Teks dan Foto Agung Ardana
Berkunjung kembali ke Desa Trunyan, tepatnya ke kuburan desa, menjadi pengalaman tersendiri buat saya dan tamu Perancis yang saya pandu. Kali ini saya berkunjung bersama rombongan “Sun Voyages” dari Perancis.
Cuaca di pelabuhan kedisan siang itu sangat cerah. Gelombang air Danau Batur agak besar tapi tidak mengurangi semangat kami menyeberang menuju kuburan desa Trunyan. Perjalanan mengunakan jalur danau (dengan boat) membutuhkan waktu sekitar 15- 20 menit. Boat kami melaju dengan latar belakang gunung batur di kejauhan, sungguh pemandangan alam yang indah.
Untuk menyeberang ada beberapa tarif naik boat. Ini info harga dalam rupiah di Pelabuhan Kedisan, Kintamani:
1. Satu orang @375.000
2. Dua orang @188500 = 377.000
3. Tiga orang @126.850 = 380.500
4. Empat orang @95.625 = 382.500
5. Lima orang @ 77.100 = 385.500
6. Enam orang @64.700 = 388.000
7. Tujuh orang @ 55.800 = 390.000
8. Info lebih lengkap hub saya di 081338667808
Desa Trunyan merupakan salah satu desa Bali asli atau Bali mula. Tradisi uniknya adalah tidak melakukan tradisi pembakaran atau mengubur jenazah kalau ada salah satu penduduk desa yang meninggal dunia. Mereka adalah orang Bali yang memeluk agama Hindu, seperti umumnya masyarakat Bali lainnya.
Desa ini terletak di pingir Danau Batur. Akses jalan sudah masuk sampai desa ini, tetapi perjalanan naik boat melewati danau memberikan pengalaman tersendiri.
Sesampai kami di dermaga desa, kami di sambut penduduk lokal yang sudah menunggu dan langsung mengantar kami ke kuburan desa. Situasi dan kondisi di sini sekarang sedikit lebih baik dan tertata. Sayangnya, kebiasaan untuk meminta-minta uang kepada tamu, masih kerap terjadi.
Areal kuburan Desa Trunyan tidak terlalu besar. Ada sebuah pohon besar berdiri di tengah. Menurut Pan Pani, salah seorang penduduk desa yang juga pemandu lokal pohon besar itu adalah Taru Menyan, dari kata taru yang berarti pohon menyan dan harum menyan. Nama pohon inilah sal kata desa Trunyan. Pohon itu diperkirakan berusia ribuan tahun. Aneh nya ukurang pohon ini tidak banyak mengalami perubahan.
Pengamatan saya, pohon ini seperti pohon bunut (pohon nyatoh yang punya nama ilmiah Palaguim Spp). Getah kayunya berwarna merah. Pohon ini dipercaya penduduk setempat yang meyerap bau busuk dari jenazah yang mengalami proses pembusukan. Ajaib!
Pan Pani menceritakan cikal bakal penduduk desa tidak membakar atau mengubur jenazah. Alkisah dahulu penduduk desa kebingungan karena muncul bau harum yang sangat menyengat. Setelah ditelusuri ternyata bau harum itu berasal dari sebuah pohon besar yang dikenal sebagai Taru Menyan. Bau harum itu kadang sampai membuat penduduk pilek.
Atas ide tetua di desa, diletakanlah jenazah di bawah pohon untuk menetralisir bau harumnya. Ide itu berhasil. Penduduk tidak lagi terganggu dengan bau harum yang menyengat. Tata cara penguburan itu masih tetap di laksanakan sampai sekarang.
Tidak semua jenazah penduduk desa diletakkan di sini. Ada peraturan yang berlaku, karena jumlah jenazah yang dikubur di kuburan ini tidak boleh lebih dari 11 jenazah, maka yang diletakkan di sini adalah jenazah yang meninggal secara wajar dan pernah menikah. Nama lain kuburan ini adalah Sema Wayah.
Selain Sema wayah ini Trunyan juga memiliki kuburan lain. Apabila penyebab kematiannya tidak wajar, seperti karena kecelakaan, bunuh diri, atau dibunuh orang, mayatnya akan diletakan di lokasi yang bernama Sema Bantas. Sedangkan untuk mengubur bayi dan anak kecil, atau warga yang sudah dewasa tetapi belum menikah, akan diletakan di Sema Muda.
Secara ilmiah kenapa jenazah tidak mengeluarkan bau busuk, seperti yang terjadi di desa Trunyan ini masih menjadi tanda tanya. Ini yang mesti dipelajari lagi. Selamat mengenal di Trunyan, Bali! [b]