Zaman telah berubah, termasuk soal nyastra.
Tulisan Sugi Lanus berjudul “Apakah jika Orang Bali Baca Karya Nietzsche Bisa Disebut “Nyastra”? – Merunut Kembali Arti Kata Sastra” yang dimuat di tatkala.co, 26 Agustus 2017 menarik dicermati. Penulis merunut arti kata sastra yang pingit dan sakral sekaligus mempertanyakan orang Bali yang membaca karya sastra penulis modern semacam Nietzsche, Kafka, Salman Rushdie atau Ayu Utami bisa disebut nyastra disertai berbagai argumen.
Sugi Lanus berpendapat kalau diamati secara saksama seseorang dikatakan nyastra apabila ia menekuni karya-karya sastra religius yang bernuansa Hindu (Sanskrit, Jawa Kuno, dan Bali) dan orang-orang yang menekuni kakawin Jawa Kuno atau Ramayana dan Sarasamuscaya serta berbagai tembang Jawa Kuno bisa dilabeli sebagai orang yang nyastra. “Sungguh sulit nampaknya bagi orang Bali bisa menyebut seseorang sebagai seorang yang nyastra bila ia menekuni karya-karya Nietzsche, Kafka, Salman Rushdie, atau Ayu Utami,” tulisnya.
Ia juga menyebut nyastraisme sudah memudar, seiring dengan arti kata sastra yang kian meluas. Menulis karya sastra sudah tidak relevan lagi disebut sebagai kegiatan “mencari tuhan”. Sastra sekarang dilihatnya sebagai karya-karya yang memperjuangkan ideologi dan ambisi pengarangnya, pengekspresian diri dan kegelisahan yang bebas, dibanding melihatnya sebagai jejak-jejak pencarian manusia dalam mencari Tuhan. Bukan lagi mengandung teks-teks suci, tetapi sebaliknya, mempertanyakan atau bahkan melawan kesucian.
Khas sarjana Sastra Bali, Sugi Lanus asyik bernostalgia dengan masa lalu di mana para penulis zaman dahulu sebelum menulis melakukan brata (puasa) dan aktivitas tersebut merupakan ekspresi pencarian Tuhan. Bahkan, penulis zaman dahulu menggunakan nama samaran untuk menghindarkan diri dari kepongahan. Ia kemudian membandingkan dengan penyair (Bali) zaman sekarang yang menulis dengan nama asli dan tak “malu” dengan publisitas.
Jika masa kini dibandingkan dengan masa lalu memang jauh berbeda dan tak seindah harapan. Bernostalgia memang asyik, namun kadang membuat kita hidup di masa lalu dan tak berpijak di masa kini serta cenderung utopis. Zaman telah berubah, banyak hal yang berkaitan dengan masa lalu kini punah dan berubah. Termasuk soal nyastra.
Sastra bagi saya ya sastra, produk kebudayaan suatu bangsa. Jika nyastra hanya diartikan sebagai hal yang suci dan religius maka lebih baik menyebutnya sebagai sastra tradisional-sakral dan sastra modern adalah sastra profan. Dikotomi ini lebih jelas sehingga tidak lagi ada klaim bahwa hanya mereka yang menekuni teks-teks kuno dan suci (Hindu) sebagai seorang yang nyastra.
Mereka yang belajar ilmu sastra di universitas baik Sastra Indonesia, Inggris, Jepang, Rusia Arab, Perancis atau sepanjang hidupnya sebagai pembaca dan penekun sastra (apapun) bisa disebut nyastra. Pengertian nyastra ala Sugi Lanus sangat sempit dan subyektif bagi saya, hanya berkutat pada etimologi dan latar pendidikannya sebagai sarjana Sastra Bali (dan orang Bali tentunya).
Daripada mengagung-agungkan masa lalu dan “mengutuk” masa kini ada baiknya kita mencari solusi melihat kurangnya minat generasi muda pada sastra, baik sastra Bali atau Jawa kuno. Para sarjana Sastra Bali yang notabena lebih paham karya masa lalu yang kebanyakan ditulis pada lontar ada baiknya menterjemahkan dan mereinterpretasi teks-teks kuno tersebut ke dalam bahasa Indonesia, atau mengemasnya secara digital sehingga generasi milenial bisa mengaksesnya tanpa perlu nangkil ke Griya, dengan aturan yang kadang merepotkan bagi generasi sekarang. Itu pun jika tak terbentur Aje Wera, sesuatu yang menjadi penghalang kemajuan ilmu.
Soal Nietzsche yang disebut sebagai ahli sastra anti-Tuhan tampaknya Sugi Lanus mesti membaca Nietzsche dengan kadar penghayatan yang sama ketika membaca Sarasmuscaya atau buku-buku “suci” lainnya.
Pendapat saya, andaikan Nietzsche lahir di India ia akan disebut Rishi oleh masyarakat di sana. Rishi artinya “Sang Pelihat”, ia yang bisa melihat apa yang tak terlihat oleh orang kebanyakan. Rishi juga visioner, berpandangan jauh ke depan melampaui zamannya. Karya dan pemikiran Nietzsche baru dipahami dan dihargai jauh setelah ia meninggal dunia.
Jangan-jangan Tuhan pun tertawa melihat diskusi kita soal sastra dan nyastra ini. Itupun kalau Tuhan tak mati seperti kata Nietzsche. [b]
Catatan editor:
Tulisan Sugi Lanus bisa dibaca di http://tatkala.co/2017/08/26/apakah-jika-orang-bali-baca-karya-neitzsche-bisa-disebut-nyastra-merunut-kembali-arti-kata-sastra/.
Kami tidak memasukkanya sebagai tautan karena ada peringatan tentang keamanan website Tatkala ketika membukanya. Kami tidak bertanggung jawab terhadap risiko keamanan yang akan dialami pihak lain ketika membuka tautan tersebut.
Saya komen untuk melihat komen.