Dua puluh lima ribu rupah per hari.
Jumlah itu masih sering saya ingat tiap kali berkunjung ke kantor Yayasan Wisnu di Banjar Pengubengan Kauh, Kerobokan, Kuta Utara. Honor tersebut saya dapatkan ketika pertama kali jadi notulen dalam kegiatan Wisnu sekitar tahun 2001 silam.
Saat itu, saya bersama teman menjadi tukang catat lokakarya Wisnu bersama warga lima desa yaitu Tenganan Pegeringsingan dan Sibetan (Karangasem), Plaga dan Kiadan (Badung), dan Nusa Ceningan (Klungkung). Kami bertugas mencatat semua diskusi dalam lokakarya tersebut.
Itulah pengalaman pertama saya dengan Wisnu, berkenalan dengan warga lima desa yang didampingi Wisnu sekaligus mengenal isu ekowisata. Setelah itu saya makin akrab dengan Wisnu, salah satu organisasi non-pemerintah (ornop) yang konsisten di jalur pemberdayaan warga desa di Bali.
Kemarin, 25 Mei 2013, mereka berusia dua puluh tahun. Usia cukup tua untuk ornop di Bali.
Beragam
Dua hari lalu, saya ngobrol dengan Made Suarnatha, Direktur Yayasan Wisnu di kantor mereka. Sekadar ingin tahu lebih banyak tentang sejarah yayasan ini. Pak Suar, begitu kami bisa menyapanya, bercerita tentang sejarah dan tantangan Wisnu saat ini.
Yayasan Wisnu berdiri 20 tahun lalu, 1993. Saat itu tujuh orang dari beragam latar belakang sepakat membentuk yayasan ini. Mereka adalah Iskandar Woworuntu, Rio Helmi, Popo Danes, Putu Suasta, Agung Ariawan, Sandy Ramali, Made Suarnatha, dan Agung Alit.
Pekerjaan orang-orang ini beragam. Rio Helmi, misalnya, adalah fotografer. Popo Danes arsitek. Putu Suasta pengusaha. Iskandar kini mengelola kafe Batu Jimbar di Sanur. Agung Ariawan punya Ary’s Warung di Ubud. Agung Alit mendirikan Mitra Bali.
Secara etnis mereka juga beragam. Ada dari Manado, Bali, China, dan lain-lain.
Pada awal berdiri, Wisnu fokus pada isu sampah. Salah satu alasannya karena, kata Suarnatha, sampah saat saat itu adalah persoalan penting sekaligus genting. Di sisi lain, karena iklim politik yang masih tertutup, maka pemberdayaan warga di desa sangat susah. Ornop akan dicurigai oleh negara, termasuk perangkat-perangkat desa.
Maka Wisnu fokus pada pengelolaan sampah. Program Wisnu saat itu pengelolaan sampah berbasis banjar. Sesuatu yang kasat mata (tangible). Bentuknya berupa daur ulang untuk sampah plastik dan pembuatan kompos untuk sampah organik.
Salah satu yang pernah dibuat Yayasan Wisnu bersama perupa Teguh Otsentrik adalah piramida plastik di Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Monumen Plastik ini sampai sekarang masih ada. Lokasinya di pertigaan pas mau turun ke Danau Tamblingan.
Tujuan pembuatan Monumen Plastik ini, kata Suar, sebagai peringatan tentang bahaya sampah plastik bagi lingkungan.
Angin Segar
Ketika Wisnu baru berdiri, isu global bagi para pelaku pemberdayaan masyarakat adalah tentang pembangunan berkelanjutan. Bali menjadi salah satu lokasi pilot project pembangunan berkelanjutan tersebut. Karena itu, program Yayasan Wisnu saat itu pun sudah berusaha menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Misalnya dengan prinsip partisipasi.
Wisnu juga mulai mendekati pelaku-pelaku pariwisata di Bali agar mendaur ulang sampahnya.
Perubahan iklim politik pada tahun 1998 membawa angin segar dan perubahan pula bagi Wisnu. Dari semula hanya fokus pada sampah, Wisnu mulai melakukan program pemberdayaan ke desa-desa.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mulai memiliki kesempatan melaksanakan program langsung ke komunitas. Begitu pula dengan Wisnu. Sejak tahun 2000an awal, mereka mulai melaksanakan program ke desa-desa.
Desa menjadi pilihan karena menurut Suarnatha pertarungan masa depan adalah rebutan sumber daya. “Dan, di desa masih banyak sumber daya yang terjaga,” kata Suar.
Desa-desa lokasi program pemberdayaan warga tersebut adalah Plaga, Tenganan, Sibetan, Nusa Ceningan, dan Belok Sidan. Kelima desa tersebut masing-masing memiliki keunikan potensi. Plaga, misalnya, memiliki produk kopi. Sibetan punya produk salak. Tenganan selain memiliki keunikan budaya juga punya produk ata.
Kaya
Menurut Suar secara global, dunia menghadapi persoalan serius terkait dengan sumber daya. Bumi hanya bisa menampung maksimal 4,7 miliar. Namun, saat ini penduduk Bumi sudah 7 miliar. Pada tahun 2050, diperkirakan jumlah penduduk Bumi akan mencapai 9 miliar. Artinya manusia perlu 2 kali Bumi agar bisa hidup.
Bagaimana mengantisipasinya? Salah satunya dengan memanfaatkan kekayaan alam Indonesia. Negara ini merupakan salah satu dari tiga negara terkaya biodiversitinya. Indonesia nomor dua setelah Brazil dan Kongo di urutan ketiga. Indonesia kaya akan obat-obatan, pangan, dan seterusnya.
“Desa adalah pusat biodiversiti tersebut, bukan kota. Karena itulah Wisnu fokus di desa-desa tersebut,” ujarnya.
Di tiap desa, Wisnu melaksanakan pemetaan partisipatif bersama warga. Melalui metode ini, warga bisa memetakan kondisi geografis desanya sekaligus megenali apa saja potensi di desa masing-masing.
Untuk bisa melakukan pemetaan ini, maka Wisnu juga melakukan pengorganisasian masyarakat. Terbentuklah kelompok swadaya masyarakat (KSM) di tingkat desa. KSM ini masuk ke organisasi-organisasi tradisional yang sudah ada, seperti banjar dan subak.
Melalui KSM ini pula warga kemudian mendiskusikan isu-isu yang semula dianggap jauh dari mereka. Misalnya pariwisata massal, pemodal, keterpinggiran warga lokal, dan semacamnya. Salah satu cara yang dianggap efektif adalah dengan berkunjung ke lokasi-lokasi pariwisata, seperti Kuta dan Nusa Dua untuk kemudian didiskusikan bersama.
Dengan cara ini, kian tumbuh kesadaran kritis di kalangan warga desa. Bahwa desa mereka tak harus menjadi “Kuta kedua” di mana warga lokal justru tak mendapat apa-apa dari pariwisata.
Terseok-seok
Jika mau mengembangkan pariwisata, desa-desa tersebut harus mempertahankan dan memanfaatkan potensi mereka sendiri. Warga lokal juga harus jadi pemilik dan pengelola pariwisata tersebut. Ekowisata menjadi pilihan warga desa-desa tersebut.
Ada beberapa alasan kenapa ekowisata jadi pilihan. Pertama karena sebagian besar warga adalah petani sehingga tak mungkin mendatangkan investor. Kedua, karena warga bisa mendapatkan manfaatkan ekonomi dengan tetap memerhatikan ekologi. Ekowisata juga melibatkan warga dalam pengelolaannya.
Lahirlah kemudian Jaringan Ekowisata Desa (JED) pada 4 Juni 2002.
Melalui jaringan ini, lima desa tersebut bertukar pengalaman sekaligus membentuk model pariwisata sendiri. Mereka saling terhubung dalam pengelolaan ekowisata. Dalam JED, warga menjadi pemilik pariwisata sekaligus penerima keuntungan dari kegiatan tersebut.
Namun, belum segenap warga desa memulai JED, bom meledak di Kuta pada 12 Oktober 2012. Jumlah turis ke Bali turun drastis, apalagi ke desa-desa tersebut.
“Tapi, bom Bali juga jadi semacam blessing in disguise. Warga jadi sadar bahwa pariwisata itu bisnis yang amat rentan,” kata Suarnatha. Karena itu, warga di desa jangan sampai meninggalkan pertanian.
Setelah itu JED tetap jalan meskipun terseok-seok.
Kapal Kecil
Pada tahun 2008, JED kembali diluncurkan. Salah satunya dengan manajemen yang lebih profesional. Website JED pun diurus lebih serius. Dengan demikian, tamu bisa langsung pesan melalui website tersebut.
Hasilnya, pelan-pelan kian membaik. Dalam setahun rata-rata ada 400-500 tamu langsung ke desa-desa tersebut. Uang yang masuk kira-kira Rp 400 juta. Jumlah itu termasuk besar karena dalam ekowisata memang jumlah turis dibatasi agar tidak terjebak pariwisata massal.
Saat ini, selain JED juga ada Asosiasi Bali DWE. Asosiasi desa wisata ekowisata ini menjadi semacam kapal bagi para pelaku pariwisata ekowisata di Bali yang selama ini tak mendapatkan dukungan. Pariwisata Bali lebih banyak didominias investor-investor besar, seperti PHRI, HPI, dan semacamnya,
Dalam Bali DWE ada 55 desa yang bergabung. Salah satu program Bali DWE adalah adanya standardisasi untuk desa-desa yang menerapkan ekowisata.
Bagi Suarnatha, JED, Bali DWE, dan semacamnya ini ibarat kapal kecil bagi orang-orang Bali yang menghadapi serbuan gelombang globalisasi dan industri pariwisata. Memang tak bisa melawan gelombang besar tersebut tapi membuat orang Bali tidak akan tenggelam. Kalah.
Untuk itulah, selama 20 tahun ini Wisnu terus setia mendampingi warga. Kini warga desa-desa tersebut sudah memiliki kesadaran untuk bergerak sendiri tanpa harus tergantung pada pihak luar.
Warga-warga desa kini bisa bangga dan merasa bermartabat sebagai orang desa.
Maka, selamat ulang tahun, Wisnu. Semoga terus setia menjaga nyala dan martabat dari desa. [b]
Foto-foto semua nyolong dari Yayasan Wisnu. 🙂