Teks I Wayan Suardana, Foto Ilustrasi Anton Muhajir
Rupanya rongrongan terhadap Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang RTRW Provinsi Bali 2009-2029 makin bertambah.
Setelah pemerintah kabupaten/kota di Bali beramai-ramai menuntut revisi atas Perda RTRW tersebut, saat ini ada upaya menerabas perda tersebut dari pemerintah pusat. Hal ini terkait dengan penyelenggaraan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) Summit (KTT APEC) 2013 di Bali pada November 2013.
Dengan alasan untuk memberi kenyamanan kepada para kepala negara yang hadir serta meningkatkan citra Indonesia di mata intenasional sebagai negara yang punya kekayaan, destinasi wisata yang menarik, pemerintah pusat berencana membangun sebuah kawasan wisata terpadu Convention Bali Intenational Park untuk sarana KTT APEC.
Pembiayaan ini sepenuhnya berasal dari swasta dan akan dibangun oleh sebuah perusahaan bernama PT Jimbaran Hijau. Adapun lahan yang digunakan untuk pembangunan tersebut seluas sekitar 250 ha dengan rincian pembangunan tahap awal hanya menggunakan lahan seluas 54 ha dan sisanya dibiarkan untuk kawasan hijau.
Sekilas rencana pembangunan megaproyek ini terkesan indah, namun bila dicermati sesungguhnya gagasan ini sangat patut untuk dipertanyakan. Mengingat megaproyek ini direncanakan dibangun di kawasan Bukit Jimbaran, sementara secara substantif daerah Bali Selatan sesungguhnya adalah daerah moratorium pembangunan terlebih pembangunan yang mengeksploitasi ruang secara membabi buta atas nama citra bangsa.
Namun, patut dipertanyakan, benarkah sesederhana itu pendirian megaproyek Convention Bali International Park tersebut?
Agenda Pemodal
Bila mencermati alasan pembangunan megaproyek ini semata-mata dibangun atas nama kenyamanan peserta KTT APEC berkorelasi pencitraan agar Indonesia dipandang sebagai negara yang punya kekayaan, destinasi wisata yang menarik, menurut penulis, alasan tersebut tidak sepenuhnya benar. Selama ini Bali sudah menyelenggarakan ratusan kali pertemuan internasional dan belum pernah ada komplain atas kenyamanan penyelenggaraannya.
Pun kalau dianggap bahwa tempat yang selama ini digunakan tidak layak lagi, akan lebih baik kebijakannya adalah memperbaiki sarana yang ada daripada membangun kawasan baru dengan risiko ekologis yang sulit terhitung. Sementara apabila logika pencitraan sebagai negara yang punya kekayaan pariwisata, dalam logika awam pun diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang dikenal karena keindahan alamnya dan bukan karena kemajuan manajemen negaranya. Sehingga alasan tersebut menurut penulis adalah alasan klise.
Jika merefleksi pemanfaatan ruang di Bali dalam kurun beberapa dekade, maka dapat dilihat bahwa logika politik pemanfaatan ruang Bali ditentukan oleh ekonomi politik pariwisata. Logika ini tentu saja bertentangan dengan keadilan ekologis. Di mana ekonomi politik pariwisata semata-mata menempatkan keuntungan dengan laju investasi tinggi dan mengabaikan kelangsungan kelestarian lingkungan.
Keadilan ekologis tidak pernah terwujud, di mana kesejahteraan rakyat tidak berbanding lurus dengan keuntungan pemodal atas industri pariwisata.
Secara kasat mata, pembangunan megaproyek ini didanai oleh pihak swasta, artinya terdapat simbiosis mutualisme dalam kepentingan pembangunannya. Di satu sisi pemerintah memberikan akses, baik perizinan maupun infrastuktur kepada pemodal/swasta, sedangkan pihak swasta cukup berkonsentrasi untuk mengumpulkan dana sebesar Rp 2,7 triliun.
Apabila ini benar adanya maka kepentingan yang utama dalam megaproyek ini adalah kepentingan para pemodal. Argumentasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Dengan terbitnya Perda RTRW Provinsi Bali 2009-2029 yang diikuti dengan kebijakan moratorium investasi di daerah Bali Selatan maka keadaan ini akan menghambat keinginan para pemodal untuk melakukan investasi skala besar di sana. Berarti pula keinginan para pemodal akan berhadapan vis a vis dengan kebijakan tersebut sehingga akan sangat menyulitkan realisasi keinginannya.
Kredo pengusaha selalu bersinergis dengan penguasa sepertinya terlihat jelas dalam rencana ini. Guna menghindari hambatan RTRW Provinsi Bali, pemodal/investor menggunakan power kekuasaan pemerintah pusat dengan berlindung di balik alasan kepentingan penyelenggaraan APEC. Dalam hal ini pengembang megaproyek memanfaatkan momentum penyelenggaraan KTT APEC dengan alasan kenyamanan dan citra bangsa di mata internasional untuk memuluskan investasi skala besar mereka.
Pemerintah pusat akan menekan pemerintah provinsi untuk merevisi Perda RTRW tersebut dengan alasan dinamika dan menganggap Perda RTRW sebagai dokumen yang harus dinamis dan tidak statis. Sehingga, dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah provinsi ada dalam posisi vis a vis. Maka pemodal sesungguhnya berdiri di bawah ketiak pemerintah pusat untuk merombak Perda RTRW Provinsi Bali. Sementara megaproyek itu pasca-KTT APEC akan dikelola oleh investor dengan pemanfaatan secara leluasa guna penumpukan keuntungan mereka.
Lalu apa dampaknya bagi Bali? Pertama, sejarah penegakan Perda RTRW di Bali selama ini selalu diwarnai inkonsistensi pemerintah. Pelanggaran bhisama di Tanah Lot, pengabaian dampak lingkungan atas reklamasi Pulau Serangan adalah bukti nyata sikap tersebut. Seiring dengan kesadaran ekologis, penataan ruang menjadi lebih ketat, artinya konsekuensi pelanggaran RTRW juga lebih ketat.
Apabila rencana pembangunan megaproyek ini diberikan maka akan menjadi preseden buruk bagi penegakan RTRW Provinsi Bali, sekaligus memberikan pintu masuk selebar-lebarnya bagi tuntutan revisi perda tersebut oleh pemerintah kabupaten/kota di Bali. Selain itu akan menambah pula daftar panjang inkonsistensi terhadap penegakan Perda RTRW di Bali.
Kedua, Perda RTRW Provinsi Bali adalah bagian dari implementasi otonomi daerah, di mana setiap daerah berwenang dalam melakukan pengelolaan daerahnya, termasuk dalam pemanfaatan ruang. Agenda pembangunan megaproyek yang merupakan agenda pemerintah pusat bahkan diklaim sebagai keinginan Tuan Presiden RI tentu saja harus disikapi secara arif.
Dalam konteks otonomi daerah pemerintah pusat seharusnya tetap menghargai wewenang pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan ruang. Apabila tidak maka terjadi kefatalan, di mana dominasi pemerintah pusat atas pemerintah daerah akan kental sehingga otonomi daerah menjadi absurd. Sehingga upaya revisi Perda RTRW dengan alasan kepentingan pemerintah pusat sepatutnya ditolak oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali.
Ketiga, daya dukung ekologis Bali menjadi pertaruhan dalam megaproyek ini. Sebagai pulau dengan gugusan pulau kecil, maka bebas ekologis Bali akan makin berat. Kebijakan moratorium investasi terutama dalam skala besar yang dicanangkan pemerintah provinsi adalah tata ruang visioner yang menempatkan penataan ruang dalam koridor Tri Hita Karana. Apabila megaproyek ini dilaksanakan maka dampak lingkungannya akan makin besar dan akan mengancam kelangsungan ekologis di Bali.
Sungguh mengenaskan, di tengah kampanye kelangsungan ekologis secara internasional, ada upaya-upaya untuk mengebiri sebuah kebijakan daerah yang begitu visioner untuk mewujudkan daerah yang hijau. Pembangunan megaproyek yang tidak urgen dan instan direncanakan dengan mengabaikan keberlangsungan kelestarian lingkungan. Sementara dengan jarak waktu penyelenggaraan yang masih jauh, sepatutnya pemerintah pusat mencari alternatif lain seperti memaksimalkan fasilitas yang ada tanpa harus mengorbankan kepentingan ekologis.
Jika alasan untuk menjaga citra negara bangsa yang melandasi rencana ini, bukankah lebih baik jika kerja-kerja pemberantasan korupsi, penyelamatan lingkungan, penyelenggaraan good governant, dan penegakan HAM dilakukan mengingat hal-hal tersebut yang justru menyebabkan rendahnya citra dan kredibilitas negara dan bangsa Indonesia di mata dunia. [b]
Artikel ini dimuat di Bali Post.
Mudah-mudahan para bupati bisa menyadari akan dignity bangsanya sehingga di masa depan Bali juga bisa bicara dalam tingkat regional bukan hanya menunjukkan pariwisata
Bali clean n green, tidak lebih dari sebuah slogan