Pemprov Bali punya empat utang penting di ulang tahunnya.
Tepat pada 14 Agustus 2017 Pemerintah Provinsi Bali merayakan ulang tahun yang ke-59. Minggu ini Indonesia juga merayakan peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72. Seiring bertambahnya usia tentu cukup banyak capaian yang telah dilakukan.
Namun, Indonesia dan khususnya Pemerintah Provinsi Bali tetap harus berbenah pada beberapa sektor. Ada empat isu besar terkait penegakan hukum di mata YLBHI LBH Bali.
Pertama, konstitusi menjamin bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Jaminan itu tidak hanya terbatas pada tanggung jawab ekonomi tetapi juga jaminan sosial dan pemenuhan hak atas bantuan hukum.
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan tanpa membedakan status sosial, budaya, ekonomi, maupun agama.
Ada pula hak atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang berhadapan dengan hukum. Hal ini diatur untuk memastikan pemenuhan jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil (fair trial) dan persamaan di muka hukum (equality before the law).
Prinsip tersebut terdapat dalam International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diakomodir dalam konstitusi dan telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005.
UU itu meyatakan bahwa pemberian bantuan hukum kepada warga negara merupakan upaya untuk memenuhi dan sekaligus implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara akan kebutuhan akses terhadap keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law).
Undang-Undang tentang Bantuan Hukum menjadi dasar bagi negara untuk menjamin warga negara khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin untuk mendapatkan akses keadilan dan kesamaan di hadapan hukum.
Pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menambahkan, “Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindakan pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.”
Namun, tidak semua tersangka/terdakwa dapat memperoleh akses bantuan hukum sehingga masyarakat miskin masih tergolong rentan intimidasi hingga kriminaisasi. Walapun Negara telah mensahkan Undang-undang Bantuan Hukum, tetapi di tingkat daerah Provinsi Bali maupun sebagian besar kabupaten/kota di Bali belum menjamin, menghormati dan melindungi hak-hak warganya khususnya hak bantuan hukum. Hanya kabupaten Karangasem yang mensahkan Perda Bantuan Hukum.
Kedua, walaupun Provinsi Bali telah mencanangkan Provinsi Layak Anak tetapi belum tersedia akses dan fasilitas yang memadai untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Misalnya melalui rumah aman yang memadai yang saat ini hanya tersedia 1 (satu) unit rumah aman di Bali, sementara LPKS tidak berada di Bali.
Anak korban tindak pidana untuk memperoleh keadilan harus dibebankan dengan biaya visum. Tidak semua Rumah Sakit memberi bebas biaya bagi keperluan visum termasuk Rumah Sakit Umum Provinsi Sanglah. Ditambah lagi, walaupun biaya konsultasi psikologis /psikiatri telah ditanggung dan disediakan oleh P2TP2A namun biaya obat yang harus dikonsumsi korban menjadi tanggung jawab dari keluarga korban.
Hal ini akan menghambat penyembuhan korban ketika keluarga korban tidak mampu untuk membeli dikarenakan tidak adanya biaya.
Anak berkonflik dengan hukum yang berada di LPKA harus kehilangan kesempatan untuk mengenyam pendidikan karena tidak tersedia akses pendidikan formal yang disediakan pemerintah. Upaya reintegrasi tidak dilakukan secara maksimal oleh Dinas Sosial. Akibatnya, anak yang berkonflik dengan hukum tidak berani untuk keluar dari LPKA. Bahkan anak mendapat penolakan oleh keluarga dan masyarakat.
Dalam kasus yang didampingi YLBHI LBH Bali mengenai meninggalnya seorang anak perempuan berumur 1 tahun 3 bulan pada 20 Januari 2015 di Desa Sidemen, walaupun YLBHI LBH Bali sudah melaporkan bahkan mengadu ke aparat Kepolisian Polsek Sidemen. Kasus pun kemudian dilimpahkan ke Polres Karangasem, DPRD Provinsi Bali dan Gubernur Bali dalam mimbar. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan penanganan kasus.
Di samping itu, pemerintah dan aparat penegak hukum juga tidak serius menangani kasus meninggalnya seorang anak di Lapangan Puputan akibat tersetrum air minum otomatis. Kasus ini tidak mendapatkan penyelesaian bahkan cenderung diabaikan.
Beberapa media internasional juga memberitakan Bali sebagai surga bagi para pedofil, di mana yayasan anak maupun panti asuhan justru merupakan tempat yang rentan menjadi target para pedofil. Namun hingga saat ini YLBHI LBH Bali belum melihat pemerintah melakukan pengawasan intensif sebagai bentuk pencegahan terhadap meningkatnya kasus pedofil di Bali.
Ketiga, berdasarkan data Disnaker dan ESDM Provinsi Bali, jumlah pengawas ketenagakerjaan di Provinsi Bali sebanyak 24 orang, dan mediator sebanyak 5 orang dengan jumlah perusahaan terdaftar di Bali per-April 2017 sebanyak 8.513 perusahaan. Jumlah pengawas dan mediator tentunya tidak sebanding dengan jumlah perusahaan, dimana setiap pengawas memiliki kewajiban untuk mengawasi 355 perusahaan yang berada di Bali.
Hal ini menjadi persoalan. Bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan? Apakah pengawasan yang dilakukan bisa menjamin perusahaan tidak melakukan perbuatan curang yang merugikan pekerja baik itu upah di bawah upah minimum, pemberangusan serikat pekerja, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak, penggunaan pekerja kontrak/outsourcing pada posisi penting maupun utama?
Tidak ada perusahaan yang mengajukan penangguhan upah pada tahun 2016 dan 2017. Namun, pengaduan yang masuk ke YLBHI LBH Bali masih ada perusahaan yang melakukan pemberangusan serikat pekerja dengan melakukan PHK terhadap pekerja yang menginisiasi Serikat Pekerja, membayar upah di bawah upah minimum, hingga penempatan pekerjaan utama sebagai pekerja kontrak.
Pemberian upah murah oleh perusahaan kepada pekerja bukan menjadi hal baru lagi dan bisa ditemukan di seluruh kabupaten/kota di Bali. Pekerja tidak memiliki posisi tawar dalam memperjuangkan hak-haknya bahkan rentan mendapat intimidasi mulai dari pekerja dibuat tidak nyaman sehingga mengundurkan diri bahkan PHK.
Hak-hak pekerja khususnya upah telah diatur dalam pasal 90 ayat (1) Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89. Ancaman pidana yang telah diatur pada pasal 185 dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Namun, tetap saja masih banyak perusahaan yang memberikan upah di bawah UMP/K. Hal ini disebabkan pemerintah di Bali belum hadir sepenuhnya dalam melindungi hak-hak pekerja mulai dari minimnya sosialisasi yang diberikan kepada pekerja, pengawasan yang dilakukan dan penindakan tegas yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang berlaku curang.
Keempat, pembangunan PLTU di Bali merupakan proyek infrastruktur nasional di bidang ketenagalistrikan yang menjadi bagian dari proyek percepatan pembangunan ketenagalistrikan di seluruh Indonesia.
Sejak beroperasinya PLTU Celukanbawang tahap 1 telah muncul dampak pencemaran lingkungan yang dirasakan oleh warga. Mulai dari berkurangnya sumber-sumber penghasilan dan kesehatan warga seperti berkurangnya hasil tangkapan ikan di laut, berkurangnya jumlah buah kelapa dari hasil kebun sampai terjangkitnya penyakit ISPA seperti batuk tehadap anak dan lansia.
Jika rencana pembangunan PLTU tahap 2 diteruskan tanpa melihat situasi dan kondisi masyarakat disekitar PLTU, maka hal ini akan mengulang persoalan yang sama oleh PLTU kepada warga, terutama persoalan perampasan hak hidup warga seperti hak atas tanah, hak atas kerja dan hak atas kesehatan yang layak.
Di sisi lain peran Balai Lingkungan Hidup (BLH) belum terlihat maksimal dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap dampak pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh PLTU Celukanbawang. Misalnya pembuangan limbah batu bara pernah dibuang diarea yang tidak jauh dari rumah warga. Pembuangan air panas kelaut melalui pipa bawah tanah yang membuat salah satu tanah warga jebol ke bawah. Tidak sedikit pula batu bara jatuh ke laut ketika proses pemindahan batu bara dari kapal kargo ke alat konveyor.
Seharusnya BLH aktif melakukan monitoring terhadap aktivitas PLTU Celukanbawang tahap 1 sebelum nantinya rencana pembangunan PLTU Celukanbawang tahap 2 dilaksanakan. Tujuannya agar persoalan pencemaran lingkungan dapat teratasi sesuai dengan dokumen AMDAL PLTU Celukanbawang.
Berdasaran uraian di atas, maka YLBHI LBH Bali menyatakan sikap mendorong aktif sekaligus menuntut kinerja Pemerintah Provinsi Bali yang kini memasuki usia ke-59, sebagai berikut:
Pertama, segera mengesahkan Perda Bantuan Hukum terutama di tingkat Pemerintah Provinsi Bali.
Kedua, bertindak serius dalam menciptakan Provinsi Layak anak yang tidak hanya terbatas pada jargon.
Ketiga, bertindak serius dalam menjalankan peran sebagai Pemerintah Provinsi dengan menindak perusahaan yang memberlakukan sistem upah murah di Bali dan menambah jumlah pengawas.
Keempat, pembangunan infrastruktur di Bali harus berpedoman pada Hak Asasi Manusia dan tidak menghasilkan dampak buruk terhadap lingkungan. [b]