Teks dan Foto Anton Muhajir
Awal Mei lalu, wacana perlunya transportasi kereta api di Bali kembali muncul. Penyampai ide itu, kali ini, adalah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Ide ini tak mustahil, kok. Kita bisa berkaca dari Belanda..
Tulisan ini berdasarkan pengalaman saya sendiri selama menggunakan kereta api di Belanda. Meski berbeda jauh situasinya, bukan tak mungkin untuk menerapkannya di Bali.
Selama tiga minggu di Belanda, saya tinggal di Hotel Bastion, Bussum, di daerah pertengahan Belanda. Persis di depan hotel saya stasiun kereta Bussum Zuid. Dari stasiun ini, saya pergi ke beberapa kota lain untuk jalan-jalan atau kunjungan lapangan.
Bussum Zuid termasuk stasiun kecil. Di sana hanya ada dua halte di masing-masing sisi rel kereta. Tidak ada kantor stasiun layaknya di Indonesia. Untuk membeli tiket, penumpang bertransaksi di mesin tiket. Ada yang pakai kartu, ada yang pakai koin.
Mesin penjual tiket itu menggunakan dua bahasa, Belanda dan Inggris. Penumpang tinggal memasukkan data-data tujuan, kelas tiket (satu atau dua), jenis tiket (satu kali perjalanan atau bolak-balik), jumlah pembeli, dan cara pembelian (kartu atau koin). Karena tak punya kartu, saya dan sebagian besar teman selalu pakai koin.
Btw, ini pula mungkin alasan kenapa kami harus selalu siap koin. Dengan begitu tiap orang di Belanda juga harus siap sedia koin di kantongnya kalau mau bepergian dengan kereta api terutama di stasiun-stasiun kecil. Loket pembelian tiket dengan uang tunai hanya tersedia di stasiun besar seperti Amsterdam atau Utrecht.
Di stasiun kecil ini tersedia tempat parkir untuk mobil dan sepeda gayung. Saya tak pernah melihat sepeda motor di tempat parkir ini. Penumpang kereta bisa memarkir kendaraannya di sini.
Tarif naik kereta tergantung tujuannya. Ya iyalah. Stasiun terdekat dari Bussum Zuid seperti Hilversuum Noord atau Naarden Bussum, seharga 2 euro sekali jalan. Kalau ke Amsterdam Central, dengan lama perjalanan sekitar 20 menit, seharga 8,10 euro bolak-balik. Kalau ke Utrecht seharga 8,40 euro. Semuanya kelas 2 yang kira-kira sama nyamannya dengan kelas bisnis kereta api di Indonesia.
Kereta api di Belanda sangat tepat waktu. Kereta tak akan berangkat lebih awal, apalagi telat. Misalnya pukul 7.37, maka kereta pasti akan berangkat pukul 7.37, bukan 7.40 atau 7.35. Ada jam di dekat tiap halte kereta dengan papan informasi di sampingnya. Papan itu memberi info kereta yang akan berangkat beserta stasiun-stasiun yang dilewati. Kereta dari Amsterdam Central ke Bussum Zuid, misalnya, akan melewati antara lain Amsterdam Amstel, Amsterdam Muderpoort, Weesp, Naarden Bussum, dan seterusnya.
Kadang-kadang, jam keberangkatan antar-kereta itu sangat berdekatan. Hanya selisih dua tiga menit. Ini yang perlu diperhatikan seksama. Salah pilih kereta bisa kesasar turun di stasiun bukan tujuan kita.
Naik kereta api di Belanda sangat menyenangkan selain harga yang relatif mahal, apalagi kalau dibandingkan dengan harga kereta di Indonesia. Tapi ya harga mahal itu setara dengan pelayanannya.
Mengaca pada Belanda, rasanya tak mustahil kereta api untuk diterapkan di Bali. Ini yang saya bayangkan. Stasiun pusat kereta api ada di sisi timur Denpasar. Misalnya sekitar Jl Ida Bagus Mantra. Untuk ke sana ada bis umum layaknya Transjakarta dari beberapa terminal seperti Ubung, Tegal, atau Kreneng. Penumpang tinggal naik motor atau sepeda ke terminal terdekat lalu ke stasiun.
Kereta api ini melayani ke semua kabupaten di Bali seperti Karangasem, Negara, Singaraja, dan seterusnya. Kalau ada kereta api seperti ini, kita mungkin tak perlu lagi tergantung pada kendaraan pribadi seperti sepeda motor dan mobil. Perjalanan lebih santai. Jalan raya lebih sepi. Lingkungan berkurang dari polusi.
Sayang, kereta api di Bali masih jadi mimpi.. [b]
jangan membandingkan dulu Trein d NL dng KA di Bali yg blm ada… sistem KA di pulau jawa yg notabene sdh lama dibangun saja sistem msh kacau. Kalau dibali kayaknya topografinya tidak memungkinkan untuk dibangun KA…. ^^
sebenarnya bagus kalo semuanya bisa tertata dengan baik, tapi kadang ada pejabat yg gak mau rakyatnya enak, apapun mudah, kalo semua tertata dan tersistem dengan baik maka pejabat yg doyan samping kanan kiri itu yg menderita, karena gak ada sampingan, makanya ada pepatah kalo bisa di persulit mengapa harus di permudah. bisa saja kereta api di indonesia mencontoh kaya singapor, tp pemerintah gak mau, makanya jgn heran walopun puluhan tahun kedepan jg gak berubah, karena kalo pake kereta mereka gak bisa pamer mobil mewah. bagaimana dgn rakyatnya,,, rakyat yg di contoh pemimpinnnya……
setau ik sih, notabene itu dipakai buat surat….bukan buat kereta….hotferdomseh…gobse…