Bumi adalah kita, kita adalah bumi. Jangan memaksa bumi untuk menderita. Bumi adalah kita, kita adalah bumi. Mari pahami bumi.
Tampil mengenakan kaos merah dan memetik gitar, begitulah Fajar Merah menyanyikan lagu Bumi adalah Kita.
Fajar Merah melantunkan karyanya di depan puluhan peserta Festival Usaha Komunitas Mandiri di Bali, beberapa waktu lalu. Karya Fajar Merah ini menjadi lagu tema dalam festival yang mengakomodir usaha komunitas yang ramah lingkungan.
Fajar Merah ialah putra bungsu Wiji Thukul, aktivis yang hilang sekitar Maret 1998. Wiji Thukul tergabung dengan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER), bagian dari Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kaum pemuda dan mahasiswa mendirikan PRD sebagai partai independen yang menjadi oposisi rezim Orde Baru. Wiji Thukul menghilang bersama rekan-rekannya di PRD pasca dituduh menjadi biang kerusuhan pada 27 Juli 1996.
“Waktu itu aku berumur 4 tahun, aku tidak punya ingatan apapun bagaimana sosok bapak. Seperti apa dan kenapa bapak dihilangkan saat itu, aku belum tahu. Aku belum punya kenangan yang banyak tentang bapak,” tutur Fajar Merah.
Fajar tak merasa mengenal bapaknya. Wajar saja pada usia yang masih kecil tentu belum terlalu ingat. Ia hanya mendengar cerita dari keluarga dan teman-teman bapaknya. Ia tahu bapaknya adalah Wiji Thukul, seorang aktivis yang gemar menulis puisi bertema sosial.
Cerita saja tak akan cukup mengobati rasa rindu anak kepada bapaknya yang kini entah di mana. Wiji Thukul menghilang pada rezim Orde Baru dalam pemerintahan Presiden Soeharto.
Apakah Fajar merasa benci atau dendam?
“Aku sudah memaafkan, tetapi tidak melupakan. Memang seharusnya itu dituntaskan, siapa pelakunya dan lain-lain. Kita nggak akan musuhi mereka. Cuma harus ada keadilan di sini, karena memang tanpa keadilan itu nggak akan ada kedamaian,” tegas Fajar.
Nama Wiji Thukul selalu hidup karena karya-karyanya. Banyak orang yang kagum sekaligus simpati atas peristiwa yang menimpanya. Tapi kini tiada lagi Wiji Thukul. Salah satu penerusnya adalah remaja berusia 21 tahun bernama Fajar Merah. Sebagai anak kandung, Fajar sering dikait-kaitkan dengan bapaknya. Semua yang mengenal bapaknya tentu berharap ia akan mewarisi bakat berpuisi. Ternyata tidak demikian. Bakat merangkai kata berbentuk puisi itu hanya menurun pada kakaknya, Fitri Nganthi Wani.
“Dulu aku nggak mau sama sekali ada sangkut pautnya dengan bapak. Aku merasa bapakku itu freak dan lain-lain. Tapi sekarang aku merasa bahwa ini tugasku untuk meneruskan apa yang sudah disuarakan oleh bapak. Bapak seperti itu bukan karena hal-hal sepele. Dia begitu karena suara-suara rakyat saat itu tertindas oleh Soeharto. Sekarang aku justru bangga punya bapak seperti itu, walaupun akhirnya dihilangkan,” ungkapnya.
Beginilah cara Fajar bersuara melalui musik. Fajar banyak menulis lirik dan merangkainya menjadi lagu. Temanya seputar kehidupan berdasarkan apa yang ia lihat dan dengar. Fajar pun kerap diundang dalam berbagai acara. Fajar pun mengaku bahwa dirinya memang mengabdi untuk seni. Oleh karena itu, ia tak keberatan jika manggung tanpa dibayar.
“Ya asal ada transportnya dan penginapan yang ada atapnya ya nggak masalah lah,” ujarnya.
Fajar mengenal musik sejak TK. Fajar bermain musik bersama sepupunya. Saat itu Fajar memilih belajar menabuh drum, sedangkan sepupunya menyanyi dan memetik gitar. Setelah duduk di bangku kelas 5 SD mulai tertarik dengan gitar. Fajar tak pernah mengenyam pendidikan musik secara formal. Fajar pun mengaku dirinya belajar dengan orang-orang di kampungnya.
Di samping itu, Fajar menyebut YouTube sebagai salah satu guru terbaiknya dalam bermusik. Banyak musisi luar dan dalam negeri yang turut menginspirasi dalam perjalanannya bermusik. Dari sisi musikalitas, fajar menyukai The Beatles, Radiohead dan Nirvana. Fajar juga terpengaruh oleh Jim Morisson, John Lennon dan bapaknya sendiri, Wiji Thukul dalam hal penulisan lirik.
Beberapa musisi dalam negeri turut menjadi idolanya, sepeti Dadang (Dialog Dini Hari), Sawung Jabo dan Iwan Fals.
Selain tampil solo, Fajar juga membentuk band bernama Merah Bercerita. Mereka berangkat dari puisi-puisi Wiji Thukul dan meramu ke dalam bentuk musikalisasi. Mereka tidak bicara tentang hal-hal pribadi tetapi menyampaikan sesuatu yang seharusnya diketahui banyak orang. Misalnya pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan dan tema sosial lainnya. Lewat musik, mereka ingin mencegah orang lain melakukan kesalahan yang sama.
“Menurutku musik adalah media yang paling enak untuk menyampaikan pesan dari senang sampai marah.. Kita bisa mengambil suasana musik lebih pendengar lebih mengangkap itu,” ujarnya.
Merah Bercerita sedang dalam proses pembuatan album. Mereka telah merekam 10 lagu yang kini sedang memasuki proses mixing dan mastering. Seolah tak ingin tergesa-gesa, bahkan Fajar dan kawan-kawannya belum memikirkan tampilan atau packaging albumnya. Di samping merilis album bersama bandnya, Fajar punya keinginan untuk membuat album solo.
“Sebenarnya aku ada rencana untuk bikin album solo, tapi bukan karyaku yang ada di situ. Aku pengen buat Tribute to Wiji Thukul. Semua lagu-lagu itu diambil dari puisi-puisi beliau. Aku sudah punya 7 lagu yang mengadopsi dari puisi-puisi Wiji Thukul,” jelasnya.
Sebagian besar musisi tentu ingin terkenal dan melahirkan karya melalui label musik. Tetapi Fajar tak tertarik. Fajar merasa menciptakan karya untuk umum, sehingga tak perlu dikomersilkan. Fajar menganggap semua orang memang butuh uang, tapi bukan dengan cara seperti itu. Fajar pun membebaskan siapa saja yang ingin menikmati karyanya.
Fajar yang mengaku baru pertama kali ke Bali mengungkapkan rasa kagum sekaligus prihatin. Fajar pun melontarkan harapan agar Bali tak sembarangan melakukan pembangunan. “Aku senang lihat pemandangannya. Cuman ya jangan dibangun terus lah. Cukup seperti ini, menurutku udah terlalu penuh,” tutupnya sambil berpesan. [b]