Dua Artha ‘Jatuh Cinta’ Pada Teluk Benoa. Tentu ini bukan sekadar judul.
Lebih jauh lagi frase pada kalimat itu muncul ketika saya ngobrol dengan teman di Tabanan. Obrolan santai ditemani semilir angin di bawah pohon cempaka itu tak langsung merujuk pada Teluk Benoa.
Gonjang-ganjing terjungkalnya Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar juga mewarnai perbincangan kami.
Obrolan kami semakin panas ketika bicara soal aksi pembakaran ban di jalan raya yang dilakukan para demonstran penolak reklamasi Teluk Benoa beberapa waktu lalu. Dari cerita bakar ban, perbincangan kami berlanjut hingga ‘api asmara’ dua Artha yang kepincut dengan Teluk Benoa.
Dua Artha yang dimaksud adalah Artha Graha perusahaan bisnis milik Tomy Winata dan penasihat Raja Waturenggong, Dang Hyang Nirartha. Keduanya sama-sama dari luar Bali. Apakah kebetulan?
Tentu pandangan teman saya ini membawa logika saya menjadi berpikir setengah kosmik. Yang pasti, dua cinta Artha ini beda motif.
Tomy Winata bos Artha Graha yang menggerakkan rencana proyek reklamasi lewat jaringan bisnis miliknya PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) ingin membuat destinasi pariwisata baru. Bahkan, ia mengakui sudah mengeluarkan biaya sejumlah Rp 1 triliun.
Saya belum pernah tahu cinta yang pengorbanannya begitu besar. Apakah cinta Bandung Bondowoso kepada Roro Jonggrang menghabiskan biaya semahal itu juga?
Motif cinta Tomy Winata yang cenderung hanya mengumbar hasrat justru menjadi intrik yang kotor. Aturan dimanipulasi, tatanan kehidupan masyarakat diobrak-abrik seenaknya. Dan yang paling menyedihkan adalah pemegang kebijakan ikut bermain.
Ketika para akademikus memberikan kajian yang melenceng, kaum agamawan ikut ‘membebek’ kepada pemodal.
Kedatangan Dhang Hyang Nirartha ke Bali untuk menebarkan cinta bisa dilihat di selatan Kota Tabanan, yakni Pura Tanah Lot. Pengaruh pemikiran Brahmana dari Kerajaan Kediri itu bahkan hingga kini masih digunakan oleh umat Hindu Bali yakni Padmasana sebagai tempat untuk Dewa Acintya.
Kalau ‘cinta’ Artha Graha untuk Bali contohnya adalah membentuk pusat kebudayaan abad 21, mall Discovery Kartika Plaza.
Dhang Hyang Niratha atau Pedanda Shakti Wawu Rauh dalam Kakawin Añang Nirartha menuliskan rangkaian sajak cintanya pada Teluk Benoa yang isinya adalah.
“Sebuah pulau besar agak dekat ke pantai, di hadapannya ada muara sungai. Semua itu terlihat bagaikan burung Garuda yang lapar, yang tengah mencari amerta di gunung Somaka. Pulau itu dikelilingi oleh pulau-pulau kecil yang suci, di sana-sini melingkar, bagaikan pasukan para dewa yang siap menunggu kedatangan Garuda.”
“Burung-burung terbang melayang-layang bagaikan panah para dewa yang dilepaskan. Dan aliran sungai bagaikan naga yang akan memagut. Penyu yang berenang kesana-kemari mencari makanan bagaikan cakra yang diputar, senjata yang menjaga tirtha amerta.”
“Tirtha tersebut dijaga oleh Hyang Indra di depan gua sehingga tidak ada orang yang merusak. Bunga kepuh berwarna merah menyala bagaikan api berkobar-kobar meliputinya”.
Bali lekat dengan anggapan pulau cinta. Masyarakatnya yang dikenal ramah menjadi jargon pariwisata unggulan sejak era Orde Baru. Namun, saat berbicara Teluk Benoa, kini orang Bali berteriak menuntun keadilan.
Rupanya cinta Dhang Hyang Nirartha membawa restu bagi masyarakat Bali. Sedangkan ‘cinta’ Artha Graha yang hanya mengumbar nafsu belaka terus mengalami tekanan dari pasubayan desa adat yang saat ini berjumlah 39 mendeklarasikan tolak reklamasi Teluk Benoa. [b]