Gedung DPRD Bali lumpuh selama tiga jam.
Lebih dari 15 ribu warga adat menguasai kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali, Kamis sore lalu. Puluhan peserta aksi berpakaian adat bahkan memanjat atap depan gedung tiga lantai tersebut memasang bender tolak reklamasi.
Mereka memasang puluhan bendera dalam aneka ukuran dengan tulisan sama, “Tolak Reklamasi Tolak Benoa. Batalkan Perpres No 51 tahun 2014”.
I Kadek Bobby Susila termasuk salah satu pemasang bendera berukuran sekitar 15 x 10 meter persegi. Bersama empat temannya mereka memasang bendera itu di depan atap kantor DPRD Bali. Tulisannya, “KEPAON Tolak Reklamasi” dengan kepalan tangan kiri, lambang Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI).
“Kalau bukan sekarang, kapan lagi kita bisa menduduki rumah wakil rakyat kita,” kata Bobby.
Di kanan kiri bendera raksasa itu, anak-anak muda dari berbagai penjuru daerah di Bali juga memasang bendera yang sama. Canggu, Petang, Tampak Siring, Intaran, Payangan, dan lain-lain. Semua berlomba memasang bendera besar di bagian depan kantor DPRD Bali untuk menyuarakan tuntutannya.
Di bawah mereka, di halaman kantor DPRD Bali, lebih dari 15 ribu warga adat yang berhadapan dengan polisi pengamanan, membawa berbagai atribut penolakan dari bendera, spanduk, dan poster. Dengan berpakaian adat madya, belasan ribu warga adat itu kembali melakukan aksi demonstrasi menuntut pembatalan rencana reklamasi di Teluk Benoa, Bali.
Aksi kemarin dikoordinir oleh Pasubayan Desa Adat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa. Hingga saat ini ada 39 desa adat yang bergabung dalam perhimpunan desa adat untuk menolak rencana reklamasi ini. Mereka berasal dari desa-desa di sekitar Tanjung Benoa, seperti Kelan, Tanjung Benoa, Kedonganan, Kuta, Sesetan, Sanur, dan lain-lain.
Massa berkumpul di tempat parkir timur Lapangan Renon di pusat pemerintahan Bali sejak pukul 1 siang. Dari sana, massa bergerak menuju Gedung DPRD Bali diiringi lagu-lagu Tolak Reklamasi. Setelah berjalan sekitar 30 menit mengitari lapangan, massa pun tiba dan menduduki Gedung DPRD Bali yang siang kemarin dijaga sekitar 500 anggota polisi dari Poltabes Denpasar dan Polda Bali.
Pernyataan Sikap
Setelah perwakilan adat bergantian menyampaikan orasi, perwakilan Pasubayan Desa Adat yang juga Bendesa Adat Desa Buduk, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung Ida Bagus Ketut Purbanegara membacakan pernyataan sikap Pasubayan Desa Adat Tolak Reklamasi yang ditujukan kepada Gubernur Bali dan Ketua DPRD Bali.
Pertama, meminta DPRD Bali untuk merekomendasikan kepada Presiden Indonesia agar membatalkan Peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2014. Massa juga meminta presiden mengembalikan kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi.
Kedua, meminta DPRD Bali merekomendasikan kepada Gubernur Bali untuk membuat surat permohonan kepada Presiden Joko Widodo agar membatalkan Peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2014 dan mengembalikan kawasan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi.
Ketiga, merekomendasikan kepada semua pihak agar menghormati dan menghargai hak-hak adat masyarakat adat Bali terhadap pesisir kawasan Teluk Benoa. Keempat, meminta kepada seluruh pimpinan dan anggota DPRD Bali agar memperjuangkan aspirasi penolakan kepada pihak manapun.
Kelima, meminta pertanggung jawaban politik Gubernur Bali terhadap surat yang dia buat pada 23 Desember 2013. Surat tersebut meminta pemerintah pusat mengubah status Teluk Benoa dari semula sebagai kawasan konservasi menjadi kawasan untuk pemanfaatan umum.
Keenam, menyatakan bahwa gerakan Bali Tolak Reklamasi adalah murni gerakan rakyat Bali atas dasar mempertahankan kelestarian tatanan pesisir kawasan Teluk Benoa. Ketujuh, Pasubayan Desa Adat adalah wadah untuk memfasilitasi perjuangan menolak reklamasi.
Terakhir, warga adat menyatakan bahwa jika reklamasi Teluk Benoa tetap dilakukan maka jika terjadi gerakan rakyat untuk menolak merupakan sepenuhnya tanggung jawab pemerintah daerah.
“Kami menggugat DPRD karena sebagai wakil rakyat, DPRD Bali tidak pernah bersuara terhadap penolakan Reklamasi Teluk Benoa. Rakyat hanya berjalan sendiri,” kata I Wayan Gendo Suardana, Koordinator ForBALI dalam orasinya.
Tanggapan DPRD Bali
Tidak ada satu pun pimpinan DPRD Bali yang menemui massa aksi kemarin siang. Menurut papan informasi di DPRD Bali, Ketua DPRD Bali I Nyoman Adi Wiryatama sedang dinas keluar kota. Begitu pula dengan tiga wakilnya, I Nyoman Sugawa Korry, I Gusti Bagus Alit Putra, dan Jro Gede Komang Swastika.
Hanya dua dari 55 anggota DPRD Bali yang menemui massa aksi yaitu AA Ngurah Adhi Ardhana, anggota Komisi II, dan I Gusti Putu Budiartha, anggota Komisi IV. Keduanya anggota DPRD Bali dari Fraksi PDI Perjuangan ini sudah menyatakan secara terbuka bahwa mereka menolak rencana reklamasi Teluk Benoa.
Budiartha, yang memberikan keterangan dari atas mobil komando aksi bersama Adhi Ardhana, mengatakan DPRD Bali sudah berkoordinasi membahas penolakan terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa.
“Saya sudah berkoordinasi dengan pimpinan. Setelah 27 Agustus 2016, kami akan mengadakan pertemuan dengan saudara-saudara,” kata Budhiarta.
Adapun Adhi Ardhana mengatakan bahwa DPRD Bali sudah berupaya menemui dan menyampaikan persoalan Reklamasi Teluk Benoa ke Kementerian Pariwisata dan Kementerian Dalam Negeri. “Semua keputusan ada di tangan Presiden,” katanya.
Pernyataan kedua anggota dewan tersebut disambut dukungan dari massa. “Mari kita dukung dua anggota dewan yang sudah menyatakan dukungan pada gerakan Tolak Reklamasi ini,” kata Gendo.
Melawan Kriminalisasi
Setelah sekitar tiga jam menduduki gedung DPRD Bali, massa aksi membubarkan diri dengan tertib. Mereka kembali ke sisi timur lapangan Renon Denpasar.
Namun, sekitar satu jam kemudian terjadi pembakaran ban dan poster-poster anggota Pos Perjuangan Rakyat (Pospera) di beberapa tempat, seperti Kesiman, Kuta, dan Suwung. Melalui media sosial, mereka menyatakan bahwa pembakaran ban dan foto-foto anggota Pospera tersebut sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap Pospera yang melaporkan Gendo ke polisi.
Sebelumnya, pada Senin (15/8) lalu, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pospera telah melaporkan I Wayan Suardana ke Mabes Polri dan lima Polda, termasuk di Polda Bali. Pospera mempersoalkan cuitan Gendo pada Juli 2016 lalu sebagai penyebaran kebencian terhadap suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA).
Pospera melaporkan Gendo atas tuduhan melanggar pasal 28 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UUITE) dan pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Ras dan Etnis.
Sekjen Pospera Abdurochim K Labungasa mengatakan, laporan itu tidak terkait dengan penolakan rencana reklamasi Teluk Benoa. “”Pospera mengecam siapa pun yang mengaitkan pelaporan tersebut dengan reklamasi Teluk Benoa. Kita sama sekali enggak ada kaitannya dengan persoalan reklamasi. Persoalan kita dengan terlapor hanya persoalan itu,” ujarnya sebagaimana ditulis Kompas.
Namun, pelaporan oleh Pospera tersebut justru mengundang solidaritas berbagai kelompok terhadap Gendo. Di Bali, setidaknya 76 pengacara telah siap mendampingi Gendo. Jaringan masyarakat sipil di Bali juga mengecam laporan Pospera tersebut. Begitu pula dengan masyarakat adat di Bali.
Terakhir, Rabu kemarin, sekitar 176 pengacara yang tergabung dalam Tim Advokasi Kriminalisasi untuk Gendo Tolak Reklamasi (TAK GENTAR) pun menyatakan siap mendampingi Gendo.
“TAK GENTAR memiliki persepsi bahwa pelaporan I Wayan Gendo Suardana adalah murni kriminalisasi dengan cara memelintir frase atau konten akun Twitter Gendo dengan tudingan SARA,” I Made Ariel Suardana, Koordinator TAK GENTAR yang juga Ketua TIM Hukum ForBALI.
“Upaya kriminalisasi adalah cara kotor Pospera mengadu domba rakyat dengan isu SARA dan menggunakan pasal-pasal anti demokrasi. Mereka menginginkan gerakan rakyat lemah dengan adanya kriminalisasi tersebut,” kata Benhard Nababan, pengacara Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia PBHI Nasional dalam jumpa pers di kantor Eknas Walhi. [b]