Rofiqi Hasan, wartawan di Denpasar, memberikan hadiah ulang tahun pada BaleBengong. Dia menulis dengan kritis tentang masa depan jurnalisme warga ala Pulau Dewata ini.
Tulisan sepanjang 386 kata dalam 10 paragraf itu berjudul Jurnalisme Warga Mau Ke Mana?. Semuanya mengacu pada BaleBengong, media jurnalisme warga tentang Bali. Jadi, mungkin lebih tepat menyebut bahwa kritik Rofiqi hanya pada BaleBengong, bukan pada jurnalisme warga secara umum, apalagi di Indonesia atau bahkan dunia.
Ada setidaknya empat hal yang disampaikan Rofiqi dalam tulisan tersebut. Pertama, terlalu tinggi kalau mengharapkan jurnalisme warga bisa menjadi kontrol sosial baru selain media arus utama. Kedua, jurnalisme warga hanya cocok untuk tulisan yang bersifat promosional, gaya hidup, kuliner dan traveling.
Ketiga, menurutnya, jurnalisme warga hanya tepat sebagai ruang alternatif pada suara-suara berbeda. Keempat, jurnalisme warga justru mengurangi daya kritis jurnalis yang kemudian memilih bernarsis ria.
Rofiqi Hasan, penulis artikel ini masih bekerja sebagai wartawan. Pernah bekerja untuk koran lokal Nusa Tenggara, sekarang bernama NusaBali, sebelum bekerja untuk TEMPO hingga saat ini. Rofiqi pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar dan saat ini jadi ketua organisasi wartawan “pembangkang” pada zaman Orde Baru tersebut. Dia yang menggaji saya ketika saya bekerja sebagai office boy alias pesuruh di AJI Denpasar pada 2000-2001 silam.
Karena itu, saya memanggilnya Mas Rofiqi, seperti juga hampir semua wartawan muda di Denpasar memanggilnya. Mas Rofiqi salah satu wartawan bangkotan dan guru saya dalam beberapa hal, tidak termasuk dalam hal menulis. Dia juga mbahnya AJI Denpasar, organisasi wartawan yang saya ikuti sampai saat ini.
Ecek-ecek
Jadi, baiklah. Latar belakang tulisan dan penulisnya sudah. Sekarang mari lanjutkan untuk membuat tangkisan atau counter terhadap kritik tersebut.
Pertama, memang agak lebay kalau berharap jurnalisme warga bisa jadi alat kontrol sosial, apalagi politik atau kekuasaan. Dalam sejarahnya, jurnalisme warga tak berpretensi ke sana. Dia lahir lebih pada kebutuhan untuk menciptakan ruang baru, bukan menggantikan posisi media arus utama yang sudah ada.
Karena itu, bahasan utama di jurnalisme warga, apalagi BaleBengong, memang bukan hal-hal besar, semacam ribut-ribut di ruang rapat DPR atau kongkalikong polisi dengan tukang togel, misalnya. Kami di BaleBengong lebih banyak menulis tema-tema ecek-ecek wal remeh temeh yang biasanya luput dari media arus utama.
Dengan sedikit snobbis (apa sih artinya? Hehe..) wal narsis, BaleBengong lahir lebih pada upaya memberikan tempat pada dan untuk suara-suara yang sayup-sayup atau malah tak terdengar sama sekali di antara riuh ribut politik bukan sebagai anjing penjaga (watch dog) ala media arus utama.
Apakah ini sah? Sah. Bukan sesuatu yang memalukan apalagi melanggar kaidah jurnalisme. Kami setidaknya berusaha menulis secara independen, menulis tanpa tekanan perusahaan media atau kedekatan narasumber termasuk pejabat (apalagi menjilatnya), seperti diajarkan Bill Kovach dan Tom Rosentstiel, dalam Sembilan Elemen Jurnalisme.
Selain independen, tulisan-tulisan dalam jurnalisme warga juga berusaha menjadi ruang bagi publik untuk berinteraksi. Ini pula elemen lain yang dianjurkan dua begawan jurnalisme dari Universitas Harvard dan Committee of Concerned Journalistis tersebut.
Amatir
Kedua, jurnalisme warga memang bukan jurnalisme yang dikelola secara profesional. Dia tak seperti media mainstream (arus utama) dengan segala infrastruktur kuat: modal, sumber daya manusia, mekanisme ketat, dan semacamnya. Jurnalisme warga memang dikelola secara amatir.
Pengelolaan jurnalisme warga, apalagi BaleBengong, tidaklah seperti media arus utama di Bali, misalnya Bali Post, Radar Bali, dan seterusnya. Kami tidak memiliki infrastruktur atau modal layaknya mereka.
Para pengelola dan kontributor BaleBengong menulis karena memang ingin menulis lalu membaginya. Itu saja. Bukan karena ingin mendapat honor atau gaji sekian juta seperti halnya para wartawan di media arus utama. Maka, tidak ada tekanan untuk membahas isu tertentu.
Semua suka rela, termasuk desainer, programmer, penyedia hosting dan domain, juga editor. Jadi, ini semacam kebaikan di waktu luang. *Tsah!
Kami mengerjakannya di antara tumpukan kerjakan lain dari mana kami bisa menghasilkan pendapatan yang disisihkan untuk mengelola blog ini. **Hadeuh. Kok malah semakin narsis dan snobbis begini, ya? 🙂
Poinnya adalah karena jurnalisme warga dikelola secara amatiran, maka tak usah berharap media ini menjadi pengganti peran media arus utama. Sekali lagi jangan. Kasihan kalau terlalu banyak berharap. Itu ibarat menggantungkan pendapatan pada anak yang baru lulus SD sebagai tulang punggung keluarga atau berharap dokar bisa berjalan lebih cepat dibanding mobil apalagi yang bermerk Ferrari. Hil yang mustahal.
Maka, mari tetap menjaga harapan itu pada media arus utama. Semoga saja para wartawan media arus utama yang digaji perusahaannya masih mau mencari berita dengan benar, bukan hanya tukang copy paste siaran pers ibarat bayi belajar makan yang disuapi orang tuanya tiap hari.
Dan, oya, semoga wartawan di media arus utama juga galak pada narasumbernya, tidak cuma pada blogger seperti Pande Baik yang gara-gara tulisannya tentang wartawan justru diancam akan dipidanakan oleh wartawan itu sendiri.
Menembak Angin
Ketiga, tak tepat-tepat amat kalau jurnalisme warga ala BaleBengong tidak ada daya kritis. Malah, menurut saya, tulisannya galak-galak dibanding media arus utama. Sebagian tulisan sangat nyinyir dan kritis terhadap Bali, terutama masifnya investasi atau situasi Bali terkini dengan kemacetan maupun segala masalahnya saat ini. Misalnya tulisan Gendo Suardana, Agung Wardana, Dayu Gayatri, Ngurah Suryawan, Luh De Suriyani, dan mungkin sebagian kontributor lainnya.
Silakan, deh baca tulisannya Dayu Gayatri, mahasiswa S3 Kajian Budaya yang kalau menulis tentang Bali amat kritis. Begitu juga Ancak, panggilan sayang untuk Agung Wardana. Mereka menulis dan memberikan perspektif lain tentang Bali yang sudah kadung dikenal glamour, bercahaya, dan nyaris tanpa cela.
Selain penulis-penulis “super galak” itu, tak sedikit kontributor lain yang menulis isu lain tentang Bali namun dengan perspektif warga. Misalnya, Hendro W Saputro, Anik Leana, Ari Budiadnyana, I Gusti Agung Made Wirautama, dan banyak lagi.
Menurut saya, mereka mengimbangi wajah lain dari Bali yang melulu dikenal moi ini.
Tantangannya, tulisan mereka kritis bin sinis, tapi pihak yang dikritik justru tidak pada level atau media yang sama dengan mereka.
Tulisan di Bale Bengong, termasuk ocehan di jejaring sosial Twitter @BaleBengong, kadang-kadang memberikan kritik pada pemerintah. Misalnya tentang Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Wilayah, investasi berlebihan di Bali, rusaknya fasilitas publik, dan seterusnya. Tapi, apa boleh buat. Tulisan ini ibarat menembak angin. Tidak mengenai apa-apa.
Kenapa? Karena pihak yang dikritik, katakanlah DPR atau pemerintah, tidak menggunakan media yang sama dengan kami. Akan beda ceritanya kalau mereka juga gawol di blog, jejaring sosial, dan semua media baru (new media) ini. Dengan demikian memudahkan kami untuk mencolek mereka jika ada tulisan kritis atau ocehan yang ditujukan pada mereka, pemerintah daerah dan DPRD tersebut.
Tapi, lihatlah. Bahkan DPRD Bali pun tidak punya website khusus, hanya nebeng di website Pemprov dan tidak terupdate. Bahkan informasi mendasar soal regulasi pun tidak ada di sana. Lalu, belum ada satu pun pejabat Bali yang punya akun Twitter. Eh, Walikota Denpasar punya, ding. Tapi dormant alias mati suri tak pernah digunakan lagi setelah masa kampanye lewat.
Dan, boom!
Terakhir, jurnalisme warga ala BaleBengong ini bukan punya satu orang, satu komunitas, dan semacamnya. Melengkapi narsisme dan snowbisme saya, ehm!, bahkan di awal upaya membangun blog ini pun saya atau kami tak berpretensi menjadikannya sebagai hak milik eksklusif.
Blog ini terbuka bagi siapa saja yang mau terlibat di dalamnya. Sekali lagi, siapa saja. Artinya wartawan media arus utama pun bisa menulisnya. Bukankah identitas paling melekat dari tiap orang adalah sebagai warga?
Idealnya, blog jurnalisme warga dan media arus utama tidaklah pada posisi diametral, saling menegasikan. Harusnya saling melengkapi. Itulah yang selama ini terjadi di Jakarta, Korea, Belanda, ataupun Amerika Serikat sana.
Secara gebyah uyah, pola yang selalu terjadi ketika ada isu besar di negeri ini kurang lebih begini polanya. Ada satu isu “kecil”. Warga mengangkatnya. Netizen alias warga dunia maya lalu mengangkatnya jejaring sosial. Secara simultan dan viral, isu ini berputar lalu ditangkap oleh media arus utama. Dan, boom! Jadilah dia isu besar.
Itu teori dan pengalaman di Jakarta dan daerah lainnya. Di Bali masih susah. Seperti pernah saya tulis di blog, wartawan media arus utama di Bali masih belum menangkap peluang ini. Jejaring sosial, seperti Facebook, masih jadi media bernarsis ria bagi wartawan di Bali, bukan melengkapi media konvensional yang mereka miliki. Isi foto mereka di Facebook lebih banyak mejeng ketika liputan. ZOMG!
Ada satu dua yang mengisi foto Facebook dengan rusaknya kondisi jalan raya atau hal lain. Tapi, itu tak terlalu banyak.
Padahal, saya sangat yakin, wartawan punya informasi jauh lebih banyak dibanding apa yang mereka tulis di medianya sendiri. Tapi, nyatanya toh isu-isu sensitif semacam itu juga belum tentu nongol di medianya.
Selain karena kedekatan dengan narasumber juga karena kadang-kadang medianya memang menghindari risiko besar seperti digugat atau didatangi preman. Atau kadang media arus utama dibungkam dengan iklan. Jadi, pilih main aman.
Nah, kalau memang begitu, seharusnya jurnalisme warga semacam Bale Bengong bisa jadi ruang baru bagi wartawan media arus utama. Kalau tulisan kritisnya tidak dimuat di media arus utama, kirim saja ke sini untuk menambah daya kritis jurnalisme warga. Atau tulis saja di blog sendiri. Nyatanya, media semacam blog maupun jurnalisme warga ini belum terlalu dilirik mereka.
Maka, pertanyaannya justru harus dibalik: ke mana saja wartawan media arus utama selama ini dalam mendukung jurnalisme warga? [b]
wah topik semakin berat….. dan tulisan semakin panjang..jadi ngantuk bacanya…kekekekekek….. yang penting kita selalu berbagi asal tidak boong … #singnyambung
wah betul sekali pak bogel, apalagi kalau yg dibagi kopi luwak 😛
Aku mensinyalir, media mainstream mulai kawatir dengan kehadiran jurnalisme warga. SCTV dengan citizen6 nya. Kompas dgn kompasiana nya, hmm apalagi?. Aku meyakini meski blum didukung fakta-fakta yang valid, jurnalisme warga akan mendapatkan tempat diantara korporasi itu.
Hoi, Anda yakin?. Tanpa keyakinan, jembatan suramadu tdk bakal ada. Tanpa keyakinan, borobudur tak akan ada.
intinya saya setuju, yakni jangan berharap media warga jadi mapan dan lebih menekankan sinergi. Tapi semangat ini mestinya diwujudkan dalam fokus tulisan dan style yang gak kehilangan ruh sebagai blog…yaitu tulisan yang bergaya pribadi dan penuh empati…terutama untuk hal-hal kritis di sekitar kita..Kritiknya adalah masih terlalu banyak tulisan dengan style journalisme atau malah bloggernya diajari jaid jurnalis yang mengambil jarak dari obyek dan menjadi pengamat dari luar…jadinya gak menarik . Sementara di media utama malah seringkali tulisan dengan tehnik yang sangat pribadi seperti tulisan Dahlan Iskan menjadi sangat menarik…Kelebihan utama para blogger adalah tulisan2 pribadi yang ditulis dengan gaya pribadinya…dan inilah yang menuurt saya mesti ditonjolkan. tentu dengan catatan agar mereka cukup aman …Jangan lupa juga bahwa media warga adalah identik dengan media komunitas. Keunggulan nilai informasinya adalah kedekatan antara penulis dengan komunitasnya. Ada contoh yang bagus dalam soal ini yakni majalah Magic Wave. Itu dari gaya bahasa sering agak kacau (moga2 mas Piping baca tulisan ini hehhehe) tapi saya tahu bahwa anak-anak pantai pasti gak terlalu peduli karena yang ditangkap adlaha spiritnya. Tanpa tatabahasa yang bagus pun ,komunitas itu dah ngerti apa maunya.
Saya yakin.akan banyak arus media utama meniru jejak jurnalisme warga,SCTV sudah.ayo masih banyak antre membuka ruang untuk warga di arus utama.balebengong jangan mau kalah.warga tetap sayang padamu
aduh, hebat banget advokatnya neh……mantap mas…..inilah jalur alternatif para penulis “ecek2kan”…hehehe
jurnalisme warga – mainstrem seharusnya saling melengkapi, tanpa melupakan tujuan bahwa seorang jurnalis – meski pribadi – adalah wakil publik dalam melontarkan idenya dalam sebuah ruang. saya sepakat dengan mas rofiqi, jurnalisme warga seharusnya jadi alat untuk berjuang meluruskan yang bengkok,menegakkan yang patah, dsb, bukan ajang untuk sekedar narsis, jual tampang and soon.
meski kelahiran jurnalisme warga adalah untuk menampung hal remeh temeh yang tidak dimuat di media mainstream,bukan berarti mematikan daya kritis terhadap situasi yang terjadi didepan mata kita…
setuju