I Gusti Ayu Wien punya cara sendiri untuk menolak reklamasi.
Pekerja swasta yang bekerja di Jakarta itu mendaki gunung tertinggi di Sumatera yaitu Gunung Kerinci di Jambi, lebih dari sebulan lalu. Di atas ketinggian 3.805 mdpl, dia pun mengibarkan bendera tolak reklamasi.
Gusti Ayu memulai perjalanan dua harinya dari Desa Kersik Tuo, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Jambi. Pada Minggu, 8 Mei 2016 pukul 10 setelah sarapan dia perempuan berusia 38 tahun itu berangkat ditemani pemandu Endatno dan Tukimin.
Berikut adalah cerita yang dia buat tentang pendakian tersebut.
Perjalanan dari tempat register sampe pos 1 aman. Semua berjalan lancar. Dari pos 1 ke pos 2, sekitar 2 jam, mulai turun gerimis kecil. Namun, kami tetap semangat melangkah karena takut kondisi bisa jadi tiba-tiba berubah. Kondisi Gunung Kerinci selama sebulan ini Siaga bahkan sempat Siaga 1.
Dari pos 2 kita menuju shelter 1 selama 1,5 jam. Hujan semakin deras, malah berubah badai. Jalanan menjadi sangat licin dan semakin berat untuk dilalui, terutama karena keseluruhan jalur Kerinci adalah mendaki. Tidak ada jalur datar sama sekali.
Di shelter 1, kami bertemu beberapa pendaki yang tidak bisa summit ke puncak karena kabut dan badai. Mereka terpaksa turun lagi.
Perjalanan makin berat dari shelter 1 ke shelter 2 karena jalur sudah mengharuskan lutut ketemu hidung karena saking tingginya tanjakan. Badai pun belum berakhir.
Namun, kami bertiga tetap semangat sambil tak henti mengucap doa masing-masing dalam hati.
Perjalanan dari shelter 1 ke shelter 2 kami tempuh selama tiga jam. Akhirnya pada pukul 4.30 sore kami sampai di pos 2 dan memutuskan untuk mendirikan tenda di sana. Sambil hujan-hujanan, tenda pun berhasil didirikan.
Kami kemudian menyiapkan late lunch. Hahahaha, makan siang pukul setengah 5 sore.
Setelah itu kami ngobrolin kemungkinan besok lanjut tidur di tenda masing-masing sambil menunggu hujan reda. Kami di shelter 2 bertemu pendaki dari Palembang. Mereka kemudian bergabung. Lumayan karena dapat teman perempuan. Hehehe..
Pukul 10 kita makan malam kemudian tidur lagi persiapan untuk summit pukul 2.30 pagi. Namun, karena hujan belum juga berhenti, maka kami semua bukannya tidur tapi sibuk sembahyang dan berdoa dari tenda masing-masing. Hasilnya, mulai pukul 1 dini hari hujan berhenti dan cuaca berangsur cerah.
Pukul 2.30 pagi setelah sarapan seadanya, kami memulai pendakian menuju puncak. Jalan di gelapnya malam dengan medan yang super duper sulitnya di mana jalan setapaknya ada di antara belahan batu. Akibatnya, kaki harus melangkah saling susul saking sempitnya.
Di beberapa bagian bukan cuma dengkul ketemu hidung tapi kami juga harus bisa mengangkat badan full body karena benar-benar tak ada pijakan.
Dari shelter 2 ke shelter 3 benar-benar paling parah treknya.
Setelah shelter 3 kita mulai summit. Tapi jalur summit bukan berarti gampang. Jalur summit tidak ada pohon sama sekali. Hanya ada bebatuan. Capek dan putus asa mewarnai pendakian dari shelter 3 ke puncak.
Tapi astungkara pukul 6.00 pas matahari muncul sempurna kami sudah tiba di puncak.
Seperti keinginan saya, hal pertama yang kami lakukan adalah sembahyang bersama walau beda agama. Pak Tukimin ternyata penghayat kepercayaan. Jadi, dia bareng sembahyang sama saya. Senang banget karena saya juga membawa banten dan beberapa canang.
Selama dua jam di puncak, kami harus turun karena bau belerang sudah mulai menyengat. Pukul 12 kami sudah kembali ke tenda, persiapan makan siang, kemudian langsung turun.
Sampai di shelter 1, pemandu saya dapet berita kalau terjadi “batuk” lagi di puncak. Ohh my GOD!! Itu beneran izin Beliau banget saya bisa tangkil untuj mengibarkan bendera di puncak.
Akhirnya pukul 6 sore kami sudah kembali lagi ke desa dan menunggu travel yang akan membawa saya kembali ke Padang untuk selanjutnya kembali ke rumah.
Itulah perjalan luar biasa saya selama dua hari ini. Semoga misi ini diberkati oleh-Nya dan Sang Hyang Widhi mengabulkan banget doa saya.
Selama saya summit sampai ke puncak dan turun lagi, cuaca benar-bener cerah. Padahal sudah beberapa bulan belum pernah secerah itu, kata Pak En ranger saya yang sudah bolak-balik naik ke sana.
Jalur pendakian di Kerinci itu sebenernya cuma satu tapi banyak yang hilang karena kehalimunan, katanya.
Di atas shelter 3 di lereng batu ada namanya Tugu Yudha. Di situ dibuatkan tumpukan-tumpukan batu untuk mengenang teman-temannya yang hilang di Kerinci.
Namun yang dibuatkan plakat cuma lima. Salah satunya bernama Yudha yang pertama dibikinin plakat. Makanya namanya Tugu Yudha, meskipun yang hilang di sana banyak. [b]