Saya tergelitik menulis artikel ini setelah kunjungan keempat ke Denpasar.
Kebetulan juga saya follower @BaleBengong, media yang saya lihat sangat memperhatikan aspirasi warga, termasuk turis domestik macam saya yang kebetulan juga sangat mencintai Bali. Terlepas dari adat, budaya, suku dan agama yang berbeda.
Bali sendiri, di mata saya, merupakan pulau yang unik. Dari segi geografis juga diapit oleh laut dan bahkan samudera di selatan. Bentuk pulaunya sendiri seperti burung. Ada bagian kepala, punggung dan kaki. Saya dengar ada filosofi tersendiri mengenai bentuk pulau cantik ini.
Dari segi demografis, Bali juga sangat unik. Banyak ragam masyarakat di sana, baik dalam ragam suku, ras dan agama. Hal yang saya sangat sukai, umat Hindu sebagai mayoritas sangat welcome dengan keberagaman. Hak beribadah terjamin dengan banyak berdiri tempat ibadah non-Hindu, misalnya gereja, mesjid, wihara bahkan dalam ukuran gedung yang cukup besar.
Jujur saja, di antara daerah lain, di pulau inilah saya merasakan Bhinneka Tunggal Ika yang sebenarnya.
Untuk urusan kuliner, saya suka sekali dengan masakan Bali. Dari nasi ayam betutu hingga lawar. Belum lagi sambalnya yang enak banget, sangat sesuai dengan lidah saya yang orang Sumatera ini.
Saya sendiri kebetulan Chinese muslim, suku Sumatera (yang saya malas rincikan apa), and I have no problem living at Denpasar for 1 month. Sebagian besar pasti mempermasalahkan makanan ya? Bahkan ada yang bawa mie instan dan hanya makan di restoran franchise terkenal Amerika. Tidak berani makan sembarangan, kata mereka.
Di Bali, restoran dan warung makan sangat fair sekali menjual makanannya. Apabila memang mengandung babi, maka akan ditulis dengan sangat jelas. Apabila kita bertanya pasti akan dijawab dengan sangat santun dan sopan sekali, khas masyarakat Bali (memang logatnya lembut sekali).
Dan lagi, terkadang tulisan papan nama jelas sekali ditulis kata “babi”. Bahkan di beberapa warung makan, gambar si piggy sampai dilukis agar lebih jelas. Saya salut sekali dengan hal yang simpel semacam ini. Patut diacungi jempol karena membuat customer aware dan well-informed.
Sesuai dengan judul, ada yang mendasari saya membuat judul seperti ini. Baru di Bali saya melihat ada warung atau rumah makan menambahkan label agama di nama warungnya. Quite ridiculous, isn’t it?
Ya karena sejak kapan jenis kuliner dilandaskan pada agama gitu lho. Yang ada juga jenis kuliner disesuaikan dengan adat istiadat suku daerah tertentu.
Fenomena unik ini banyak saya temui. Mudah sekali menemukan nama warung semacam ini di Denpasar. Hal yang lumayan membuat saya heran mengapa hanya 1 agama yang bisa membuat warung beragama dan tidak ada warung beragama yang lain? Hal lebih lucu lagi ternyata tidak ada warung Hindu ya di Denpasar.
Saya sendiri muslim, namun saya tidak menyukai fenomena warung muslim. Sorry if I straight to the point.
Sepengetahuan saya, penamaan kuliner dengan agama kurang tepat. Biasanya kuliner dinamai sesuai dengan asal daerahnya. Misal warung Padang, warung Italia, restoran Jepang, restoran barat, restoran Cina, kuliner India, dan lain-lain.
Kekayaan Tradisi
Tentunya masakan di dalam restoran dan warung makan tersebut mencerminkan kekayaan tradisi daerah asalnya. Misal di restoran Jepang, akan ada makanan mentah dan sushi roll yang rata-rata segar. Atau di restoran India yang kaya dengan kari dan bumbu yang tajam. Ataupun di restoran Mesir dan Lebanon (Timur Tengah), yang juga kaya akan bumbu. Ataupun restoran Cina yang terkenal dengan mien dan tumisannya yang enak.
Warung Padang terkenal sekali dengan olahan daging sapi yang luar biasa. Siapa yang tidak kenal dengan rendang?. Atau warung pempek Palembang yang tentu saja menyajikan olahan ikan yang khas dengan cukanya yang pedas.
Namun, apakah ada ciri khas kuliner dari agama tertentu? Tentunya bingung bukan? Setahu saya sendiri, agama dipeluk oleh bermacam-macam ras dan suku, sehingga bingunglah saya “jenis makanan macam apa yang disajikan”.
Lha kalau yang memiliki warung muslim adalah suku Palembang, apakah jdnya kuliner muslim adalah kuliner Palembang? Kalau yang memiliki warung muslim adalah suku Jawa, apakah lantas kuliner muslim adalah kuliner Jawa? Kalau yang memiliki warung muslim adalah ras Arab, apakah lantas kuliner muslim adalah kuliner Arab?
Bingung kan? Anda saja bingung, apalagi saya yang cuma turis di Bali.
For your information, untuk nama mie saja tidak pernah menggunakan agama, namun nama daerah. Pernah mendengar tentang mie Aceh? Mie Jawa? Kedua jenis masakan mie tersebut sangat terkenal enaknya. Dan saya tidak pernah mendengar mie muslim, atau mie kristen, mungkin? Atau mie budha? Hehe, aneh kan?
Saya menganggap kuliner sendiri sebagai identitas dan seni yang indah, yang sepatutnya tidak dicampur adukkan dengan urusan agama. Toh, apabila memang takut berwisata kuliner di Bali, cari warung dan restoran yang memajang label “Halal” di papan namanya. Atau sebagai penggiat usaha kuliner untuk umat muslim, tentunya mengetahui standar halal, bukan?
Halal sendiri sebagai gold standard, dikeluarkan oleh MUI (untuk di Indonesia), dan berlaku untuk semua hal, namun lebih ditekankan untuk makanan. Apabila restoran dan warung makan tersebut memiliki eligibilitas yang baik, tentunya akan memikirkan penggunaan standar halal ini apabila ingin menarik customer beragama muslim, seperti saya.
Sertifikat dan cap tentunya akan dikeluarkan oleh MUI untuk restoran dan warung makan yang sudah memenuhi syarat dan memang menjalankan bisnis secara fair. Namun beberapa penggiat bisnis makanan terlalu pelit utk mengeluarkan biaya sertifikat halal dan dengan entengnya menambahkan nama “muslim” di belakang nama tempat usahanya.
Bisnis adalah tetap bisnis, mengapa tidak bermain fair dan lurus saja, apalagi bila kaitannya deal dengan konsumen.
Fair Play
Saya mendapatkan satu restoran yang memajang label halal di pajangan meja makannya. Restoran yang saya kunjungi adalah restoran Pizza Hut yang notabene adalah kuliner western. Saya salut sekali dengan apa yang dilakukan oleh pemilik Pizza Hut. Paling tidak mereka fair play dan cukup bermodal untuk berani mendaftarkan restoran mereka ke MUI. Konsumen pun well-informed dan tidak kebingungan.
Saya sebagai turis, tidak terlalu ahli dalam membahas keagamaan apalagi soal bisnis dan kuliner. Namun fenomena kuliner beragama ini sangat menggelitik, sebenarnya sih menggelisahkan ya, dan maaf sebelumnya, tidak perlu terjadi.
Sifat eksklusivitas sendiri tidak terlalu baik untuk melebur dalam keberagaman. Selain itu memang secara kaidah kuliner sendiri, penggunaan istilah agama tidak nyambung dengan makanan yang tersajikan. Filosofinya di mana?. Apabila memang sudah memenuhi kaidah halal, seperti tidak mengandung babi dan hewan disembelih sesuai standar halal, tentunya ada label resmi yang dikeluarkan oleh lembaga negara.
Mengapa lebih memilih menggunakan embel-embel agama daripada label resmi? Sebuah pertanyaan selalu berkecamuk di kepala saya ketika melihat warung tertentu di Denpasar
Saya sebagai pelanggan dan penggemar kuliner, akan lebih memilih untuk menikmati makanan di restoran dan warung makan yang fair play memajang label halal di papan namanya. Atau kalau memang tidak mau terlalu paranoid dengan makanan, pilihlah restoran dan warung yang menjual masakan non-babi. Atau apabila susah juga mencarinya cari general restaurant, atau warung umum saja dan pilih sayur, telur atau ayam.
Fyi, lagi, menurut saya restoran yang menjual penganan berbahan babi justru sedikit jumlahnya di Denpasar. Jauh lebih banyak restoran dan warung yang menjual ayam dan sayur lho. Karena itu menurut saya tidak susah mencari makan di sini. Berwisata tentunya ingin tanpa beban bukan? Wisata kuliner sendiri selalu mengiringi perjalanan.
Saya sangat enjoy dengan masakan Bali, belum lagi dengan panorama dan keramahan warganya. Keragaman budaya dan suku agama tentunya juga menjadi daya tarik Bali di mata dunia. Harapan saya, fenomena kuliner beragama ini ke depannya berkurang atau bahkan tidak ada di Bali.
Semoga kerukunan yang selama ini terbina selalu selaras ikut membangun citra Bali semakin baik di mata dunia. Selamat berwisata. [b]
wuih yummy sekali kuliner ini.. wajib dicoba nih cita rasanya.. nyammmm…
wah mantappp
jadi pingin kebalii
tolong jangan beropini yg buat keanekaragaman beragama jd pecah, situ seolah olah menyudutkan agama islam, sebenarnya gk perlu dipermasalahkan….