Masuk Desa Tenganan Pegringsingan seperti diajak menikmati Bali tempo dulu.
Salah satu desa tua di Bali ini masih menyimpan unsur-unsur kekunaan kuat. Situs tinggalan sejarah, tradisi, sistem kemasyarakatan masih bertahan hingga sekarang.
Seiring berjalannya waktu, Desa Tenganan Pegringsingan juga tak lepas dari perubahan. Salah satu perubahannya adalah perkembangan pariwisata yang pesat. Kunjungan wisatawan yang meningkat akhirnya mendorong orang Tenganan menyulap rumah mereka menjadi art shop.
Kain-kain grinsing dipajang di pintu masuk untuk menarik perhatian pengunjung. Semakin lama, barang yang dijual pun semakin beragam. Aneka kerajinan dari luar desa juga menambah keragaman komoditi yang dijual. Padahal, sebelumnya orang Tenganan tidak boleh yang berdagang.
Guru Besar Sejarah Universitas Udayana I Gde Parimartha menjelaskan larangan berdagang terjadi pada zaman kerajaan di Bali. Ada pembagian pekerjaan yang dibagi ke dalam empat golongan, yaitu Brahmana, Ksatrya, Waisya dan Sudra. Hanya golongan Waisya yang boleh berdagang. Perdagangan biasanya dilakukan orang-orang dari Bugis, Arab, Cina dan lain-lain.
“Orang Tenganan berstatus ningrat atau tinggi. Berdagang itu nilainya jelek karena ngalih bati (cari untung),” kata I Gde Parimartha pada acara Bali Tempo Doeloe #13 di Bentara Budaya Bali, kemarin.
Sistem pembagian hasil tani di Desa Tenganan Pegringsingan membuat masyarakat sejahtera, sehingga mereka tidak perlu berdagang. Dulu, orang Tenganan cenderung bekerja di bidang rohani, pemerintahan dan pertanian.
“Dulu, hasil pertanian sudah mencukupi kebutuhan masyarakat. Beda dengan sekarang, banyak keinginan untuk beli ini itu,” jelas Parimartha yang juga orang asli Tenganan itu.
Perkembangan zaman akhirnya mengubah pandangan hidup masyarakat. Kebutuhan hidup kini mulai bergeser. Demi memenuhi kebutuhan itu, banyak orang Tenganan juga mulai berdagang. [b]
Lokasinya dimana ya?
Bisa dikasih peta atau petunjuk arah nya?
Pengen juga kesana. 🙂