Festival dengan esensi yang tepat itu sangat sulit.
Alek Kowalski dengan santun dan rendah hati menyapa kami. Sapaan itu meneduhkan hati yang sempat cemas karena kelas literasi molor 30 menitan lebih dari jadwal. Doi mewakili Tim Folk Music Festival 2018 menjawab kesilapan teknis acara.
Panel pertama menghadirkan topik soal Sekelebat Festival menghadirkan Direktur Eksekutif Jogja NETPAC Asian Film Festival Ifa Isfansyah, Project Director Rock In Celebes Herdinansyah Putra Siji dan Kurator Makasar International Writers Festival Shinta Febriany.
Shinta datang terlambat lantaran jadwal pesawat yang tertunda. Mereka bertiga bicara soal cikal festival yang mereka bangun, jatuh bangun, soal-soal teknis mempertahankan dan mengembangkan festival itu, branding hingga relevansi dan nilai festival dengan sebuah kota tempat festival itu dihelat.
Di sesi diskusi, Alex Kowalski kemudian diundang Nuran Wibisono – penulis di Tirto.id untuk menjawab pertanyaan soal Folk Music Festival 2018 ini. FMF ini dimulai di tahun 2014 di satu mall besar di Surabaya di mana saat itu sedang berlangsung gelaran Piala Dunia. Lalu di tahun berikutnya diadakan di Lembah Dieng dan sejak tahun 2017 hingga di 2018 ini diadakan di Kusuma Agrowisata Batu Malang.
“Membuat festival dengan esensi yang tepat itu sulit,” katanya.
Dengan datang, bertemu banyak orang ketemu banyak hal esensinya bukan sekadar huru hara euforia, enggak kayak gitu. Seperti hal yang sparkling. Kita pulang diam dan memikirkan, bisa jadi sparkling itu adalah hal kecil semisal jadi puisi, jadi lagu bareng.
Itu yang kurang lebih saya sarikan dari penjelasan Alex.
Kusuma Agrowisata yang dinginnya 17 derajat di sore ini serasa hangat di dada. Hehe. Dan obrolan selanjutnya semakin hangat dengan kehadiran idola M Istiqomah alias Is (Pusakata) dan Fuad Abdulgani (Antropolog).
Doi berdua bicara macam dua orang pemain badminton yang enggak pernah missed satu bola pun – berkesinambungan, mengalir, ditunggu dan asyik banget! Doi berdua bicara soal Folk Indonesia Timur. Bincang topik itu terinspirasi dari tugas akhir Fuad, begitu sang moderator – Ivan Makshara penulis di pophariini, membawa nama Pulang Aleyo di awal obrolan.
Pulang Aleyo ini adalah sebuah judul lagu yang bercerita tentang seruan pulang ke Ambon. Lalu disambung soal ketertarikan Fuad mendengarkan lagu-lagu lawas bertema nostalgia, penyesalan dan aspirasi kampung halaman.
Doi dulu suka dengerin lagu-lagu Ambon yang dinyanyiin Yoppie Latul. Is lalu dapat kesempatan dan langsung nyeroscos soal akulturasi budaya mulai dari pendudukan kaum Mestizo – orang orang berdarah campuran salah satunya ia sebut di Maluku, jejak alat musik Mandolin dan khasanah musik folk.
Ketika Ivan bertanya soal tema kerinduan yang banyak ditulis Is dalam lirik-lirik lagunya, Is pun mengafirmasi. Is kemudian menjawab seperti yang kurang lebih saya simpulkan begini.
Yang membuat folk itu adalah lirik-liriknya yang mengandung nilai-nilai tradisional, yang bertemu kerinduan-kerinduan. Musik yang bercerita tentang hal-hal sekitar. Misalnya kita yang negara maritim ini, tentang ikannya yang kaya, tentang pengetahuan nelayannya.
“Nelayan itu tahu kapan angin timur bertiup, melihat pertanda dari langit. Memang sih ada teknologi, tapi romantisme kurang”, katanya.
Fuad lalu menambahkan, folk yang besar di kota pun mereka menyerap tema tema yang lebih global. Ivan kemudian mengambil contoh duo folk Silampukau yang lirik-lirik lagunya bercerita hal-hal sekitar.
Selain panel kedua di atas, favorit saya lainnya adalah panel ketiga. Managing Editor Vice Indonesia Ardyan M Erlangga, CEO Tirto.Id Sapto Anggoro dan admin BaleBengong Putu Hendra Brawijaya alias Saylow bicara soal Semesta Online Media. Malam boleh semakin dingin, tapi topik panas jadi makin panas karena dimoderasi penulis idaman Felix Dass.
Saya ingin sarikan topik ini dalam beberapa kalimat yang saya kutip dari narsum. Jurnalisme itu adalah disiplin verifikasi. Di tengah banjir informasi yang bikin media bukan lagi sebagai gatekeeper, Trust adalah sesuatu yang mahal di lanskap media. Pentingnya fact checking. Sesi yang berjalan hampir sejam ditutup Felix dengan: enggak ada media yang netral jaman sekarang.
Panel keempat menghadirkan Mafmud Ikhwan dan Aan Mansyur yang bicara tentang proses, kerja-kerja menulis mereka, dan lingkungan mereka. Obrolan yang menarik, tapi kami meninggalkan venue duluan karena gigil yang tak tertahankan.
Dalam perjalanan turun dari Batu menuju Malang, saya mengkhidmatkan bincang pertemuan tadi. Meminjam kata Is, momen tadi barangkali adalah momen spiritual saya. Saya yang penikmat ini duduk diam mendengarkan perihal-perihal yang bermutu. Lalu setelahnya sparkling-sparkling itu barangkali akan jadi ya semacam puisi pendek atau remah seperti catatan ini.
Pagi ini, di tempat tidur kami bercakap-cakap dan mendengarkan lagu-lagu dari line up yang akan main di hari pertama. Tigapagi, Aray Daulay, dll. Akan ada Secret Guest. “Mungkin itu Banda Naira,” kata seorang teman. Semoga ada sparkling lainnya di hari kedua, ya. :)) [b]