Sebagian wilayah Danau Buyan kini berubah menjadi padang rumput luas.
Ketika awan menggelayut di atas langit Danau Buyan, Buleleng, Bali makin gelap, Wayan Mustanda tetap asyik dengan sabitnya. Dua buah karung plastik besarnya, nyaris penuh terisi rumput.
“Sekarang lebih gampang cari rumput. Apalagi setelah danau di sini surut,” terang Mustanda yang sehari-hari beternak sapi.
Mencari rumput untuk pakan ternak setiap hari, sudah menjadi rutinitas Mustanda sejak masih kanak-kanak. Namun sejak beberapa tahun belakangan, Mustanda mendapatkan lahan rumput luas yang tak pernah habis dan makin hari makin meluas. Yakni di atas lahan bekas danau buyan yang surut.
“Dulu danau ini luas. Sampai ujung tanggul di sana,” cerita Mustanda sambil menunjuk ke arah tanggul danau seluas 478,33 hektar itu.
Penyusutan muka air Danau Buyan sejak beberapa tahun belakangan, telah mengubah sebagian wilayah danau buyan menjadi padang rumput luas. Bibir danau berpindah ratusan meter dari titik tanggul semula. Dermaga kayu kecil yang biasa menjadi tempat favorit para pemancing pun, kini tak lagi bisa digunakan. Air danau sudah berpindah jauh dari titik semula.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Lembaga Penelitian Universitas Udayana, muka air Danau Buyan telah mengalami penurunan sebanyak 5 meter pada periode 2003 – 2005. Memasuki tahun 2006, kondisi tinggi muka air danau makin menunjukkan penurunan yang signifikan.
Menurut Dr. Ir. I Wayan Sandi Adnyana, M.S., anggota tim peneliti PPLH Universitas Udayana, penurunan muka air danau sejak beberapa tahun belakangan tidak hanya terjadi di danau buyan. Penurunan muka air juga terjadi di danau Tamblingan, danau alam yang letaknya bersebelahan dengan danau buyan, masih di wilayah Kabupaten Buleleng. Bali.
Dari penelitian PPLH, ditemukan ada tiga faktor penyebab turunnya muka air danau buyan dan tamblingan. Diantaranya karena curah hujan yang sangat rendah. “Curah hujan di kawasan danau sejak lima tahun terakhir jauh lebih rendah dari sebelumnya. Padahal faktor curah hujan ini sangat menopang pasokan air danau,” terang Sandi.
Menurut Sandi, curah hujan di kawasan danau pada musim kemarau biasanya mencapai rata-rata 70 mili meter per bulan. Namun sejak tahun 2002, curah hujan di musim kemarau bisa hanya sekitar 0-5 mili meter. “Jadi, penurunannya sampai di bawah normal. Ini sangat mungkin disebabkan pemanasan global. Ada perubahan iklim yang berpengaruh sangat luar biasa,” ujarnya.
Selain faktor curah hujan, penurunan muka air danau juga dipengaruhi oleh alih fungsi lahan di sekitar danau. Banyaknya masyarakat sekitar danau yang beralih dari petani kopi menjadi petani sayuran, diduga memberi kontribusi yang cukup besar pada penurunan air danau. Pasalnya, kebun kopi memiliki fungsi resapan air yang sangat tinggi, dibandingkan kebun sayuran. Sandi mencatat, luasan kebun kopi di kawasan sekitar danau buyan pada 2003 hanya tersisa 14,32 hektar, dibandingkan tahun 1981 lalu yang mencapai 118,34 hektar.
Selain itu, tercatat luas pemukiman sekitar danau meningkat dari hanya 58,06 hektar tahun 1981 menjadi 86,10 hektar pada 2003. “Surutnya air danau juga disebabkan ada aksi pengambilan air danau secara besar-besaran oleh warga sekitar. Karena sekarang sudah banyak hotel dan vila di sekitarnya,” tegas Sandi.
Turunnya muka air danau Buyan dan Tamblingan, dikhawatirkan dapat mengurangi pasokan air bagi masyarakat Bali. Pasalnya, danau buyan dan tamblingan merupakan dua dari empat danau alam di Bali yang memiliki fungsi vital sebagai penyangga tata air. Dua danau lainnya, yakni danau beratan di Kabupaten Tabanan dan Danau Batur di Kabupaten Bangli. Sandi berharap pemerintah dan masyarakat di sekitarnya bisa duduk bersama untuk mencegah kerusakan lingkungan yang makin parah. [b]
betul, Mba Ervi…tahun 2006 saya bersama Prof Wijaya pernah menghitung penurunan air secara manual..hasil penghitungan tersebut sekitar 8-10 meter per tahun karena perhitungan Lippi tahun 2005 kedalaman danau buyan adalah 66 meter, tetapi pada tahun 2006 kami mengukur ternyata cuma 58 meter.
banyak spekulasi yang menyebutkan kenapa hal ini bisa terjadi, yakni:
1. Rusaknya hutan diatas danau karena beralih fungsi menjadi perkebunan
2. Akibat geothermal
3. Terdapat dua pompa air besar PDAM yang airnya kemudian di jual kepada Hondara Kosaido.
4. Atau akumulasi atas semua spekulasi diatas.
dan hal ini semua terjadi karena politik lingkungan hidup di Bali ini tidak jelas. dan kita baru sadar setelah terjadi berbedaan fisik yang mencolok…saya jadi ingat sebuah slogan
“Ketika pohon terakhir telah ditebang, sungai (danau) terakhir telah kering, ikan terakhir telah diambil, barulah kita sadar bahwa uang tidak bisa dimakan!”
Salam,
Agung Wardana