Curam lembah dengan pemandangan kebun dan sawah menyambut setiap tamu di Bali Pulina.
Udara segar dengan cuaca cerah pagi awal Mei lalu. Rasanya asri sekali dengan hijau kebun dan sawah di sana. Bali Pulina sedang naik daun. Turis-turis domestik pun turut menyerbu tempat ini.
Padahal, turis lokal biasanya tidak terlalu suka dengan wisata berbasis pertanian alias agrowisata. Kini mereka ikutberduyun-duyun ke tempat ini. Selain menikmati pemandangan di Bali Pulina, tentu saja untuk berselfie ria.
Salah satu lokasi favorit untuk berselfie di Bali Pulina adalah Kembang Kopi Stage. Pangggung dari kayu ini dibangun di bibir tebing. Seperti mengambang di atas kebun. Bentuknya memang serupa bunga kopi, seperti namanya.
Di atas Kembang Kopi Stage, pengunjung bisa melihat seluruh kawasan ini. Termasuk vila dan bale di mana para pengunjung duduk menikmati kopi di antara asri hamparan kebun khas Bali.
Tempat wisata ini berada di Banjar Pujung Kelod, Desa Sebatu, Kecamatan Tegalalang, Gianyar. Sekitar 30 menit dari Ubud, desa wisata internasional Bali atau 1 jam dari Denpasar. Ancer-ancer paling gampang adalah dari Ubud ke arah Kintamani lewat kawasan Tegalalang. Bali Pulina berada di kiri jalan, sekitar 500 meter setelah kawasan wisata terasering sawah Ceking.
Sentuhan Berbeda
Agrowisata sebenarnya bukan hal baru di Bali. Di kawasan antara Denpasar – Kintamani banyak model wisata begini. Mereka memadukan pertanian dan pariwisata. Tamu-tamu, sebagian besar turis asing, diajak naik sepeda, jalan kaki, atau treking di kebun-kebun petani.
Berada di ketinggian sekitar 500-700 meter di atas permukaan laut, kawasan ini cocok untuk tanaman umur panjang terutama kopi dan kakao. Begitu pula dengan tanaman obat-obatan.
Biasanya, para turis akan menyusuri pematang-pematang kebun di antara rindang pohon kakao. Mereka juga melihat tanaman kopi, termasuk biji-biji kopi luwak yang diproduksi luwak di dalam kandang.
Hal baru di Bali Pulina, setidaknya sejauh yang saya tahu, adalah Kembang Kopi Stage, panggung terbuka di bibir tebing. Panggung ini memberikan sentuhan berbeda. Memadukan cita rasa seni melalui bentuknya yang serupa bunga kopi dengan pertanian selaras alam.
“Kami menerapkan pertanian organik di sini,” kata salah satu pemandu.
Agrowisata seperti Bali Pulina inilah yang bisa jadi salah satu jalan keluar bagi Bali yang kini terus dieksploitasi demi pariwisata. Pariwisata massal telanjur dianggap sebagai satu-satunya model pariwisata di Bali. Padahal, pariwisata model ini telah mengorbankan banyak hal di Bali, terutama lahan pertanian.
“Bali tidak cocok kalau terus dikelola dengan watak mass tourism, seperti yang dominan terjadi saat ini,” kata Nyoman Sukma Arida, dosen Program Studi Destinasi Pariwisata Universitas Udayana. Sukma juga doktor alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan disertasi tentang ekowisata di Bali.
Gerilya dari Desa
Di beberapa lokasi lain di Bali, model pariwisata terpadu dengan pertanian ini sudah berjalan. Salah satu yang jadi ikon mungkin Jaringan Ekowisata Desa (JED). Agrowisata hanya salah satu bagian dari ekowisata.
Empat desa di Bali difasilitasi Yayasan Wisnu, lembaga advokasi lingkungan dan pendampingan warga desa, membentuk JED pada 2002. Keempat desa tersebut Tenganan dan Plaga di Karangasem, Plaga di Badung, dan Nusa Ceningan di Klungkung.
Awalnya, mereka juga membentuk jaringan distribusi barang seperti sayur mayur dan ikan. Namun, mereka kemudian lebih fokus pada pengembangan pariwisata berbasis lingkungan, ekowisata. Pengelolaan dilakukan secara profesional oleh koperasi yang dimiliki bersama empat desa tersebut.
Empat desa itu masing-masing memiliki karakter sendiri. Tenganan adalah desa tua yang terkenal dengan adat dan budaya berbeda dibandingkan Bali pada umumnya. Nusa Ceningan termasuk salah satu desa di gugusan pulau Nusa Penida. Plaga terkenal dengan pertanian kopi dan sayur. Adapun Desa Sibetan merupakan pusat produksi salak.
Di masing-masing desa tersebut, seperti juga di Bali Pulina, warga desa tak harus beralih profesi. Sehari-hari mereka tetap bertani tapi juga memandu turis yang berkunjung ke desa mereka.
Desa-desa itu bergerilya untuk turut menikmati kue besar bernama pariwisata meskipun mereka hanya menikmati remah-remahnya.
Turis pun menikmati Bali yang “apa adanya”. Bukan Bali yang sudah dipoles sedemikian rupa demi citra. Di desa-desa itu, kita bisa menikmati asrinya pedesaan, aroma kebun dan persawahan, juga cerita-cerita sederhana dari warga desa.
“Lebih dari itu, JED juga menjadi upaya untuk memiliki kembali Bali yang terlalu banyak dieksploitasi atas nama pariwisata,” kata I Gede Astana Jaya, Manajer JED.
Jalan Tengah
Ada beberapa alasan kenapa ekowisata bisa menjawab eksploitasi Bali yang berlebihan dalam pariwisata massal.
“Ekowisata mengarusutamakan respek terhadap warga lokal dan kelestarian lingkungan,” kata Sukma. Ekowisata bukanlah pariwisata yang semata mengejar banyaknya kunjungan dan penghasilan. Ada pembatasan jumlah turis sesuai daya dukung lingkungan.
Ekowisata juga menjadi upaya untuk membagi kue pariwisata yang selama ini hanya menumpuk di jantung pariwisata Bali, terutama Kabupaten Badung dan Denpasar. Ekowisata banyak dilakukan di daerah lain, seperti Klungkung dan Karangasem. Dengan demikian kue pariwisata jadi terbagi lebih banyak ke daerah.
Dengan cara ini pula warga-warga desa bisa tetap menjadi pemilik pariwisata di Bali. Tidak perlu ada investor karena memang tidak perlu membangun hotel dan vila mewah untuk para turis. Petani tak perlu menjual lahannya dan kemudian menjadi buruh di tanah sendiri.
Karena itulah model-model pariwisata seperti Agrowisata Bali Pulina harus dikembangkan lebih banyak lagi. Agar kue manis bernama pariwisata bisa dinikmati lebih banyak warga lokal tanpa harus menjual tanahnya sendiri. Juga agar gemerincing dolar dari pariwisata tak hanya menumpuk di tangan investor.
Untuk itu, menurut Sukma, Bali memerlukan pemimpin yang berpihak kepada pariwisata kerakyatan. Bukan hanya menghamba pada kepentingan investor.
“Mengubah Bali menjadi 100 persen ekowisata sesuatu yang mustahil. Jalan tengahnya dengan membuat kebijakan pariwisata yang lebih memberikan ruang berpartisipasi bagi masyarakat dan ‘memfilter’ investor yang lebih pro lingkungan,” Sukma melanjutkan.
“Berikan masyarakat lokal ruang gerak, maka mereka akan mampu mengelola sumber dayanya dengan baik,” ujarnya. [b]
Comments 1