yang diperankan Angga Yunanda, mendapatkan serangan setelah ketahuan bahwa dia merupakan anak dari Bu Prani. Berprofesi menjadi seorang Youtuber, yang dampaknya membuat beberapa brand berhenti melakukan kerja sama dengan Muklas.
Selain itu, Tata, saudara perempuan Muklas, diperankan oleh Prilly, yang juga merupakan penyanyi sebuah Band harus rela dikeluarkan dari bandnya buntut video yang dia upload untuk membantu membersihkan nama ibunya.
Di sisi lain, Bu Prani juga mempunyai suami yang mengidap bipolar. Dari hal ini, Bu Prani dan anak-anak menjaga sekali agar suaminya tidak mengetahui terkait masalah ini. Supaya dia tidak banyak pikiran dan beban pikirannya bertambah.
Saat semua hal tidak berpihak padanya, Bu Prani tetap memperjuangkan apa yang menurutnya benar. Dengan harap, dunia adalah tempat yang ideal. Dimana orang bisa jadi tempat untuk lebih saling mengerti dan memahami satu sama lain.
Dunia Budi Pekerti
Film Budi Pekerti berlatar di Yogyakarta ketika pandemi Covid-19 sedang terjadi. Kilas balik ke masa kelam tersebut, film ini menggambarkan masa pandemi dengan cara yang absurd. Pandemi memang membuat hal-hal menjadi jenaka.
Apel upacara bendera yang dilakukan secara daring. Physical distancing yang kocak. Masker yang dipakai secara asal atau dengan gambar yang lucu-lucu. Dan hobi-hobi aneh yang muncul kala pagebluk menepuk.
Melihat kembali ke momen-momen itu, yang datang hanya gelak tawa yang membuat kita terngiang sendiri. Saya juga menyukai detail-detail di film ini. Virtual background bertulis “Cogito Ergo Sum.” Scene yang selalu bertema orange/kuning dan biru. Dalam psikologi warna warna kuning/orange melambangkan kesenangan dan biru keharuan.
Dalam hal ini, sepertinya film ini ingin menyatakan bahwa hidup memang terdiri dari hal-hal ini. Tidak selamanya biru atau tidak selamanya kuning. Terkadang kebahagiaan lebih banyak dan kita tahu ini tidak akan selamanya, pun dengan kesedihan, dia juga tidak akan abadi.
Dan film ini juga memberi jawab bahwa yang menjadi penting adalah bagaimana kita merespon atas warna-warna dalam hidup yang menghampiri.
Seperti di film ini, Bu Prani sedang dalam fase biru. Dan yang dia lakukan adalah menjalani hidupnya yang sedang biru.
Cancel Culture
Bahkan untuk pengertiannya sendiri, frase cancel culture masih sulit didefinisikan. Dalam laman web Tirto.id, ditemukan cancel culture mengacu pada penolakan individu melalui pengaduan online yang mengakibatkan pengucilan dan mempermalukan orang.
Definisi di atas menurut saya merupakan definisi yang paling mendekati dari pengertian cancel culture yang dipahami di Indonesia. Saya mencoba menemukan padanan frase yang pas untuk cancel culture namun tidak menemukannya.
Akan tetapi, Adriano Qalbi, seorang stand up comedian dari Indonesia menurut saya memberikan padanan yang tepat bagi kata cancel culture yaitu, “Gebukin maling ayam.”
Rasanya memang demikian. Cancel culture sering terasa seperti pencuri ayam yang tertangkap lalu dipukuli beramai-ramai. Kita tahu semua bahwa maling memang merupakan tindakan melawan hukum, pun dengan memukul si pencuri atau main hakim sendiri.
Cancel culture juga lebih sering salah arah atau tidak tepat sasaran. Energi netizen lebih sering fokus pada maling “ayam” dan melupakan pencuri kerbau yang jelas-jelas lebih merugikan.
Dan kadang lebih sering lebih banyak berbicara dan menghakimi untuk pencuri ayam yang butuh makan dan tidak terlalu peduli pada maling uang negara yang lebih membuat rugi.
Namun, di tengah hukum yang tidak bekerja dengan semestinya, Cancel culture adalah cara yang paling sederhana untuk menemukan rasa keadilan yang diharap. Akan tetapi, jika cancel culture hanya tertuju pada orang-orang yang tidak punya kuasa, hal ini menjadi cerita yang berbeda lagi.
Dan inilah yang dihadapi bu Prani. Cancel culture. Penghakiman berlebihan pada hal-hal yang bahkan tidak dia lakukan. Penolakan yang membuat dia, dan keluarganya berada dalam titik yang tidak nyaman. Membawa kehidupan bu Prani ke dalam keadaan yang tidak berjalan semestinya.
Padahal selama film berlangsung, yang Bu Prani lakukan hanya berdiri dalam garis dan nilai-nilai ideal yang dia percaya. Dan hormat setinggi-tingginya terhadap Bu Prani yang berdiri untuk dirinya, dan nilai-nilai yang dia percaya.
Dunia Ideal
Jika saya ditanya adakah dunia yang ideal? Saya langsung akan menjawab tidak ada. Akan selalu ada kesedihan. Akan selalu ada diskriminasi. Akan selalu ada yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati secara bersama.
Namun, kabar baiknya dunia yang ideal bisa kita perjuangkan bersama. Dunia di mana perempuan mendapatkan kesetaraan dan hak yang sama. Dunia tanpa perang dan kesengsaraan. Atau dunia saat kita mendapatkan kesempatan dan peluang yang sama. Dunia yang semua orang bisa menyantap makanan kesukaan. Atau dunia yang sedikit sedih, dan lebih banyak bahagia.
Saya rasa ini tidak terlalu mustahil. Saya pikir ini masih realistis. Dan bukankah kita sebaiknya harus menjadi realistis dan menuntut hal-hal yang tidak mungkin.
“Soyez réalistes, demandez l’impossible,” seru orang-orang di Prancis. (“Be realistic, demand the impossible”)
Bu Prani sendiri dalam film Budi Pekerti sejatinya sedang memperjuangkan dunia ideal yang dia percaya. Dunia di mana aturan dan keteraturan harus dipahami bersama. Dunia yang lebih saling memahami.
Judul film ini dalam bahasa inggris sejatinya sangat menarik yaitu, andragogy, yang berarti metode atau konsep belajar untuk orang dewasa. Karena sejatinya, orang dewasa memang tidak boleh berhenti belajar.
Saya ingin menulis ending dan bagaimana Bu Prani menghadapi masalahnya pada akhir tulisan ini. Namun, sepertinya lebih baik teman-teman semua menonton film ini sendiri saja. Sedang tayang.
Budi Pekerti | Sutradara: Wregas Bhanuteja | Produser: Adi Ekatama, Ridla An-Nuur, Willawati, Nurita Anandia W. | Ditulis oleh Wregas Bhanuteja | Pemeran: Sha Ine Febriyanti, Dwi Sasono, Angga Yunanda, Prilly Latuconsina, Omara Esteghlal, Ari Lesmana | Durasi: 110 menit | Negara: Indonesia | Bahasa: Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa